بسم
الله الرحمن الرحيم
Pengantar Akidah Islam (2)
Segala puji bagi Allah
Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para
sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Di antara rukun iman yang
telah kami sebutkan sebelumnya, yang kami ingin jelaskan lebih lanjut adalah
beriman kepada Allah.
Sebagaimana telah diterangkan
di muka, bahwa beriman kepada Allah mencakup beriman kepada wujud Allah,
rububiyyah-Nya, Uluhiyyah-Nya, dan beriman kepada nama
dan sifat-Nya. Maka berikut ini, kami akan terangkan dalilnya.
Pertama, beriman
kepada wujud Alllah
Kita mengetahui bahwa manusia
bukanlah yang menciptakan dirinya sendiri, karena sebelumnya ia tidak ada. Dan
sesuatu yang tidak ada tidak bisa mengadakan sesuatu. Manusia tidak pula
diciptakan oleh ibunya dan tidak pula oleh bapaknya serta tidak pula muncul
secara tiba-tiba. Sesuatu yang terwujud sudah pasti ada yang mewujudkannya.
Dari sini kita mengetahui akan keberadaan Allah Subhanahu
wa Ta’ala Pencipta kita dan Pencipta alam semesta.
Allah Subhaanahu wa Ta'aala
berfirman,
أَمْ
خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُونَ (35) أَمْ خَلَقُوا
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بَلْ لَا يُوقِنُونَ (36)
“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu
(Pencipta) ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?---Ataukah
mereka telah menciptakan langit dan bumi itu?; Sebenarnya
mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan). “(QS.
Ath Thuur: 35-36)
Adanya Allah didukung oleh
banyak dalil. Dari mulai dalil sam’i (wahyu), dalil
‘aqli (akal), dalil hissiy (indera) maupun dalil
fithriy (fitrah).
Dalil sam’i sudah
jelas.
Dalil ‘Aqli
tentang adanya Allah adalah alam semesta, akal yang sehat menolak dengan keras
jika alam semesta yang tersusun rapi dan indah ini muncul secara tiba-tiba. Dan
kita pasti mengingkari jika ada sesorang yang datang,
memberitahukan kepada kita bahwa dirinya telah melihat sebuah rumah beserta
isinya muncul dengan sendirinya. Ini adalah hal yang mustahil, lalu bagaimana
dengan alam semesta yang rapi dan indah ini? Sudah pasti ada yang
menciptakannya.
Dalil Hissiy yang menunjukkan
adanya Allah adalah terkabulnya doa. kita sering mendengar dan menyaksikan
ketika seseorang berdoa kepada Allah meminta sesuatu, lalu permintaannya
dikabulkan, apa yang diinginkannya ada di hadapan matanya. Ini juga menunjukkan
adanya Allah.
Sedangkan dalil Fithriy (fitrah) yang
menunjukkan adanya Allah adalah manusia merasakan bahwa alam semesta ini pasti
ada yang menciptakannya, menguasainya,, dan mengaturnya. Dialah
Allah satu-satunya Tuhan yang menciptakan alam semesta yang sangat
luas, yang menguasai dan mengaturnya.
Kedua, beriman
kepada Rububiyyah Allah
Manusia yang masih sehat
akalnya mengakui bahwa alam semesta ini pasti ada yang menciptakan, mengaturnya, dan
mengurusnya. Karena mustahil sekali alam semesta yang tersusun rapi dan indah
ini tidak ada yang menciptakan dan mengaturnya.
Oleh karena itu, kaum musyrikin
yang didakwahi Rasulullah shallalllahu 'alaihi wa sallam agar menyembah Allah
saja, mengakui bahwa Pencipta alam semesta ini dan Penguasanya adalah Allah.
Namun mereka mengingkari uluhiyyah Allah (keberhakan Allah saja untuk diibadati; tidak selain-Nya)[i]. Allah Subhaanahu wa
Ta'aala berfirman,
قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ
وَالْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ
مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ
فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ
Katakanlah: "Siapakah yang
memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau
siapakah yang Kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah
yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari
yang hidup dan siapakah yang mengatur
segala urusan?" Maka mereka akan menjawab,
"Allah." Katakanlah,
"Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?" (QS.
Yunus: 31)
Di samping itu, akal yang sehat
juga menyatakan bahwa tidak mungkin alam semesta ini diatur oleh banyak tuhan,
kalau sekiranya ada Tuhan yang lain di samping Allah
dalam mengatur alam semesta ini, maka pasti di alam semesta ini akan
ada banyak ketetapan dan yang satu dengan yang lain akan saling mengalahkan;
yang mengakibatkan hancurnya alam semesta. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
لَوْ كَانَ فِيهِمَا آلِهَةٌ إِلَّا اللَّهُ لَفَسَدَتَا
فَسُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ الْعَرْشِ عَمَّا يَصِفُونَ
“Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah,
tentulah keduanya itu telah rusak
binasa. Maka Mahasuci Allah yang mempunyai 'Arsy dari apa yang mereka
sifatkan.” (QS. Al Anbiyaa’: 22)
Ketiga, beriman
kepada uluhiyyah Allah
Setelah kita mengetahui bahwa hanya Allah saja Yang
menciptakan, mengatur, dan menguasai alam semesta, seharusnya keyakinan ini membuat kita
hanya beribadah dan menyembah kepada Allah saja.
