بسم الله الرحمن الرحيم
Terjemah Bulughul Maram (13)
Segala puji bagi
Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari
Kiamat, amma ba’du:
Berikut lanjutan terjemah Bulughul Maram karya
Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani. Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penerjemahan
buku ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Dalam menyebutkan
takhrijnya, kami banyak merujuk kepada dua kitab; Takhrij dari cetakan Darul
‘Aqidah yang banyak merujuk kepada kitab-kitab karya Syaikh M. Nashiruddin
Al Albani rahimahullah, dan Buluughul Maram takhrij Syaikh Sumair Az
Zuhairiy –hafizhahullah- yang kami singkat dengan ‘TSZ’.
كِتَابُ اَلصَّلَاةِ
Kitab Shalat
بَـــابُ
سُــتْرَةِ اَلْمُصَــلِّي
Bab Sutrah (penghalang) bagi orang yang
shalat
242- عَنْ أَبِي جُهَيْمِ بْنِ اَلْحَارِثِ t
قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r , لَوْ يَعْلَمُ اَلْمَارُّ بَيْنَ يَدَيِ
اَلْمُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ مِنْ اَلْإِثْمِ لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِينَ
خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ -
مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ , وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيِّ وَوَقَعَ فِي
"اَلْبَزَّارِ" مِنْ وَجْهٍ آخَرَ : , أَرْبَعِينَ خَرِيفًا -
242. Dari Abu Juhaim bin Al Harits
radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaih wa sallam bersabda,
“Kalau sekiranya orang yang lewat di depan orang yang shalat itu tahu dosa yang
akan didapatkannya, tentu ia berdiri selama empat puluh lebih baik baginya
daripada ia lewat di depannya.” (Muttafaq ‘alaih, lafaz ini adalah lafaz
Bukhari[i],
sedangkan dalam riwayat Al Bazzar dari jalan yang lain disebutkan “Empat puluh
tahun”)
243- وَعَنْ عَائِشَةَ - رَضِيَ اَللَّهُ
عَنْهَا- قَالَتْ : , سُئِلَ رَسُولُ اَللَّهِ r
- فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ - عَنْ سُتْرَةِ اَلْمُصَلِّي . فَقَالَ : "مِثْلُ
مُؤْخِرَةِ اَلرَّحْلِ -
أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ .
243. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha ia
berkata, “Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya dalam perang
Tabuk, tentang sutrah bagi orang yang shalat, Beliau menjawab, “Yaitu seukuran cagak
di bagian belakang pelana hewan kendaraan.” (Diriwayatkan oleh Muslim)[ii]
244- وَعَنْ سَبْرَةَ بْنِ مَعْبَدٍ اَلْجُهَنِيِّ
t
قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r , لِيَسْتَتِرْ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ
وَلَوْ بِسَهْمٍ - أَخْرَجَهُ اَلْحَاكِمُ
244. Dari Sabrah bin Ma’bad Al Juhanniy
radhiyallahu 'anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Hendaknya salah seorang di antara kamu memakai sutrah meskipun hanya
dengan panah.” (Diriwayatkan oleh Hakim)[iii]
245- وَعَنْ أَبِي ذَرٍّ t
قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r , يَقْطَعُ صَلَاةَ اَلْمَرْءِ اَلْمُسْلِمِ -
إِذَا لَمْ يَكُنْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ مُؤْخِرَةِ اَلرَّحْلِ - اَلْمَرْأَةُ ,
وَالْحِمَارُ , وَالْكَلْبُ اَلْأَسْوَدُ . . . " اَلْحَدِيثَ . - وَفِيهِ , اَلْكَلْبُ اَلْأَسْوَدِ شَيْطَانٌ - . أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ
245. Dari Abu Dzar Al Ghafaariy
radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Akan memutuskan shalat seorang muslim jika tidak ada di depannya
(sutrah-pent) seukuran cagak bagiak belakang pelana; yaitu wanita, keledai, dan
anjing hitam…dst.” Dan dalam lafaz tersebut disebutkan “Anjing hitam itu setan.”
(Diriwayatkan oleh Muslim)[iv]
246-
وَلَهُ : عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ t نَحْوُهُ دُونَ : "اَلْكَلْبِ"
246.
Dan dalam riwayat Muslim dari Abu
Hurairah sama seperti itu, namun tanpa ada kata-kata “Anjing.”[v]
247- وَلِأَبِي دَاوُدَ , وَالنَّسَائِيِّ :
عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- نَحْوُهُ , دُونَ آخِرِهِ .
