بسم الله الرحمن الرحيم
Tanya-Jawab
Masalah Agama (4)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam
semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan
orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut tanya jawab berbagai
masalah aktual, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan
bermanfaat, aamin.
13. Pertanyaan: Izin bertanya ustadz, ana seorang
dokter gigi, terkadang mendapatkan pasien yang setelah tindakan ternyata
membayar perawatan dengan menggunakan asuransi dan pasien perlu diagnosa dan tanda tangan ana untuk klaim asuransinya, lalu ana berikan diagnosa apa adanya apakah
penghasilan ana halal?
Jawab:
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه
ومن والاه أما بعد :
Dalam hal ini tergantung
asuransinya dan pihak penerima asuransi. Jika asuransinya halal seperti
asuransi atas dasar ta’awun (tolong menolong) atau asuransi syariah yang bukan komersial,
maka menandatangani dan menerima gajinya adalah halal. Tetapi jika asuransinya komersial
yang di dalamnya terdapat gharar, qimar (pertaruhan/judi) dan riba baik fadhl
(kelebihan pada salah satu barang ribawi) dan nasi’ah (adanya
penundaan di salah satunya), maka menandatanganinya sama saja membantu dalam
hal dosa dan maksiat, sedangkan Allah Ta’ala berfirman,
وَتَعَاوَنُوا عَلَى
الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Tolong-menolonglah
di atas kebaikan dan takwa, dan jangan tolong menolong di atas dosa dan
pelanggaran.” (Qs. Al Maidah: 2)
Demikian
juga ketika pihak penerima asuransi boleh menerima asuransi, maka tidak mengapa
menandatangani dan menerima gajinya, seperti pihak penerima asuransi
mendapatkan bantuan asuransi karena sebagai warga tidak mampu, wallahu a’lam.
Wa billahit taufiq wa shallallahu ‘alaa
Nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan Hadidi, M.Pd.I
14.
Pertanyaan: saya seorang istri. Awal menikah kita tidak punya harta
seperti sekarang alias tidak punya apa-apa. Setelah pernikahan berjalan 2
tahun, kita memulai usaha sampai sekarang dan dari usaha itu sekarang kita
mempunyai rumah, mobil, uang dll. Istilah kata kita jadi
orang yang
punya harta. Yang mau saya
tanya apakah istri berhak atas harta tersebut? Istri
berperan dari awal usaha itu dibuat/ikut serta bekerja.
Jawab:
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول
الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد :
Jika suatu
harta diusahakan bersama oleh suami dan istri, kemudian keduanya berpisah atau
salah satunya meninggal, maka jika diketahui saham masing-masing pada harta
itu, maka diberlakukan hal itu. Misalnya milik suami pada harta itu 60 %,
sedangkan milik istri 40 %.
Jika tidak
diketahui saham masing-masingnya, maka bisa ditempuh jalan Shulh, Uruf, atau
Qadha (keputusan hakim).
Shulh adalah kesepakatan antara suami dan istri berdasarkan
musyawarah atas dasar salling ridha.
Dalil
pensyariatan Shulh adalah sabda Rasulullah shallalahu alaihi wa sallam,
«الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ المُسْلِمِينَ، إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ
حَلَالًا، أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا، وَالمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ، إِلَّا
شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا، أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا»
“Shuluh (perdamaian)
itu boleh dilakukan antara kaum muslimin kecuali shulh yang mengharamkan yang
halal atau menghalalkan yang haram, dan kaum muslimin sesuai syarat mereka
kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (Hr.
Abu Dawud, dinyatakan ‘hasan shahih’ oleh Al Albani)
Adapun Uruf,
maka maksudnya kebiasaan yang berlaku.
Dalam
kaidah fiqih disebutkan ‘Al ‘Aadah Muhakkamah’ (artinya: adat itu dapat
diberlakukan), namun dengan syarat tidak bertentangan dengan nash syar’i dan
sudah berlaku sejak lama.
Sehingga
jika dalam harta yang dimiliki bersama (gono-gini) tidak ada kesepakatan antara
suami dan istri, maka dilihat apakah dalam masyarakat ada uruf yang berlaku
tentang pembagian harta gono-gini. Jika ada, maka bisa diberlakukan.
Sedangkan Qadha
maksudnya keputusan yang ditetapkan
oleh hakim setempat terhadap masalah yang disampaikan kepadanya. Dalam kondisi
ini seorang hakim harus memperhatikan kondisi suami istri tersebut untuk
menentukan pembagian harta gono gini dengan baik. Dan dalam kondisi ini boleh
bagi hakim menggunakan hukum perdata yang ada di peradilan selagi tidak
bertentangan dengan syariat Islam, wallahu a’lam. (Lihat: https://konsultasisyariah.com/14448-teka-teki-harta-gono-gini.html)
Wa billahit taufiq wa shallallahu ‘alaa
Nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan Hadidi, M.Pd.I
Referensi:
https://islamqa.info/ar/answers/158869/%D9%85%D9%8A%D8%B1%D8%A7%D8%AB-%D8%A7%D9%84%D9%85%D8%B1%D8%A7%D8%A9-%D8%A7%D9%84%D8%AA%D9%8A-%D8%AA%D8%B4%D8%A7%D8%B1%D9%83-%D8%B2%D9%88%D8%AC%D9%87%D8%A7-%D9%81%D9%8A-%D9%86%D9%81%D9%82%D8%A7%D8%AA-%D8%A7%D9%84%D8%A8%D9%8A%D8%AA-%D9%88%D9%85%D8%AF%D8%AE%D8%B1%D8%A7%D8%AA%D9%87,
https://konsultasisyariah.com/14448-teka-teki-harta-gono-gini.html
, dll.
