بسم
الله الرحمن الرحيم
Terjemah Bulughul Maram (1)
Segala puji bagi
Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari
Kiamat, amma ba’du:
Berikut terjemah Bulughul Maram karya Al Hafizh
Ibnu Hajar Al Asqalani. Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penerjemahan buku
ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Dalam
menyebutkan takhrijnya, kami banyak merujuk kepada dua kitab; Takhrij dari
cetakan Darul ‘Aqidah yang banyak merujuk kepada kitab-kitab karya
Syaikh M. Nashiruddin Al Albani rahimahullah, dan Buluughul Maram
takhrij Syaikh Sumair Az Zuhairiy –hafizhahullah-.
Mukadimah Al Hafizh Ibnu Hajar Al
‘Asqalaniy
الْحَمْدُ
ِللهِ عَلَى نِعَمِهِ الظَّاهِرَةِ وَ الْباَطِنَةِ قَدِيْمًا وَحَدِيْثًا
وَالصَّلاةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى نَبِيِّهِ وَرَسُوْلِهِ مُحَمَّدٍ وَ اَلِهِ
وَصَحْبِهِ الَّذِيْنَ سَارُوْا فِي نُصْرَةِ دِيْنِهِ سَيْرًا حَثِيْثًا وَعَلَى
اَتْبَاعِهِمِ الَّذِيْنَ وَرِثُوا الْعِلْمَ وَالْعُلَمَاءُ وَرَثَةُ
الْأَنْبِيَاءِ أَكْرِمْ بِهِمْ وَارِثًا وَمَوْرُوْثًا.
أَمَّا
بَعْدُ فَهَذَا مُخْتَصَرٌ يَشْتَمِلُ عَلَى أُصُوْلِ الْأَدِلَّةِ
الْحَدِيْثِيَّةِ لِلْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ حَرَّرْتُهُ تَحْرِيْرًا بَالِغًا
لِيَصِيْرَ مَنْ يَحْفَظُهُ مِنْ بَيْنِ أَقْرَانِهِ نَابِغًا وَيَسْتَعِيْنُ بِهِ
الطَّالِبُ الْمُبْتَدِي وَلاَ يَسْتَغْنِي عَنْهُ الرَّاغِبُ الْمُنْتَهِي.
وَقَدْ بَيَّنْتُ عَقِبَ كُلِّ حَدِيْثٍ لِإِرَادَةِ نُصْحِ
الْأُمَّةِ فَالْمُرَادُ بِالسَّبْعَةِ اَحْمَدُ وَالْبُخَارِيُ وَمُسْلِمٌ
وَأَبُوْدَاوُدَ وَالنَّسَائِيُّ وَالتِّرْمِذِيُّ وَابْنُ مَاجَهٍ,
وَبِالسِّتَّةِ : مَنْ عَدَا أَحْمَدَ وَبِالْخَمْسَةِ مَنْ عَدَا الْبُخَارِيَّ
وَمُسْلِمًا وَقَدْ أَقُوْلُ : الْأَرْبَعَةُ وَأَحْمَدُ وَبِالْأَرْبَعَةِ مَنْ
عَدَا الثَّلاَثَةَ الْأَوَّلَ وَبِالثَّلاَثَةِ : مَنْ عَدَاهُمْ وَاْلأَخِيْرَ
وَبِالْمُتَّفَقِ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ وَقَدْ لاَ أَذْكُرُ مَعَهُمَا
غَيْرَهُمَا وَمَا عَدَا ذَالِكَ فَهُوَ مُبَيَّنٌ.
وَسَمَّيْتُهُ "بُلُوْغُ الْمَرَامِ مِنْ أَدِلَّةِ
الْأَحْكَامِ " وَاللهَ أَسْأَلُ اَنْ لاَ يَجْعَلَ مَا عَلِمْنَاهُ
عَلَيْنَا وَبَالاً وَأَنْ يَرْزُقَنَا الْعَمَلَ بِمَا يَرْضَاهُ سُبْحَانَهُ وَ
تَعَالَى
Segala
puji bagi Allah atas segala nikmat-Nya, baik nikmat yang tampak maupun yang
tersembunyi, yang dahulu maupun yang sekarang. Shalawat dan salam semoga
terlimpah kepada Nabi dan Rasul-Nya Muhammad, juga kepada keluarganya, dan para
sahabatnya yang berjalan di atas pembelaan terhadap agamanya dengan semangat,
dan semoga terlimpah pula kepada para pengikutnya yang mewarisi ilmunya. Dan
para ulama adalah pewaris para Nabi, sungguh mulianya mereka yang menjadi
pewaris dan menjadi orang yang diwarisi. Amma ba’du,
Ini adalah sebuah ringkasan yang mengandung hadits-hadits yang
menjadi dalil pokok dalam hukum syar’i. Saya susun dengan sesungguhnya agar
orang yang menghapalnya memiliki kelebihan di antara teman-temannya, pelajar
yang masih pemula bisa terbantu dengannya dan tetap merasa butuh orang yang
cinta ilmu yang dalam ilmunya.