وَقَيَّدَ اَلْمَرْأَةَ بِالْحَائِضِ
247.
Sedangkan dalam riwayat Abu Dawud
dan Nasa’i dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma sama juga seperti itu tanpa
menyebut kata akhirnya (yakni anjing hitam-pent), dan dalam riwayat tersebut
dijelaskan bahwa wanita yang dimaksud adalah wanita yang sudah haid[vi].
248- وَعَنْ
أَبِي سَعِيدٍ اَلْخُدْرِيِّ t قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r , إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى شَيْءٍ
يَسْتُرُهُ مِنْ اَلنَّاسِ , فَأَرَادَ أَحَدٌ أَنْ يَجْتَازَ بَيْنَ يَدَيْهِ فَلْيَدْفَعْهُ
, فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ , فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ - مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ . وَفِي رِوَايَةٍ : ,
فَإِنَّ مَعَهُ اَلْقَرِينَ -
248. Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu
‘anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila
salah seorang di antara kamu shalat dengan menghadap sesuatu yang menghalangi
orang-orang (yakni memakai sutrah-pent), lalu ada seorang yang hendak lewat di
depannya maka tolaklah, jika ia enggan maka perangilah, karena ia tidak lain
adalah setan.” (Muttafaq ‘alaih, dan dalam sebuah riwayat disebutkan, “Itu
tidak lain adalah qarin (setan yang selalu menyertai seseorang).”[vii]
249- وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ t
قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r , إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَلْ
تِلْقَاءَ وَجْهِهِ شَيْئًا , فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيَنْصِبْ عَصًا , فَإِنْ
لَمْ يَكُنْ فَلْيَخُطَّ خَطًّا , ثُمَّ لَا يَضُرُّهُ مَنْ مَرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ
- أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَابْنُ
مَاجَهْ , وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ , وَلَمْ يُصِبْ مَنْ زَعَمَ أَنَّهُ
مُضْطَرِبٌ , بَلْ هُوَ حَسَنٌ .
249.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila salah seorang
di antara kamu shalat, maka hendaknya ia adakan di depannya sesuatu (seperti
kayu atau lainnya-pent), namun jika ia tidak mendapatkan maka tegakkanlah
tongkat, dan jika tidak ada maka hendaknya ia membuat garis, setelah itu tidak
mengapa ada orang yang lewat di depannya.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu
Majah, dishahihkan oleh Ibnu Hibban, dan tidaklah benar orang yang menyangka
bahwa hadits tersebut mudhtharib, bahkan sebenarnya hadits tersebut hasan)[viii]
250- وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ اَلْخُدْرِيِّ t
قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r , لَا يَقْطَعُ اَلصَّلَاةَ شَيْءٌ ,
وَادْرَأْ مَا اِسْتَطَعْتَ -
أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ , وَفِي سَنَدِهِ ضَعْفٌ
250.
Dari Abu Sa’id Al Khudri ia berkata,
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada sesuatupun yang
memutuskan shalat, namun tolaklah semampu kalian (orang yang lewat-pent).”
(Diriwayatkan oleh Abu Dawud, sedangkan dalam sanadnya ada kelemahan)[ix]
بَابُ اَلْحَثِّ عَلَى اَلْخُشُوعِ فِي اَلصَّلَاةِ
Bab
Anjuran untuk bersikap khusyu’ di dalam shalat
251- عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ t قَالَ : ,
نَهَى رَسُولُ اَللَّهِ r
أَنْ يُصَلِّيَ اَلرَّجُلُ مُخْتَصِرًا - مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ , وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ
وَمَعْنَاهُ : أَنْ يَجْعَلَ يَدَهُ عَلَى خَاصِرَتِهِ
251. Dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang seseorang shalat sambil bercekak pinggang.” (Muttafaq ‘alaih, lafaz
ini adalah lafaz Muslim, maksudnya adalah “seseorang menaruh tangannya pada
pinggangnya.”)[x]
252- وَفِي اَلْبُخَارِيِّ : عَنْ عَائِشَةَ -
رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا- أَنَّ ذَلِكَ فِعْلُ اَلْيَهُودِ
252. Dan dalam riwayat Bukhari dari Aisyah
radhiyallahu ‘anha disebutkan, “Bahwa hal itu adalah perbuatan orang-orang
yahudi.”[xi]
253- وَعَنْ أَنَسٍ- رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُ-
أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ r قَالَ : , إِذَا قُدِّمَ اَلْعَشَاءُ فَابْدَءُوا بِهِ
قَبْلَ أَنْ تُصَلُّوا اَلْمَغْرِبَ -
مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ .
253.
Dari Anas
radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila makan malam sudah dihidangkan maka dahulukanlah makan sebelum kalian
shalat Maghrib.” (Muttafaq ‘alaih)[xii]
254- وَعَنْ أَبِي ذَرٍّ t قَالَ : قَالَ
رَسُولُ اَللَّهِ r , إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ فِي اَلصَّلَاةِ
فَلَا يَمْسَحِ اَلْحَصَى , فَإِنَّ اَلرَّحْمَةَ تُوَاجِهُهُ - رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ وَزَادَ
أَحْمَدُ : "وَاحِدَةً أَوْ دَعْ"
254. Dari Abu Dzar
radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Apabila salah seorang di antara kamu berdiri dalam shalat, maka
janganlah ia sapu pasir (yang menempel di dahi), karena rahmat sedang
menghadapnya.” (Diriwayatkan oleh lima Imam Ahli Hadits dengan isnad yang
shahih[xiii],
Ahmad menambahkan, “Sekali saja atau tinggalkan”)
255- وَفِي
"اَلصَّحِيحِ" عَنْ مُعَيْقِيبٍ نَحْوُهُ بِغَيْرِ تَعْلِيلٍ.
255. Sedangkan dalam
kitab Shahih dari Mu’aiqib sama seperti itu namun tanpa disebutkan alasan
(jangan disapu).[xiv]
256- عَنْ عَائِشَةَ --رَضِيَ اَللَّهُ
عَنْهَا-- قَالَتْ : , سَأَلْتُ رَسُولَ اَللَّهِ r
عَنْ اَلِالْتِفَاتِ فِي اَلصَّلَاةِ ? فَقَالَ : "هُوَ اِخْتِلَاسٌ
يَخْتَلِسُهُ اَلشَّيْطَانُ مِنْ صَلَاةِ اَلْعَبْدِ -
رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ . وَلِلتِّرْمِذِيِّ : عَنْ أَنَسٍ - وَصَحَّحَهُ -
,
إِيَّاكَ وَالِالْتِفَاتَ فِي اَلصَّلَاةِ , فَإِنَّهُ هَلَكَةٌ , فَإِنْ كَانَ
فَلَا بُدَّ فَفِي اَلتَّطَوُّعِ -
256.
Dari Aisyah
radhiyallahu ‘anha ia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang menoleh dalam shalat? Beliau menjawab,
“Itu adalah pencurian yang dilakukan setan dari shalat seorang hamba.”
(Diriwayatkan oleh Bukhari[xv],
sedangkan dalam riwayat Tirmidzi dari Anas, yang dishahihkan oleh Tirmidzi
dengan lafaz, “Hindarilah menoleh dalam shalat, karena hal itu adalah
kebinasaan, kalau tidak dapat tidak harus demikian maka dalam shalat sunah
(saja)”)
257- وَعَنْ أَنَسٍ t
قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r , إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ فِي اَلصَّلَاةِ
فَإِنَّهُ يُنَاجِي رَبَّهُ , فَلَا يَبْزُقَنَّ بَيْنَ يَدَيْهِ وَلَا عَنْ
يَمِينِهِ , وَلَكِنْ عَنْ شِمَالِهِ تَحْتَ قَدَمِهِ -
مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَفِي رِوَايَةٍ : , أَوْ تَحْتَ قَدَمِهِ -
257. Dari Anas
radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Apabila salah seorang di antara kamu berada dalam shalat maka
sesungguhnya ia sedang bermunajat kepada Tuhannya, maka janganlah sekali-kali
ia meludah di depannya, jangan juga di kanannya, tetapi di kirinya yaitu di
bawah kakinya.” (Muttafaq ‘alaih[xvi],
sedangkan dalam sebuah riwayat “Atau di bagian bawah kakinya.”)
