بسم الله الرحمن الرحيم
Tanya-Jawab Tentang Hukum Menaati Penguasa
Segala puji bagi
Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari
Kiamat, amma ba’du:
Berikut pembahasan tentang hukum menaati Penguasa yang kami hadirkan dalam bentuk tanya jawab. Semoga
Allah Azza wa Jalla menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan
bermanfaat, Allahumma aamin.
Tanya-Jawab
Pertanyaan:
Apakah memberontak kepada penguasa yang zalim
menyelisihi prinsip Ahlussunnah wal Jamaah?
Jawab: Ya.
Pertanyaan:
Mana dalilnya?
Jawab: Hadits Ubadah bin Ash Samit yang berbunyi:
بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ
وَالطَّاعَةِ، فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا، وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً
عَلَيْنَا، وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ، إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا،
عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
“Kami membai’at
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tetap mendengar dan taat (kepada
pemimpin) baik ketika kami semangat maupun tidak, baik ketika kami susah maupun
lapang, serta mendahulukan
mereka daripada hak kami, dan agar kami tidak mencabut kepemimpinan
dari pemiliknya, kecuali jika kamu melihat kekafiran yang jelas dan kamu
memiliki bukti yang nyata dari sisi Allah terntangnya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)[i]
Pertanyaan: Tetapi,
bukankah kata kekafiran di hadits itu bisa juga maksudnya ‘maksiat’?
Jawab: Tidak, bahkan kekafiran di hadits tersebut adalah betul-betul kekafiran. Hal ini berdasarkan hadits
Auf bin Malik, bahwa Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
أَلَا مَنْ وَلِيَ عَلَيْهِ
وَالٍ، فَرَآهُ يَأْتِي شَيْئًا مِنْ مَعْصِيَةِ اللهِ، فَلْيَكْرَهْ مَا يَأْتِي مِنْ
مَعْصِيَةِ اللهِ، وَلَا يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
“Ingatlah! Barang siapa yang dipimpin oleh seseorang, lalu dilihatnya
mengerjakan maksiat kepada Allah, maka bencilah maksiat itu dan jangan mencabut
ketaatan daripadanya.” (Hr. Muslim)
Pertanyaan: Tetapi,
bukankah Umar radhiyallahu anhu pernah berkata, “Luruskanlah aku (jika aku
salah)!”
Jawab: Jika pernyataan
ini benar dari Umar radhiyallahu anhu, maka maksud ‘luruskan’ adalah
memperbaiki; bukan mengganti atau menggulingkan.
Pertanyaan: Bukankah
menaati penguasa adalah apabila penguasa kita seorang yang adil. Jika seorang
yang zalim, maka tidak kita taati?
Jawab: Bahkan penguasa yang
zalim juga tetap kita taati selama perintahnya bukan maksiat. Rasulullah
shallallahua alaihi wa sallam bersabda,
أَلَا مَنْ وَلِيَ عَلَيْهِ
وَالٍ، فَرَآهُ يَأْتِي شَيْئًا مِنْ مَعْصِيَةِ اللهِ، فَلْيَكْرَهْ مَا يَأْتِي مِنْ
مَعْصِيَةِ اللهِ، وَلَا يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
“Ingatlah!
Siapa saja yang diangkat menjadi penguasa, lalu ia melihatnya mengerjakan
maksiat kepada Allah, maka bencilah maksiatnya kepada Allah dan jangan mencabut
ketaatan daripadanya.” (Hr. Muslim)
Hadits ini menunjukkan, bahwa penguasa itu tetap sah meskipun zalim, dan tidak
boleh memberontak kepadanya. Demikian pula perintahnya wajib ditaati kecuali
jika ia memerintahkan maksiat.
Pertanyaan: Sampai
kapan kita bersabar terhadap penguasa?
Jawab: Sampai kita bertemu
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di haudh (telaganya) di akhirat nanti,
Beliau bersabda,
«فَإِنَّكُمْ
سَتَرَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً، فَاصْبِرُوا حَتَّى تَلْقَوْنِي عَلَى الحَوْضِ»
“Sesungguhnya
kalian akan lihat setelahku sikap mementingkan diri (dari penguasa), maka
bersabarlah sampai kalian bertemuku di telaga.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Pertanyaan: Bagaimana
kami menuntut hak kami?
Jawab: Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda,
«سَتَكُونُ
أَثَرَةٌ وَأُمُورٌ تُنْكِرُونَهَا»
“Akan
ada sikap mementingkan diri dan beberapa perkara yang kalian ingkari.”
Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, lalu apa perintah engkau kepada
kami?”
Beliau bersabda,
تُؤَدُّونَ الحَقَّ الَّذِي
عَلَيْكُمْ، وَتَسْأَلُونَ اللَّهَ الَّذِي لَكُمْ
“Kalian
penuhi kewajiban kalian dan kalian meminta kepada Allah hak kalian.” (Hr.
Bukhari)
Pertanyaan: Bukankah
yang ditaati adalah pemimpin yang kita ridhai saja, bukan yang menang dan
mengalahkan yang lain?
Jawab: Bahkan yang menang dan
mengalahkan yang lain juga. Hal ini berdasarkan hadits Irbadh bin Sariyah
berikut, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَالسَّمْعِ
وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ
“Saya
wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah Ta’ala, tunduk dan patuh kepada
pemimpin kalian meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak.” (HR.
Abu Dawud dan Tirmidzi, dia (Tirmidzi) berkata, “Hasan shahih”)
Pertanyaan: Bukankah
bersabar terhadap pemerintah adalah apabila pemerintah itu mengikuti petunjuk
Nabi shallallahu alaihi wa sallam, namun ia melanggarnya. Sedangkan pemerintah
yang tidak mengikuti petunjuk Beliau, maka tdak berlaku nash-nash tadi?
Jawab: Kalian keliru. Ada
hadits Hudzaifah Ibnul Yaman, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda,
«يَكُونُ
بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ، وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي، وَسَيَقُومُ
فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ»
“Akan
ada setelahku para pemimpin yang tidak menggunakan petunjukku dan tidak
mengamalkan sunnahku. Dan akan ada di tengah mereka laki-laki yang hatinya
adalah hati setan namun jasadnya manusia.”
Hudzaifah berkata, “Apa yang perlu aku lakukan wahai Rasulullah, jika aku
mendapati zaman itu?”
Beliau bersabda,
«تَسْمَعُ
وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ، وَأُخِذَ مَالُكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ»
“Engkau
tetap mendengar dan taat kepada pemimpin meskipun punggungmu dipukul dan
hartamu diambil. Tetaplah mendengar dan taat.” (Hr. Muslim)
Pertanyaan:
Apakah semua perintah penguasa harus kita taati?
Jawab: Tidak semua. Bahkan kalau
perintahnya mengandung maksiat, maka tidak boleh ditaati. Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«عَلَى
الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، إِلَّا أَنْ
يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ»
“Seorang muslim harus mendengar dan
taat (kepada penguasa) baik dalam hal yang ia suka maupun ia benci, kecuali
apabila diperintahkan berbuat maksiat. Jika diperintahkan berbuat maksiat, maka
tidak didengar dan tidak ditaati.” (Hr. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar)
Pertanyaan: Apakah
para ulama sepakat (ijma) mengharamkan sikap memberontak kepada
penguasa?
Jawab: Ya. Hal ini sebagaimana
dinukilkan oleh Imam Nawawi, Ibnu Hajar, Ibnu Taimiyah, dan Imam Syaukani rahimahumullah.
Pertanyaan: Bagaimana
terjadi kesepakatan, sedangkan Ibnuz Zubair melakukan pemberontakan?
Jawab: Kalian keliru. Ibnuz
Zubair tidaklah memberontak kepada penguasa, karena ketika itu kaum muslimin
tidak memiliki pemimpin yang menyeluruh. Keadaan kaum muslimin setelah wafatnya
Yazid tidak jelas. Ketika itu Ibnuz Zubair dibai’at oleh penduduk Mekah, dan
penduduk Hijaz tunduk kepadanya.
Pertanyaan: Bagaimana
dengan tampilnya Al Husain?
Jawab: Al Husain tidaklah
keluar untuk merebut kekuasaan. Ketika itu penduduk Basrah menipu beliau,
mereka mengatakan, “Datanglah kepada kami. Kami tidak memiliki pemimpin.”
Ketika beliau tahu, bahwa beliau ditipu, maka beliau menyesal dan ingin kembali
ke keluarganya atau pergi menemui Yazid atau ke perbatasan, namun orang-orang
yang zalim tidak memberinya kesempatan dan membunuhnya secara zalim sehingga
beliau syahid radhiyallahu anhu.
Pertanyaan: Tetapi,
bukankah yang lain juga ada yang melakukan pemberontakan, maka bagaimana bisa
terjadi ijma?
