بسم
الله الرحمن الرحيم
Ringkasan Akidah Ahlussunnah wal Jamaah (1)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam
semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang
mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut ringkasan Akidah Ahlussunnah
wal Jamaah, semoga Allah menjadikan risalah ini ditulis ikhlas karena-Nya dan bermanfaat,
Allahumma aamin.
Pengantar
Dari
Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
«لاَ يَزَالُ مِنْ أُمَّتِي أُمَّةٌ قَائِمَةٌ بِأَمْرِ اللَّهِ،
مَا يَضُرُّهُمْ مَنْ كَذَّبَهُمْ وَلاَ مَنْ خَالَفَهُمْ، حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ
اللَّهِ وَهُمْ عَلَى ذَلِكَ»
“Akan
senantiasa ada di kalangan umatku segolongan orang yang tegak menjalankan
perintah Allah. Orang yang mendustakan dan menyelisihi mereka tidak membuat
mereka terusik sehingga datang perintah Allah, sedangkan mereka dalam keadaan
seperti itu.”
Imam Ahmad berkata, “Kalau bukan Ahli Hadits (maksud hadits
tersebut), saya tidak tahu siapa lagi?”
Menurut Al Qaadhiy ‘Iyaadh bahwa yang dimaksud Imam Ahmad itu
adalah Ahlussunnah dan orang yang memiliki ‘akidah Ahli Hadits -kita
berharap kepada Allah semoga kita dimasukkan ke dalam golongan tersebut,
Allahumma aaamin-.
Malik bin
Yukhamir berkata, “Aku mendengar Mu’adz berkata, “Mereka berada di Syam.” (HR.
Bukhari)
Syaikhul
Islam berkata, “Barang siapa yang memperhatikan kondisi dunia pada saat ini,
maka ia akan mengetahui, bahwa golongan ini (yang berada di Syam) adalah golongan
yang paling menegakkan agama Islam, baik dalam hal ilmu, amal, maupun jihad di
timur maupun di barat. Merekalah yang memerangi musuh yang kuat dari kalangan
kaum musyrik dan Ahli Kitab, Kaum Nasrani dan kaum musyrik dari Turki, demikian
pula yang memerangi kaum Zindik yang munafik yang menyusup ke dalam kaum Syiah
Rafidhah dan lainnya seperti kelompok Ismailiyyah dan yang semisalnya seperti
kaum Qaramithah, dimana hal itu sudah dikenal dan diketahui sejak dahulu dan
sekarang. Kejayaan kaum muslim di timur maupun di barat adalah ketika mereka
Berjaya. Oleh karena itu, ketika mereka (Thaifah Manshurah di Syam) kalah pada
tahun 696 H, maka kaum muslim tertimpa kehinaan dan musibah yang hanya
diketahui Allah jumlahnya, baik di timur maupun di barat.” (Majmu Fatawa
28/532)
Syaikh
Muhammad bin Shalih Al Munajjid berkata, “Tidak ada pertentangan antara mereka
yang menafsirkan thaifah manshurah dengan para mujahid dan
yang menafsirkan dengan Ahli Ilmu, karena kebenaran tidak akan tegak dan
kebatilan tidak akan hancur kecuali dengan keduanya. Dengan jihad, kalimat
Tauhid menjadi tinggi dan syirk menjadi musnah, dan dengan ilmu manhaj
Ahlussunnah menjadi tinggi, sedangkan manhaj Ahli Bid’ah menjadi hancur.”
(Thuba Lisy Syam hal. 27)
Berikut kami sebutkan jalan yang ditempuh
oleh mereka Ahlussunnah.
Dalam masalah Rukun Iman
1. Ahlus Sunnah wal Jamaah beriman
kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, serta
beriman kepada qadar Allah yang baik dan yang buruk.