258- وَعَنْهُ قَالَ : , كَانَ قِرَامٌ لِعَائِشَةَ -رَضِيَ اَللَّهُ
عَنْهَا- سَتَرَتْ بِهِ جَانِبَ بَيْتِهَا فَقَالَ اَلنَّبِيُّ r
أَمِيطِي عَنَّا قِرَامَكِ هَذَا , فَإِنَّهُ لَا تَزَالُ تَصَاوِيرُهُ تَعْرِضُ
لِي فِي صَلَاتِي -
رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ
258. Darinya juga (Anas)
ia berkata, “Aisyah memiliki qiram (tirai tipis berwarna) yang dipakai untuk
menutupi bagian pinggir rumahnya, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda kepadanya, “Singkirkanlah dariku tiraimu ini, karena corak-coraknya
ini senantiasa terlintas dalam shalatku.” (Diriwayatkan oleh Bukhari)[xvii]
259- وَاتَّفَقَا عَلَى حَدِيثِهَا فِي
قِصَّةِ أَنْبِجَانِيَّةِ أَبِي جَهْمٍ , وَفِيهِ : , فَإِنَّهَا أَلْهَتْنِي عَنْ صَلَاتِي -
259. Sedangkan keduanya
(Bukhari dan Muslim) sama-sama meriwayatkan hadits Aisyah tentang kisah
Anbijaniyyah milik Abu Jahm, yang di situ disebutkan, “Karena ia senantiasa
membuatku lalai terhadap shalatku.”[xviii]
260- وَعَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةٍ t
قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r , لَيَنْتَهِيَنَّ قَوْمٌ يَرْفَعُونَ
أَبْصَارَهُمْ إِلَى اَلسَّمَاءِ فِي اَلصَّلَاةِ أَوْ لَا تَرْجِعَ إِلَيْهِمْ - رَوَاهُ مُسْلِمٌ .
260. Dari
Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaknya orang-orang berhenti dari mengarahkan
pandangan mereka ke langit dalam shalat atau pandangan itu bisa tidak kembali
kepada mereka.” (Diriwayatkan oleh Muslim)[xix]
261- وَلَهُ : عَنْ عَائِشَةَ -رَضِيَ
اَللَّهُ عَنْهَا- قَالَتْ : سَمِعْتُ رَسُولَ اَللَّهِ r
يَقُولُ : ,
لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ طَعَامٍ , وَلَا هُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ -
261. Dan dalam riwayat
Muslim juga dari Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata, “Saya mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak (sempurna) shalat apabila
makanan sudah dihidangkan dan tidak sempurna juga shalat ketika didesak oleh
dua hal yang buruk (buang air kecil dan besar).”[xx]
262- وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ t
أَنَّ اَلنَّبِيَّ r قَالَ : , اَلتَّثَاؤُبُ مِنْ اَلشَّيْطَانِ فَإِذَا
تَثَاءَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَكْظِمْ مَا اِسْتَطَاعَ -
رَوَاهُ مُسْلِمٌ وَاَلتِّرْمِذِيُّ , وَزَادَ : , فِي اَلصَّلَاةِ -
262. Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Menguap itu dari sethan. Oleh karena itu, apabila
salah seseorang di antara kamu menguap maka tahanlah semampunya.” (Diriwayatkan
oleh Muslim dan Tirmidzi, dan ia (Tirmidzi) menambahkan lafaz, “Di dalam
shalat”)[xxi]
Bersambung….
Wa
shallallahu 'alaa Nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Alih Bahasa:
[i] Shahih,
diriwayatkan oleh Bukhari (510), Muslim (507), lafaz ini adalah muttafaq
‘alaih, oleh karena itu tidak bisa dijadikan pegangan kata-kata Al Haafizh
bahwa “Lafaz ini adalah lafaz Bukhari”, meskipun maksud beliau rahimahullah
bahwa lafaz ini adalah lafaz Bukhari bukan Muslim karena melihat kata-kata “من
الإثم”, namun itu juga tidak benar, karena lafaz (kata-kata tersebut)
tidak ada dalam riwayat Bukhari dan riwayat Muslim, maka seharusnya dibuang,
dan kalau hendak menyebutkan maka itu adalah riwayat Al Kasymiihiniy, sungguh
baik sekali ternyata yang menjawab adalah Al Haafizh sendiri dalam Al Fat-h
(1/858), “Tambahan ini tidak ada dalam satu riwayat pun selainnya, hadits
tersebut dalam Al Muwaththa’ tanpa disebutkan lafaz itu, Ibnu ‘Abdil Bar
berkata, “Tidaklah diperselisihkan dengan Malik dalam hal ini”, demikian juga
riwayat enam orang selebihnya dan para pemilik kitab Musnad, juga kitab-kitab
mustakhraj tanpa menyebutkan lafaz itu, saya tidak melihatnya dalam satu
riawayatpun -secara mutlak-, akan tetapi dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah
disebutkan “يعني : من الإثم”,
mngkin saja disebutkan lafaz itu di catatan pinggir Bukhari, lalu Al
Kasymiihiniy menyangkanya itu memang hadits asalnya, karena memang dia bukan
termasuk ahli ilmu, juga bukan salah seorang haafiz di antara para hafiz, ia
hanyalah seorang periwayat, dan Al Muhib Ath Thabariy menyandarkannya kepada
Bukhari dalam Al Ahkaam dan memutlakkkannya, dia dikritik karena hal
tersebut, juga pemilik kitab Al ‘Umdah, ketika dia mewahamkan (membuat salah
perkiraan) bahwa kata-kata itu ada dalam Shahihain, Ibnu Shalaah mengingkari
orang yang mencantumkan lafaz itu dalam hadits, ia katakan, “Lafaz “الإثم” (dosa) tidak ada secara tegas dalam hadits, juga karena
Nawawiy menyebutkan hadits itu dalam Syarhul Muhadzdzab tanpa ada kata-kata
itu, ia katakan, “Dan dalam sebuah riwayat yang kami riwayatkan dalam Al
Arba’in karya Abdul Qaadir Al Harawiy disebutkan “ماذا
عليه من الإثم”. Sumair Az Zuhairiy
mengatakan, “Setelah tahqiq yang bagus ini Al Haafiz lalai, dan menisbatkan
lafaz ini “من الإثم”.