Saya telah menjelaskan di akhir masing-masing hadits para imam
yang meriwayatkannya, karena keinginan saya memberikan nasihat kepada umat.
Maka yang dimaksud dengan “Tujuh Imam Ahli Hadits” adalah Ahmad,
Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Nasa’i, Tirmidzi, dan Ibnu Majah. Yang dimaksud
dengan “Enam Imam Ahli Hadits” adalah imam-imam yang disebutkan di atas
selain Ahmad. Yang dimaksud dengan “Lima Imam Ahli Hadits” adalah
imam-imam yang disebutkan di atas (pada “Tujuh Imam Ahli Hadits”) selain
Bukhari dan Muslim, terkadang saya sebut dengan “Empat Imam Ahli Hadits
bersama Ahmad.” Yang dimaksud dengan “Empat Imam Ahli Hadits” adalah
imam-imam yang disebutkan di atas selain tiga imam yang pertama. Yang dimaksud
dengan “Tiga Imam Ahli Hadits” adalah imam-imam yang disebutkan di atas
adalah selain tiga imam yang pertama dan yang terakhir. Yang dimaksud dengan “Al
Muttafaq” adalah Bukhari dan Muslim, terkadang saya tidak menyebut imam
yang lain apabila menyebut “Al Muttafaq”. Adapun selain itu maka
biasanya diterangkan.
Saya namakan
ringkasan ini dengan nama “Bulughul Maram min adillatil ahkaam.” Kepada
Allah-lah saya berharap agar Dia tidak menjadikan ilmu yang kita ketahui
sebagai malapetaka, dan semoga Dia mengaruniakan kepada kita amal yang
diridhai-Nya Subhaanahu wa Ta’ala.
كِتَابُ
اَلطَّهَارَةِ
بَابُ اَلْمِيَاهِ
KITAB
THAHARAH (BERSUCI)
Bab Tentang Air
1-
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ t قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r فِي اَلْبَحْرِ: هُوَ اَلطُّهُورُ مَاؤُهُ, اَلْحِلُّ مَيْتَتُهُ ( أَخْرَجَهُ
اَلْأَرْبَعَةُ, وَابْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَاللَّفْظُ لَهُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ
خُزَيْمَةَ وَاَلتِّرْمِذِيُّ وَرَوَاهُ مَالِكٌ وَالشَّاِفِعيُّ وَاَحْمدُ)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang
air, “Air itu suci dan halal bangkainya.” (Hr. Empat Imam Ahli Hadits dan Ibnu
Abi Syaibah, lafaz ini adalah lafaznya. Dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan
Tirmidzi. Diriwayatkan juga oleh Malik, Syafi’i dan Ahmad)[i]
2-
وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ t
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r
:إِنَّ اَلْمَاءَ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ
شَيْءٌ. أَخْرَجَهُ اَلثَّلَاثَةُ وَصَحَّحَهُ
أَحْمَدُ
2. Dari Abu Sa’id Al Khudri
radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Sesungguhnya air itu suci, tidak dapat dinajiskan oleh sesuatu”. (Hr.
Tiga Imam Ahli Hadits dan dishahihkan oleh Ahmad)[ii]
3-
وَعَنْ أَبِي أُمَامَةَ اَلْبَاهِلِيِّ t
قَالَ: قَالَ رَسُولُ r : إِنَّ اَلْمَاءَ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ,
إِلَّا مَا غَلَبَ عَلَى رِيحِهِ وَطَعْمِهِ, وَلَوْنِهِ. أَخْرَجَهُ اِبْنُ
مَاجَهْ وَضَعَّفَهُ أَبُو حَاتِمٍ
3. Dari
Abu Umamah Al Bahili radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya air itu tidak dapat dinajiskan oleh
sesuatu kecuali apabila dikalahkan baunya, rasanya, dan warnanya (oleh
najis).” (Hr. Ibnu Majah dan didha’ifkan
oleh Abu Hatim)[iii]
4- وَلِلْبَيْهَقِيِّ: اَلْمَاءُ طَاهِرٌ
إِلَّا إِنْ تَغَيَّرَ رِيحُهُ, أَوْ طَعْمُهُ, أَوْ لَوْنُهُ; بِنَجَاسَةٍ
تَحْدُثُ فِيهِ
Dan dalam riwayat Baihaqi
disebutkan, “Air itu suci kecuali apabila berubah baunya, rasanya, atau
warnanya karena najis yang menimpa padanya.”[iv]
5-
وَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا كَانَ اَلْمَاءَ قُلَّتَيْنِ
لَمْ يَحْمِلْ اَلْخَبَثَ وَفِي لَفْظٍ:
لَمْ يَنْجُسْ . أَخْرَجَهُ اَلْأَرْبَعَةُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ.