Jawab: Ibnu Hajar berkata, “Keluarnya
sebagian kaum salaf untuk memberontak adalah sebelum tetapnya ijma tentang
haramnya memberontak kepada pemimpin yang zalim.” (Mirqatul Mafatih no.
1125)
Imam Nawawi menukil, bahwa memang terjadi khilaf sebelumnya, lalu
terjadilah kesepakatan tentang haramnya memberontak kepada penguasa setelahnya.
Pertanyaan: Bukankah
harga barang melonjak dan ekonomi susah karena kezaliman penguasa?
Jawab: Kalau pun rakyat keluar
melakukan demonstrasi dan memberontak, maka keadaan malah akan semakin parah,
keamanan hilang, darah tertumpah, dan kehormatan terenggut. Siapa saja yang
melihat sejarah akan mengetahui, bahwa sikap memberontak tidak membawa kebaikan.
Bahkan kalau kita perhatikan ayat dan hadit. Kita akan mengetahui, bahwa
diangkatnya pemimpin yang zalim adaah karena rakyatnya juga zalim dan melakukan
berbagai kemaksiatan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ
الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Dan
demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang yang zalim itu menjadi wali
bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka kerjakan.” (Qs. Al An’aam: 129)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
يَامَعْشَرَ
الْمُهَاجِرِينَ! خَمْسٌ إِذَا ابْتُلِيتُمْ بِهِنَّ، وَأَعُوذُ بِاللهِ أَنْ
تُدْرِكُوهُنَّ: لَمْ تَظْهَرَ الْفَاحِشَةُ فِي قَوْمٍ قَطُّ. حَتَّى يُعْلِنُوا
بِهَا، إِلاَّ فَشَا فِيهِمُ الطَّاعُونُ وَالأَوْجَاعُ الَّتِي لَمْ تَكُنْ
مَضَتْ فِي أَسْلاَفِهِمُ الَّذِينَ مَضَوْا وَلَمْ يَنْقَصُوا الْمِكْيَالَ
وَالْمِيزَانَ، إِلاَّ أثخِذَوا بِالسِّنِينَ وَشِدَّة الْمَئُونَةِ وَجَوْرِ
السُّلْطَانِ عَلَيْهِمْ وَلَمْ يَمْنَعُوا زَكَاةَ أَمْوَالِهِمْ، إِلاَّ
مُنِعُوا الْقَطْرَ مِنَ السَّمَاءِ، وَلَوْلاَ الْبَهَائِمُ لَمْ يُمَطَرُوا
وَلَمْ يَنْقُضُوا عَهْدَ اللهِ وَعَهْدَ رَسُوِلِهِ، إِلاَّ سَلَّطَ اللهُ
عَلَيْهِمْ عَدُوّاً مِنء غَيْرِهِمْ، فَأَخَذُوا بَعْضَ مَافِي بأَيْدِيِهمْ
وَمَا لَمْ تَحْكُمْ أَئِمَّتُهُمْ بِكِتَابِ اللهِ، وَيَتَخَّيُروا ممَّا
أَنْزَلَ اللهُ، إِلاَّ جَعَلَ اللهُ بَأْسَهُمْ بَيْنَهُمْ
"Wahai kaum Muhajirin! Ada lima perkara yang apabila
menimpa kalian, dan aku berlindung kepada Allah agar kalian tidak mengalaminya,
yaitu: tidaklah perbuatan keji (zina) tampak di suatu kaum, kemudian mereka
melakukannya dengan terang-terangan kecuali akan tersebar di tengah mereka
penyakit Tha'un (wabah penyakit yang berbahaya) dan penyakit-penyakit yang
belum pernah dialami para pendahulu mereka. Tidaklah mereka mengurangi
takaran dan timbangan, kecuali mereka akan ditimpa kemarau panjang, kesulitan
pangan dan kezaliman penguasa. Tidaklah mereka enggan membayar zakat
harta-harta mereka kecuali hujan dari langit akan dihalangi turun kepada
mereka, kalau bukan karena (rahmat Allah) kepada hewan-hewan ternak niscaya
mereka tidak akan diberi hujan. Tidaklah mereka melanggar perjanjian dengan
Allah dan Rasul-Nya, kecuali Allah akan menguasakan atas mereka musuh dari luar
mereka dan mengambil apa yang mereka miliki. Dan tidaklah pemimpin-pemimpin
mereka enggan menjalankan hukum-hukum Allah dan enggan memilih apa yang
diturunkan Allah, melainkan Allah akan mengadakan peperangan di antara
mereka." (HR. Ibnu Majah, dan dihasankan oleh Al Albani)
Pertanyaan: Lalu
apa solusinya?