15.
Pertanyaan: Assalamu
'alaikum ustadz, saya ingin bertanya. Apa hukum biro jasa pengurusan perpanjangan pajak stnk, mutasi, balik nama atau yang berkaitan? Karena setahu
saya dalam Islam tidak ada pajak. Terima kasih ustadz.
Jawab: Wa
alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuh.
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول
الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد :
Hukum asal biro
jasa adalah halal dan imbalan yang diperoleh juga halal karena sebagai imbalan
atas usaha dan pekerjaan yang dilakukan oleh pihak biro jasa yang pergi kesana
kemari mengurus berkas-berkas yang harus dimiliki setiap warga negara. Di
samping itu, posisinya juga sebagai wakalah (wakil) yang hukumnya sah jika
adanya bayaran maupun secara sukarela. Pihak biro jasa dipersilahkan mengambil
upah terhadap pekerjaan yang dilakukannya. Tentunya dengan memperhatikan hukum-hukum
agama dalam prakteknya seperti tidak adanya suap-menyuap untuk aparat
terkait, dsb.
Dan tidak
diperkenankan pihak atau pegawai negeri yang berkewajiban memberikan pelayanan
kepada masyarakat secara cuma-cuma menolak memberikan pelayanan sampai
diberikan bayaran atau uang kepadanya, karena ini termasuk ghulul (harta khianat)
padahal ia telah mendapatkan gaji dari pemerintah.
Demikian juga, jika pekerjaan
seseorang sebagai perantara (yang sudah mendapatkan gaji dari pemerintah) yang
menghubungkan kepada pihak yang terkait atau berwenang, maka tidak
diperbolehkan menerima hadiah atau bayaran, karena Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda,
«مَنْ شَفَعَ لِأَخِيهِ بِشَفَاعَةٍ، فَأَهْدَى لَهُ هَدِيَّةً
عَلَيْهَا فَقَبِلَهَا، فَقَدْ أَتَى بَابًا عَظِيمًا مِنْ أَبْوَابِ الرِّبَا»
“Barang siapa yang menjadi
perantara bagi saudaranya, lalu saudaranya memberinya hadiah kemudian dia
menerimanya, maka ia telah mendatangi salah satu pintu besar riba.” (Hr. Abu
Dawud, dan dihasankan oleh Al Albani)
Adapun penarikan
pajak yang tidak ada timbal baliknya padahal Baitul mal atau keuangan negara
masih cukup untuk menanggung keperluan fasilitas umum, maka sebagaimana kita
ketahui hukumnya haram, sehingga dosa ditanggung oleh pihak pemungut pajak. Adapun
kita yang terpaksa harus membayar pajak -karena terzalimi-, maka tidak berdosa.
wallahu a’lam.
Wa billahit taufiq wa shallallahu ‘alaa
Nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan Hadidi, M.Pd.I
Referensi: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/38999/
15.
Pertanyaan: Bismillah, afwan ustad mau menyanyakan terkait khitbah, kalau misalnya khitbah sekalian memberikan cincin untuk pihak akhwat apakah
boleh? Bagaimana hukumnya ustad? Apakah
sama dengan hukum tukar cincin yang tasyabuh? Syukron.
Jawab:
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول
الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد :
Khitbah
atau lamaran termasuk yang disyariatkan ketika kita hendak menikah. Namun ada
hal yang dipermasalahkan para ulama, yakni terkait memberikan cincin untuk
pihak akhwat atau tukar menukar cincin antara calon mempelai saat lamaran sebelum
akad nikah.
Menurut
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah, bahwa hukumnya makruh karena hal itu diambil
contohnya dari non muslim (Majmu Fatawa 18/112).
Menurut
Syaikh Al Albani rahimahullah, bahwa tradisi tersebut berasal dari
orang-orang Nasrani, dimana dahulu seorang pendeta didatangi oleh kedua calon
mempelai di gereja lalu ia memakaikan cincin itu di jari calon mempelai wanita.
Dengan
demikian, sebaiknya tidak dilakukan hal itu karena di dalamnya terdapat
tasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir, sedangkan Nabi shallallahu alaihi wa
sallam melarang kita tasyabbuh. Beliau bersabda,
«مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ»
“Barang
siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk mereka.” (Hr. Abu Dawud,
dinyatakan hasan shahih oleh Al Albani)
Di
samping itu sering terjadi pelanggaran dalam acara tukar cincin atau memakaikan
cincin, di antaranya: dipakaikan cincin emas kepada calon suami, bersentuhan
laki dengan wanita padahal belum menjadi mahramnya (masih sebagai ajnabi/asing),
adanya keyakinan syirik yaitu bahwa hal itu dapat melanggengkan pernikahan, dsb.
Walahu a’lam.
Wa billahit taufiq wa shallallahu ‘alaa
Nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan Hadidi, M.Pd.I
0 komentar:
Posting Komentar