Catatan: Bukhari dan Muslim meriwayatkan
kata-kata Abun Nadhr –salah seorang perawi “لا أدري أقال
: أربعين يوما ، أو شهرا ، أو سنة”
(saya tidak tahu, apakah Beliau mengatakan 40 hari, 40 bulan atau 40 tahun)
–TSZ-.
Hadits ini dalam Tirmidzi (336), Nasaa’i
(756), Abu Dawud (701), Malik (365) dan Ahmad (17089), dan diriwayatkan oleh
Ibnu Majah dari hadits Sufyan dari Abun Nadhr.
Sedangkan riwayat Al Bazzar menurut Sumair Az
Zuhairiy adalah syaadz, ia katakan, “Syadz, ini adalah di antara kekeliruan
Ibnu Uyaynah rahimahullah, ia telah keliru dalam hadits tersebut baik
isnad maupun matan, dalam matan adalah kata-kata “خريفا” sebagaimana disebutkan di sini, adapun dalam hal isnad ia
telah menyalahi Ats Tsauriy dan Malik, hanyasaja saya mendapatkan bahwa ia
telah kembali kepada yang benar dalam sanad, sebagaimana yang saya sebutkan
dalam “Al Musykil” di hadits no. (86) –TSZ-”
Riwayat Al Bazzar itu juga didha'ifkan oleh
Al Albani dalam Tamaamul Minnah hal. 302.
[ii] Shahih, diriwayatkan
oleh Muslim (500) dalam Ash Shalaah, bab Sutrah lil mushalliy,
Nasaa’i (746) dalam Al Qiblah, bab Sutrah lil mushalliy [dan
Shahih Sunan An Nasaa’iy karya Al Albani].
[iii] Shahih,
diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya (810), Abu Ya’la (2/239/941),
Hakim (1/552), Baihaqi (2/270), Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf
(1/278), Ahmad (3/404), Thabrani dalam Al Mu’jamul Kabir (7/132-134), Al
Baghawiy dalam Syarhus Sunnah (2/403) dari Abdul Malik bin Ar Rabi’ bin
Sabrah dari bapaknya dari kakeknya, ia berkata: “Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda,…dst.
Hakim mengatakan, "Shahih sesuai
syarat Muslim” dan disepakati oleh Adz Dzahabiy. Al Albani berkata, “Abdul
Malik bukanlah syarat Muslim, kecuali jika ada mutaba’ahnya” dan dia
ditsiqahkan oleh Al ‘Ijilliy, bergandengan juga bersamanya penshahihan Ibnu
Khuzaimah, Hakim dan Adz Dzahabiy terhadap hadits ini.” Nawawiy juga
menyebutkannya dalam Al Majmu’ (3/248-249) dengan penshahihannya,
hal itu karena Abdul Malik adalah tsiqah dan haditsnya diterima serta tidak
menyalahi orang-orang yang tsiqah dalam hal ini…dst.”
[iv] Shahih,
diriwayatkan oleh Muslim (510) dalam Ash Shalaah, Nasaa’i (750), Abu
Dawud (702) dan Ibnu Majah (952) .