Jawab: Istighfar, tobat, kembali
kepada agama Allah dan memperbaiki diri.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا
أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Dan
bertobatlah kalian semua kepada Allah wahai orang-orang yang beriman agar
kalian beruntung.” (Qs.
An Nuur: 31)
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ
مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya
Allah tidak merobah keadaan suatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada
pada diri mereka sendiri.” (Qs. Ar Ra’d: 11)
Oleh karena itu, rubahlah keadaan kita dari syirik kepada tauhid, dari bid’ah
kepada sunnah, dari maksiat kepada taat, dari muamalah yang tidak Islami kepada
muamalah yang Islami, dan dari akhlak tercela kepada akhlak mulia.
Singkatnya, bertakwalah kita kepada Allah; taatilah perintah-Nya dan
jauhilah larangan-Nya. Ingatlah firman-Nya,
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى
آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ
وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Jika
sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan
melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka
mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya.”
(Qs. Al A’raaf: 96)
Ada yang berkata kepada salah seorang kaum salaf, “Harga melonjak naik.” Ia
pun berkata, “Turunkanlah dengan istighfar.”
Fawaid:
1. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Khilafah (kepemimpinan)
adalah jabatan dan tanggung jawab yang besar, karena mengurus urusan kaum
muslimin, dimana pemegangnya adalah penanggung jawab utama terhadap hal itu. Hukumnya
fardhu kifayah, karena urusan manusia tidak akan tegak tanpanya. Khilafah ini
tercapai dengan salah satu tiga macam ini:
Pertama, pengangkatan dari khalifah
sebelumnya sebagaimana diangkatnya Umar bin Khaththab berdasarkan pengangkatan Abu
Bakar radhiyallahu anhu.
Kedua, berkumpulnya Ahlul Halli
wal ‘Aqd (Tim Musyawarah yang mengangkat khalifah) baik mereka dibentuk oleh khalifah
sebelumnya sebagaimana pada pengangkatan kekhalifahan Ustman radhiyallahu anhu,
dimana pengangkatan beliau dilakukan oleh Ahlul Halli wal Aqdi yang dibentuk
Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu atau tidak dibentuk oleh pemimpin
sebelumnya sebagaimana pada kekhalifahan Abu Bakar radhiyallahu anhu menurut sebagian
pendapat, dan sebagaimana pada pengangkatan Ali radhiyallahu anhu.
Ketiga, kekuatan dan pemenangan
sebagaimana pada kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan ketika Ibnuz Zubair
terbunuh sehingga selesai masa khilafahnya. (Ta’liq Mukhtashar ala Lum’atil
I’tiqad hal. 157)
2. Imam Al Ghazaliy rahimahullah berkata, “Kalau kesulitan menemukan
seorang yang wara’ dan berilmu untuk memegang kepemimpinan, lalu ada orang yang
tidak mengerti hukum atau orang fasik yang merebutnya, sedangkan jika
menjauhkan perhatian manusia daripadanya dapat menimbulkan fitnah yang sulit
dipikul, maka kita putuskan untuk menganggap sah kepemimpinannya. Yang demikian
adalah, karena jika kita gerakkan fitnah dengan mencari penggantinya, maka apa
yang diterima kaum muslimin ketika proses penggantian berupa madharrat malah lebih
besar di atas madharat yang diperoleh karena kekurangan syarat pada pemimpin
yang ditetapkan karena maslahat. Oleh karena itu, tidak boleh pokok maslahat
dirobohkan karena mementingkan yang unggulnya, seperti halnya membangun istana,
namun kotanya dirobohkan. Demikian pula antara
memutuskan untuk mengosongkan negeri dari pemimpin dan rusaknya keadaan, ini tidak mungkin. Jika kita putuskan
berlakunya pemerintahan penguasa zalim di negeri mereka karena dibutuhkan, maka
bagaimana kita tidak memutuskan sahnya kepemimpinan ketika dibutuhkan dan dalam
kondisi darurat?”