Sungguh sangat tidak pantas
makhluk yang telah dicipta, diurus, dan diberi rezeki
malah menyembah kepada makhluk sesamanya yang tidak bisa mencipta dan memberi rezeki. Hal
ini sama saja tidak bersyukur dan sebuah kebodohan.
Apalagi sampai menyembah kepada makhluk yang tidak bisa berbuat
apa-apa seperti patung dan berhala, bahkan kalau sekiranya ada makhluk yang
hendak mencelakakannya, patung-patung itu tidak
dapat menyelamatkan dirinya. Perhatikanlah kisah Nabi Ibrahim ‘alaihis
salam yang menghancurkan patung-patung seorang diri.
Jika patung-patung itu
tidak dapat menyelamatkan dirinya sendiri,
bagaimana bisa menyelamatkan yang lain?
يَا أَيُّهَا النَّاسُ ضُرِبَ مَثَلٌ
فَاسْتَمِعُوا لَهُ إِنَّ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ لَنْ يَخْلُقُوا
ذُبَابًا وَلَوِ اجْتَمَعُوا لَهُ وَإِنْ يَسْلُبْهُمُ الذُّبَابُ شَيْئًا لَا
يَسْتَنْقِذُوهُ مِنْهُ ضَعُفَ الطَّالِبُ وَالْمَطْلُوبُ
“Wahai
manusia! Telah
dibuat perumpamaan, maka
dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain
Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka
bersatu menciptakannya. Dan jika
lalat itu merampas sesuatu dari mereka, Mereka tidak
dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Sangat
lemah yang menyembah dan sangat lemah yang disembah.” (QS.
Al Hajj: 73)
Keempat, beriman
kepada nama-nama dan sifat Allah
Di samping beriman kepada tiga
hal di atas, kita pun wajib mengimani nama-nama dan sifat Allah yang disebutkan
Allah dalam kitab-Nya serta disebutkan Rasul-Nya dalam As Sunnah, tanpa ta’thil
(meniadakan), takyif (menanyakan “bagaimana?”), tamtsil (menyamakan dengan
sifat makhluk) serta tanpa ta’wil (mengartikan lain).
Meniadakan (ta’thil) nama-nama
dan sifat Allah sama saja menolak berita yang Allah sampaikan tentang Diri-Nya.
Menanyakan bagaimana sama saja
memaksakaan diri/takalluf.
Menyamakan sifat-Nya dengan
sifat makhluk adalah haram, Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ
الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu
pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang
Maha Mendengar dan Melihat.
(QS. Asy Syuuraa: 11)
Adapun
menta’wil sifat Allah juga sama saja memaksakan diri serta sama saja
berkata-kata tentang Allah tanpa ilmu.
Contoh menta’wil
adalah menta’wil sifat “Tangan”
bagi Allah dengan kekuasaan, atau menta’wil “Istawaa”
pada ayat “Ar Rahmaanu ‘alal ‘arsyis tawaa” (Ar Rahman bersemayam di
atas ‘Arsy) dengan “istawlaa” (menguasai). Hal ini tidak dibenarkan, karena
masuk ke dalam berkata tentang Allah tanpa ilmu. Sikap yang paling selamat
adalah sikap yang dilakukan kaum salaf (generasi pertama Islam). Mereka tidak
menta’wil, menta’thil, mentakyif, dan mentamtsil.
Oleh karena itu, kaum salaf dalam mengimani nama-nama dan sifat
Allah mengatakan,
أَمِرُّوْهَا كَمَا جَاءَتْ
“Biarkanlah lewat
sebagaimana datangnya.”
Maksudnya jangan kamu
memaksakan diri untuk mengetahui hakikatnya (menanyakan “bagaimana?”),
menyamakan seperti sifat makhluk-Nya, menafsirkannya (menta’wilnya) dan jangan
juga meniadakan.
Imam Syafi’i rahimahullah berkata,
آمَنْتُ بِاللهِ
وَبِمَا جَاءَ
عَنِ اللهِ
عَلَى مُرَادِ
اللهِ، وَآمَنْتُ بِرَسُوْلِ
اللهِ وَبِمَا جَاءَ
عَنْ رَسُوْلِ
اللهِ عَلَى مُرَادِ رَسُوْلِ
اللهِ
“Aku beriman kepada Allah dan segala yang datang dari Allah sesuai
maksud yang Allah inginkan. Dan aku beriman kepada Rasulullah dan segala yang
datang dari Rasulullah sesuai maksud yang diinginkan Rasulullah.”
Wallahu a’lam wa
shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa alaa aalihi wa shahbihi wa sallam
Marwan bin Musa
0 komentar:
Posting Komentar