Dalam TSZ disebutkan, “Al Haafizh
menyebutkan hadits tersebut secara makna, karena lafaznya dalam riwayat Muslim
adalah,
إذا قام أحدكم يصلي ، فإنه
يستره إذا كان بين يديه مثل مؤخرة الرحل . فإذا لم يكن بين يديه مثل مؤخرة الرحل
فإنه يقطع صلاته الحمار ، والمرأة والكلب الأسود". قال عبد الله بن الصامت :
قلت يا أبا ذر ! ما بال الكلب الأسود من الكلب الأحمر من الكلب الأصفر ؟! قال يا
ابن أخي ! سألت رسول الله -صلى الله عليه وسلم- فقال : "الكلب الأسود شيطان
“Apabila
salah seorang di antara kamu berdiri shalat, maka jika di depannya ada (sutrah)
seukuran cagak belakang pelana maka ia tertutupi. Tetapi jika di depannya tidak
ada (sutrah) seukuran cagak belakang pelana, maka shalatnya bisa diputuskan
oleh keledai, wanita dan anjing hitam”, Abdullah bin Ash Shamit mengatakan,
“Aku berkata, “Wahai Abu Dzar, mengapa anjing hitam, tidak anjing merah atau
kuning?” Ia menjawab, “Wahai putera
saudaraku, aku pernah menanyakan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam lalu jawabnya, “Anjing hitam itu adalah setan.”
[v] Shahih,
diriwayatkan oleh Muslim (511), lafaznya adalah,
يقطع الصلاة المرأة ، والحمار ،
والكلب ، ويقي ذلك مثل مؤخرة الرحل
“Akan
memutuskan shalat, (jika dilewati) oleh wanita, keledai dan anjing, namun hal
itu dapat dihalangi dengan sutrah seukuran cagak bagian belakang pelana.”
Mungkin kata-kata Al Haafizh “tanpa
kata-kata anjing“ adalah perkiraan keliru (wahm), karena di riwayat Muslim
memang demikian, di situ ada lafaz anjing, atau mungkin maksud Al Hafizh adalah
tidak disebutkan tentang anjing hitam itu (yakni tanpa penjelasan anjing hitam
itu adalah setan-pent), Wallahu a’lam –TSZ-.
[vi] Shahih,
diriwayatkan oleh Abu Dawud (703) dengan lafaz “"يقطع الصلاة :المرأة الحائض والكلب”, Nasa’i (751) dalam Kitab Al Qiblah, dishahihkan oleh
Al Albani dalam Shahih An Nasa'i (750), sedangkan dalam Shahih Ibnu
Majah karya Al Albani (783) disebutkan “الكلب الأسود”.
[vii] Shahih,
diriwayatkan oleh Bukhari (509) dalam Ash Shalaah, lafaz ini adalah
lafaznya, Muslim (505) dalam Ash Shalaah .
Sedangkan riwayat “فَإِنَّ
مَعَهُ اَلْقَرِينَ” dalam TSZ
disebutkan, “
[viii] Dha’if,
karena mudhtharibnya dan majhulnya sebagian perawi, di antara yang
mendha'ifkannya adalah Sufyan bin
Uyaynah, Syafi’i, Al Baghawiy, Al ‘Iraaqiy dan lain-lain, hadits tersebut
diriwayatkan oleh Ahmad (2/249, 255, 266), Ibnu Majah (943) dan Ibnu Hibban
(2361), penafian Al Hafizh mudhthatibnya hadits ini bisa berlaku, namun
penghasanan hadits tidak bisa, karena kalaupun kita terima tidak mudhtharib,
maka masih tetap majhulnya, Al Haafizh sendiri menghukumi majhulnya sebagian
perawi sebagaimana disebutkan dalam asalnya.” –TSZ-.
Hadits ini juga didha'ifkan oleh Syaikh
Ahmad Syakir dalam Musnad Ahmad tahqiq Ahmad Syaakir (7386), demikian juga
didha'ifkan oleh Syaikh Al Albani dalam Dha’if Ibnu Majah, lihat Al
Misykaat (781) dan lihat juga Tamaamul Minnah hal. 301.
[ix] Dha’if,
diriwayatkan oleh Abu Dawud (719), lengkapnya adalah “فإنما
هو شيطان” –TSZ-.
Al Albani berkata dalam Al Misykaat
(785), “Dan sanadnya dha’if, di dalamnya terdapat Majalid bin Sa’id, ia adalah
jelek hapalan, dan telah melakukan kemudhthariban, terkadang ia memarfu’kan dan
terkadang ia memauqufkan, dan yang mauquf itulah yang lebih mirip benar, lalu
bagian pertama (lafaz hadits tersebut) di samping dha’if, juga bertentangan
dengan hadits yang shahih bahwa wanita dan seterusnya, bisa memutuskan shalat,
sedangkan bagian keduanya adalah shahih maknanya.” Hadits tersebut ada dalam Dha’if
Abu Dawud karya Al Albani (719) .