3. Al Khallal dalam As Sunnah hal. 133 dan Ibnu Muflih dalam Al
Adab Asy Syar’iyyah (1/195, 196) menyebutkan, bahwa pada masa pemerintahan
Al Watsiq, para fuqaha Baghdad berkumpul di hadapan Abu Abdillah (Imam Ahmad
bin Hanbal) dan berkata kepadanya, “Sesungguhnya masalah ini (menyatakan bahwa
Al Qur’an adalah makhluk) dan masalah lainnya (yang bertentangan dengan akidah
Islam) sudah semakin parah dan menyebar, dan kami tidak ridha dengan pemerintahan
dan kepemimpinannya. Lalu Imam Ahmad berdiskusi dengan mereka,
kemudian ia berkata, “Kalian wajib mengingkarinya dengan hati kalian dan jangan
mencabut ketaatan kepadanya. Jangan
kalian patahkan tonggak (kesatuan) kaum muslimin dan jangan kalian tumpahkan
darah kalian dan darah kaum muslimin. Perhatikanlah akhir urusan kalian dan
bersabarlah agar orang yang baik dapat beristirahat dan dapat lepas dari orang
yang fasik.” Ia juga berkata, “Sikap ini (mencabut sikap taat kepada
pemerintah) tidaklah benar. Hal ini menyelisihi atsar.”
4. Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
"Pada tahun 478 H terjadi berbagai musibah, seperti demam dan wabah
tha'un di Irak, Hijaz, dan Syam. Akibatnya, ada yang meninggal dunia tiba-tiba,
hewan liar mati, dan hewan ternak pun mati. Susu dan daging pun menjadi
sedikit.
Di samping itu, terjadi peperangan besar antara kaum Syiah dan Ahlussunnah,
sehingga banyak korban yang tewas.
Pada bulan Rabiul Awwal angin hitam berhembus kencang dan menerbangkan
pasir-pasir hingga pohon-pohon banyak yang tumbang, seperti pohon kurma dan
lainnya.
Bunyi halilintar terjadi di berbagai wilayah sehingga sebagian manusia
mengira Kiamat telah terjadi,
Maka Khalifah Al Muqtadi bi Amrillah menetapkan untuk:
1. Menegakkan kembali amar ma'ruf dan nahi mungkar di setiap wilayah
2. Mewajibkan kaum kafir dzimmi yang berada di wilayah Islam mengenakan
pakaian ciri khas mereka
3. Mematahkan berbagai alat musik
4. Menumpahkan khamr (minuman keras)
5. Mengusir para pelaku kerusakan (penyeru maksiat) dari negerinya
Maka musibah itu pun hilang, dan segala puji bagi Allah."
(Al Bidayah wan Nihayah secara ringkas 11/140)
Dari kisah di atas, kita dapat mengambil pelajaran, bahwa solusi keluar
dari musibah yang kita alami, seperti kemarau panjang, gempa bumi, kerusuhan
dan sebagainya adalah dengan:
1. Kembali kepada Allah dengan istighfar dan tobat
2. Hidupkan kembali amar ma'ruf dan nahi mungkar atau ingatkan manusia
mengerjakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, dan gunakan berbagai
media untuk amar maruf dan nahi munkar sambil bekerja sama dengan pihak
pemerintah
Misalnya memerintahkan manusia menjaga tauhid dan menjauhi syirik seperti
sesaji dan tumbal, meninggalkan para dukun, menyuruh manusia menjaga shalat,
memerintahkan kaum wanita menutup aurat, menutup pabrik-pabrik minuman keras
(dengan meminta bantuan kepada pemerintah), dsb.
3. Jangan beri kesempatan penyeru kerusakan berbicara di depan umum,
seperti kaum Liberalis, Sekularis, LGBT, Peramal atau dukun, Pluralis, Komunis,
dsb.
Wallahu a’lam, wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa
shahbihi wa sallam wal hamdulillahi Rabbil alamin
Marwan bin Musa
Maraji:
Maktabah Syamilah 3.45, Tulisan via medsos tentang hukum memberontak
yang ditulis oleh Abu Bakar Addab dari Khartum, Sudan, Mu’amalatul Hukkam fii Dhau’il Kitab was Sunnah (Abdussalam bin Barjas), Ta’liq Mukhtashar ala Lum’atil I’tiqad (Syaikh M. Bin Shalih Al Utsaimin), dll.
[i] Berdasarkan hadits
tersebut, maka tidak diperbolehkan menggulingkan penguasa kecuali jika memenuhi dua syarat :
1.
Pemimpin tersebut jelas-jelas melakukan kekafiran dan ada
dalil tentang kekafirannya.
2.
Tidak menimbulkan madharrat (bahaya) yang lebih besar.
Tentunya
yang menimbang hal ini adalah ulama (lihat An Nisaa’ : 83).
0 komentar:
Posting Komentar