وَابْنُ حِبَّانَ
Dari Abdullah bin Umar
radhiyallahu ‘anhuma ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Apabila air itu sebanyak dua qullah[v]
maka tidak mengandung kotoran." Dan dalam sebuah lafaz disebutkan, “Tidak
menjadi najis” (Hr. Empat Imam Ahli Hadits, dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah,
Hakim, dan Ibnu Hibban)[vi]
Wa
shallallahu 'alaa Nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Alih Bahasa:
[i] Shahih,
Abu Dawud (83) dalam Ath Thahaarah, Tirmidzi (69) bab Maa jaa’a fii
maa’il bahr annahu thahuur, Nasa’i (332), Ibnu Majah (386) dalam Ath
Thaharah, Ahmad (7192), Ibnu Khuzaimah (1/59) no. (111), Malik (43), dan
dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Abi Dawud (83). Al Albani
mengatakan, “Dalam hadits tersebut terdapat faedah penting yaitu halalnya
setiap yang mati di lautan yang sebelumnya hidup di situ meskipun ia mengapung
di air.” Ia juga mengatakan, “Dan hadits tentang dilarangnya memakan yang
mengapung di air adalah tidak sahih.” [Ash Shahiihah (480)] .
Lafaz lengkap hadits ini adalah,
عَنِ الْمُغِيرَةَ بْنِ أَبِي بُرْدَةَ - وَهُوَ مِنْ بَنِي عَبْدِ
الدَّارِ - أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ، يَقُولُ: سَأَلَ رَجُلٌ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّا
نَرْكَبُ البَحْرَ، وَنَحْمِلُ مَعَنَا القَلِيلَ مِنَ المَاءِ، فَإِنْ
تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا، أَفَنَتَوَضَّأُ مِنَ الْبَحْرِ؟ فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ، الحِلُّ
مَيْتَتُهُ»
Dari Mughirah bin Abi Bardah –dia
termasuk bani Abdud Dar- bahwa ia mendengar Abu Hurairah berkata, “Ada
seseorang yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, ia
berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami mengarungi lautan dan membawa
sedikit air, jika kami berwudhu’ dengannya niscaya kami kehausan, bolehkah kami
berwudhu’ dengan air laut?” Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, “Air
itu suci dan halal bangkainya.”
[ii] Shahih,
diriwayatkan oleh Abu Dawud (67) dalam Ath Thaharah, Tirmidzi (66) dalam
Ath Thaharah, Nasa’i (326) dalam Al Miyah, Ahmad (10406),
Daruquthni dalam As Sunan (hal. 11), Baihaqi (1/4-5) dan dishahihkan
oleh Al Albani dalam Shahih Abu Dawud (67), dan [lihat Al Irwaa'
(14)].
[iii] Dha’if,
diriwayatkan oleh Ibnu Majah (521) dari jalan Risydin bin Sa’ad: Telah
menceritakan kepada kami Mu’awiyah bin Shalih dari Rasyid bin Sa’ad dari Abu
Umamah. Hadits tersebut adalah dha’if karena dha’ifnya Risydin, di samping itu
adanya mudhtharib dalam isnadnya.
[iv] Dha’if,
diriwayatkan oleh Baihaqi (1/259-260) dari jalan ‘Athiyyah bin Baqiyyah bin Al
Walid dari bapaknya dari Tsaur bin Yazid dari Rasyid bin Sa’ad dari Abu Umamah
dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Baihaqi mengatakan dalam As Sunanul
Kubraa 1/260, “Hadits tersebut tidak kuat. Ini adalah pendapat umumnya
ulama, saya tidak mengetahui adanya khilaf di antara mereka tentang hal ini.” [Nashbur
Raayah (1/156) dan Adh Dha'iifah ( 2644)] .
Menurut Sumair Az Zuhiariy, dalam
isnadnya terdapat Baqiyyah bin Al Walid, dia adalah mudallis, dan telah
melakukan ‘an’anah. Hadits ini memiliki jalan yang lain namun dhaif juga.