[x] Shahih,
diriwayatkan oleh Bukhari (1220), Muslim (545), Tirmidzi (383), Nasa’i (890), Ahmad
(8930) dan Darimiy (1428).
[xi] Shahih secara
mauquf, diriwayatkan oleh Bukhari (3458) dari jalan Masruq dari Aisyah
radhiyallahu 'anha,
كانت
تكره أن يجعل المصلي يده في خاصرته ، وتقول : إن اليهود تفعله
Ia (Aisyah) membenci seseorang shalat
dengan menjadikan tangannya di pinggangnya, katanya, “Sesungguhnya orang-orang
Yahudi melakukan hal itu.” –TSZ-.
[xii] Shahih,
diriwayatkan oleh Bukhari (672) dan Muslim (557), dalam Muslim “قُرِّبَ” sebagai ganti “قُدِّمَ” dan dalam lafaz keduanya adalah “تصلوا
صلاة المغرب”, keduanya
menambahkan “ولا تعجلوا عند عشائكم” (jangan tergesa-gesa ketika makan malammu) –TSZ-. Diriwayatkan
juga oleh Tirmidzi (353) dan Nasa’i (853).
[xiii] Dha’if,
diriwayatkan oleh Abu Dawud (945), Nasa’i (3/6), Tirmidzi (379), Ibnu Majah
(1027), Ahmad (5/150, 163, 179) dari jalan Abul Ahwash dari Abu Dzar, Tirmidzi
mengatakan, "Hadits hasan”, Sumair Az Zuhairiy mengomentarinya dengan
mengatakan, “Tidak, karena Abul Ahwash tidak diketahui keadaannya sebagaiman dikatakan
Ibnul Qaththan, anehnya Al Haafizh memutlakkan kata-katanya sah isnad ini,
padahal ia mengatakan dalam At Taqrib tentang Abul Ahwash “Ia maqbul,
yakni jika ada mutaba’ahnya, kalau tidak maka lunak haditsnya.” Sumair
melanjutkan, “Di hadits tersebut ada cacat lagi, jadi hadits itu dha’if
bagaimana pun keadaannya” –TSZ-.
Hadits ini juga didha'ifkan oleh Al Albani
dalam Dha’if Abu Dawud (945).
Sedangkan tambahan Ahmad adalah shahih,
diriwayatkan oleh Ahmad (5/163), hadits tersebut meskipun dalam sanadnya
terdapat Ibnu Abi Laila, sedangkan dia diperbincangkan dari segi hapalan,
hanyasaja dia hapal, di antara yang menunjukkan demikian adalah hadits
berikutnya –TSZ-.
[xiv] Shahih,
diriwayatkan oleh Bukhari (1207) dan Muslim (546), lafaznya adalah “إن
كنت فاعلا فواحدة” (jika kamu terpaksa
melakukan hal itu, maka sekali saja) –TSZ-.
diriwayatkan juga oleh Abu Dawud (946)
lafaznya,
لاتمسح وأنت تصلي فإن كنت فاعلا
فواحدة تسوية الحصى
“Janganlah
kamu mengusap ketika kamu shalat, jika terpaksa melakukannya, maka sekali saja
untuk meratakan pasir.”
juga oleh Tirmidzi (380) dalam Ash
Shalah, Ibnu Majah (1026), Tirmidzi mengatakan, "Hadits hasan
shahih", dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi
(380) .
Ath Thayaalisiy juga meriwayatkan dalam
Musnadnya dari Abu Dzar secara ringkas ia mengatakan,
سألت رسول الله صلى الله عليه
وسلم عن كل شيء حتى عن مسح الحصى فقال واحدة
“Aku
bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tentang berbagai
masalah sampai masalah mengusap pasir?
Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minnah
mengatakan bahwa sanadnya shahih. (lihat Tamaamul Minnah hal. 313).
[xv] Shahih,
diriwayatkan oleh Bukhari (751) bab Al Iltifaat fish shalaah.
Sedangkan hadits Tirmidzi (589) dalam Al
Jum’ah dari Ali bin Zaid dari Sa’id bin Al Musayyib dari Anas, Tirmidzi berkata,
“Hadits hasan gharib,” hadits tersebut didha'ifkan oleh Al Albani dalam Dha’if
At Tirmidzi, lihat Al Misykaat (997) –TCDA (takhrih Cet. Daar As Salam)- Juga
didha'ifkan oleh Sumair Az Zuhairiy.
[xvi] Shahih,
diriwayatkan oleh Bukhari (413) dalam Ash Shalaah dan Muslim (551) .
Sedangkan riwayat “أَوْ تَحْتَ قَدَمِهِ” ada di Bukhari di beberapa tempat, di antaranya pada no. 413
–TSZ-.
[xvii] Shahih, diriwayatkan oleh Bukhari
(374) dalam Ash Shalaah.
[xviii] Shahih,
diriwayatkan oleh Bukhari (373) dan Muslim (556), lafaznya adalah,
عن عائشة -رضي الله عنها- قالت
: "صلى النبي -صلى الله عليه وسلم- في خميصة ذات أعلام ، فنظر إلى أعلامها
نظرة ، فلما انصرف قال : "اذهبوا بخميصتي هذه إلى أبي جهم ، وائتوني
بأنبجانية أبي جهم ، فإنها ألهتني عن صلاتي"
Dari Aisyah radhiyallahu 'anha ia berkata, “Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat memakai kain khamishah (yang
terbuat dari bulu domba) bercorak, Beliau memandang corak-coraknya sesekali. Ketika
selesai, Beliau berkata, “Pergilah dengan membawa khamishahku ini ke Abu Jahm
dan berilah aku dengan kain Anbijaaniyah (kain yang terbuat dari bulu domba
namun tidak bercorak) milik Abu Jahm, karena khamishah ini membuatku lalai
terhadap shalatku.” –TSZ-.
[xix] Shahih,
diriwayatkan oleh Muslim (428) dalam Ash Shalaah, Ibnu Majah (1045) dan Ahmad (20537) . Dalam
sebagian naskah Buluughul Maraam tertulis “اقوام” inilah yang sesuai dalam kitab shahih –TSZ-.
[xx] Shahih,
diriwayatkan oleh Muslim (560), di hadits ini ada kisah yang sangat perlu
disebutkan yaitu,
قال
ابن أبي عتيق : تحدثت أنا والقاسم عند عائشة -رضي الله عنها- حديثا . وكان القاسم
رجلا لحانة . وكان لأم ولد فقالت له عائشة : ما لك لا تحدَّث كما يتحدث ابن أخي
هذا ؟ أما إني قد علمت من أين أوتيت . هذا أدَّبَتْه أمه وأنت أدبتك أمك . قال :
فغضب القاسم وأضَبَّ عليها . فلما رأى مائدة عائشة قد أتي بها قام . قالت : أين ؟
قال : أصلي . قالت : اجلس . قال : إني أصلي . قالت : اجلس غُدَر ! إني سمعت رسول
الله -صلى الله عليه وسلم- : - الحديث
Ibnu Abi ‘Atiq mengatakan, “Aku
berbincang-bincang tentang suatu hadits dengan Al Qasim di hadapan Aisyah
radhiyallahu 'anha, Al Qasim adalah seorang yang jika bicara sering salah, ia
adalah milik ummu walad (budak yang menjadi ibu), Aisyah lalu berkata
kepadanya, “Mengapa kamu jika bicara tidak seperti putera saudaraku ini?
Sepertinya saya tahu bagaimana kamu menjadi seperti itu, yang ini didik oleh
ibunya sedangkan kamu dididik oleh ibumu.” Maka Al Qasim marah-marah dan kessal,
lalu ketika ia melihat makanan milik Aisyah sudah dihidangkan, ia berdiri, lalu
kata Aisyah, “Mau ke mana?” Ia menjawab, “Mau shalat.” Maka kata Aisyah,
“Duduklah hai ghudar, sesungguhnya saya mendengar Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam…dst (lihat hadits di atas) –TSZ-.
Ghudar adalah panggilan celaan, hal itu
karena Al Qasim kurang hormat kepada Aisyah radhiyallahu 'anha, padahal Aisyah
adalah Ummul mukminin, bibinya, lebih tua darinya, penasehatnya dan pendidiknya
(sebagaimana dijelaskan Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim).
[xxi] Shahih, diriwayatkan oleh
Muslim (2994) dalam Az Zuhd war Raqaa’iq.
Tirmidzi (370) bab Maa jaa’a fii
karaahiyyatit tatsaa’ub fish shalaah dari Al ‘Alaa’ dari bapaknya dari Abu
Hurairah secara marfu’, Tirmidzi mengatakan, "Hadits hasan shahih",
lihat Shahih At Tirmidzi (370) .
Sumair Az Zuhairiy mengatakan, “Tambahan
ini (yakni tambahan Tirmidzi) letaknya setelah kata-kata “اَلتَّثَاؤُبُ”.
0 komentar:
Posting Komentar