[v] Dua
qullah artinya dua guci besar, dikatakan qullah karena orang dewasa dapat
mengangkatnya jika dipenuhi air. Menurut sebagian ulama, ukuran airnyanya jika
di suatu kolam berbentuk persegi empat, maka panjangnya, lebarnya dan tingginya
1 ¼ hasta (1 hasta panjangnya dari ujung jari tengah sampai ke ujung siku
tangan atau dua jengkal atau 46,2 cm).
[vi] Shahih,
diriwayatkan oleh Abu Dawud (63) dalam Ath Thaharah, Tirmidzi (67) dalam
Ath Thaharah, Nasa’i (328), (52) dalam Ath Thaharah, Ahmad
(4788), Hakim (1/132), Ibnu Hibban dalam Shahihnya (2/274-275), Ibnu
Khuzaimah (1/49) no. (92), Darimiy (732), juga diriwayatkan oleh Thahawiy,
Daruquthni dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Abu Dawud (64),
dan Al Irwaa’ (23).
Sebagian ulama ada yang mengatakan
bahwa sanad dan matan ini mudhtharib. Adapun mudhtharibnya sanad adalah karena
pusatnya pada Al Walid bin Katsir. Ada yang mengatakan, diriwayatkan darinya,
lalu dari Muhammad bin Ja’far bin Zubair. Ada pula yang mengatakan,
diriwayatkan darinya, lalu dari Muhammad bin ‘Abbad bin Ja’far. Sesekali
dsebutkan dari Ubaidullah bin Abdillah bin Umar, dan sesekali dari Abdullah bin
Abdullah bin Umar.
Jawaban terhadap pernyataan
mudhtharib (goncang) sanad adalah, bahwa.yang demikian bukanlah mudhtharib yang
membuat cacat hadits tersebut, karena jika memang semuanya mahfuzh, maka
berarti berpindah dari orang yang tsiqah kepada orang yang tsiqah. Setelah
diteliti pula, bahwa hadits tersebut sanadnya dari Al Walid bin Katsir, dari
Muhammad bin Abbad bin Ja’far, dari Ubaidullah bin Abdullah bin Umar Al
Mukabbar. Sedangkan dari Muhammad bin Ja’far bin Az Zubair, dari Abdullah bin
Abdulah bin Umar Al Mushgharah. Siapa yang meriwayatkan tidak seperti ini
jalannya, maka ia keliru.
Sejumlah orang rawi meriwayatkan
dari Abu Usamah, dari Al Walid bin Katsir dengan dua jalan. Namun hadits ini
memiliki jalan yang ketiga yang diriwayatkan Ibnu Majah (518), Hakim, dan
lainnya dari jalan Hammad bin Salamah, dari Ashim bin Al Mundzir, dari Abdullah
bin Abdullah bin Umar, dari ayahnya. Ibnu Ma’in pernah ditanya tentang jalan
ini, lalu ia menjawab, “Isnadnya jayyid,” lalu ada yang menyampaikan kepadanya,
“Sesungguhnya Ibnu Aliyyah tidak memarfu’kannya.” Maka Ibnu Ma’in berkata,
“Meskipun Ibnu Aliyyah tidak hafal, namun hadits tersebut jayyid isnadnya.”
Sebagian ulama ada yang mencacatkannya karena sebab mauquf (sampai kepada
sahabat), dimana Mujahid meriwayatkannya secara mauquf. Tentang kemauqufannya
dishahihkan oleh Daruqutni, Baihaqi, Al Mizziy, dan Ibnu Taimiyah.
Adapun pernyataan bahwa matannya
adalah mudhtharib (goncang) karena sesekali diriwayatkan dengan lafaz tiga
qullah, dan sesekali diriwayatkan dengan lafaz empat puluh qullah,
maka jawabannya adalah bahwa riwayat tiga dan empat puluh qullah adalah syadz,
yang shahih adalah dua qullah.
Syaikh Al Albani berkata, “Hadits
tersebut shahih diriwayatkan oleh Lima Imam Ahli Hadits, demikian pula oleh
Darimi, Thahawi, Daruqutni, Hakim, Baihaqi, dan Thayalisi dengan isnad yang
shahih. Dan dishahihkan oleh Thahawi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Hakim, Adz
Dzahabi, Nawawi, dan Al ‘Asqalani. Adapun pencacatan sebagian ulama terhadapnya
karena mudhtharib, maka tertolak.”
Sedangkan pentakhshisan dua qullah
dengan qullah negeri Hajar, maka tidak ada riwayat marfu selain dari jalan
Mughirah bin Shaqlab, ia seorang munkarul hadits.
0 komentar:
Posting Komentar