Mereka mengimani semua rukun iman ini, tidak
seperti Qadariyyah yang menolak beriman kepada qadar. Ibnu Umar radhiyallahu
'anhuma berkata tentang kaum Qadariyyah:
وَالَّذِي نَفْسُ ابْنِ عُمَرَ بِيَدِهِ، لَوْ كَانَ لِأَحَدِهِمْ مِثْلُ
أُحُدٍ ذَهَباً، ثُمَّ أَنْفَقَهُ فِي سَبِيْلِ اللهِ مَا قَبِلَهُ اللهُ مِنْهُ حَتىَّ
يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ
“Demi Allah yang jiwa Ibnu Umar di
Tangan-Nya, kalau seandainya salah seorang di antara mereka memiliki emas
sebesar gunung Uhud, lalu ia menginfakkannya di jalan Allah, niscaya Allah
tidak akan menerimanya sampai ia mau beriman kepada qadar.” (Diriwayatkan oleh
Muslim)
Iman adalah pengikraran di lisan, pembenaran di hati
dan pengamalan dengan anggota badan.
Iman bisa bertambah dengan ketaatan dan bisa berkurang
dengan kemaksiatan.
Pengikraran di lisan misalnya mengucapkan kalimat
syahadat.
Pembenaran di hati adalah dengan tidak ragu-ragu,
ikhlas mengucapkannya, jujur hatinya, mencintai, dan menerima apa yang
diikrarkan oleh lisannya.
Sedangkan pengamalan dengan anggota badan misalnya
mengamalkan konsekwensi syahadatain yang telah diiqrarkan.
Konsekwensi dari syahadat Laailaahaillallah
adalah meniadakan sesembahan selain Allah dan menetapkan bahwa ibadah itu hanya
untuk Allah saja. Contoh ibadah adalah berdoa, ruku’ dan sujud, meminta
pertolongan dan perlindungan, tawakkal dan berkurban. Ini semua harus ditujukan
kepada Allah saja.
Sedangkan konsekwensi dari
syahadat Muhammad Rasulullah adalah menaati perintahnya, menjauhi larangannya,
membenarkan ucapannya, dan beribadah kepada Allah sesuai contohnya.
Dalam beriman kepada Allah
2. Ahlus Sunnah wal Jamaah beriman
akan adanya Allah, beriman bahwa Dia Maha Esa tidak ada sekutu bagi-Nya, Allah
adalah Ar Rabb (Pencipta, Penguasa, Pengatur, dan Pemberi rezeki alam semesta),
Allah adalah Al Ilaahul Ma’buud (Tuhan yang berhak disembah dan ditujukan
berbagai macam ibadah’ tidak selain-Nya). Ahlus Sunnah wal Jamaah juga beriman
bahwa Allah memiliki nama-nama dan sifat yang telah ditetapkan Allah dalam Al
Qur’an dan Rasul-Nya dalam As Sunnah, tanpa tamtsil (menyamakan sifat Allah
dengan sifat makhluk), tanpa takyif (menanyakan “Bagaimana sifat Allah itu?”),
tanpa ta’thil (meniadakan sifat Allah)
dan tanpa tahrif.
Tahrif artinya mengartikan sebuah lafaz dari
makna yang rajih (kuat) kepada makna yang tidak rajih. Misalnya mengartikan
makna istawa (bersemayam) dengan makna istawlaa (menguasai) dalam ayat:
الرَّحْمَنُ
عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Tuhan yang
Maha Pemurah. bersemayam di atas 'Arsy.” (QS. Thaha: 5)
Padahal makna istawa/bersemayam adalah berada
di atas.
Atau mengartikan “Tangan Allah” dengan
kekuasaan.
Ahlus Sunnah wal Jamaah menetapkan sifat yang
disebutkan Al Qur’an dan As Sunnah seperti Tangan, Kaki, an sebagainya tanpa
menyamakan dengan sifat makhluk-Nya dan tanpa mentahrif, mentakyif, serta tanpa
meniadakan.
Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak melakukan ilhad
(penyimpangan) dalam nama-nama Allah dan sifat-Nya. Contoh ilhad dalam
nama-nama dan sifat Allah adalah:
-
Memberi
nama-nama berhala dengan nama-nama Allah, seperti ‘Uzza dari nama Al ‘Aziz dan
menamai berhala dengan ilaah (tuhan yang disembah) sebagaimana yang dilakukan
kaum musyrikin.
-
Menamai
Allah dengan nama yang tidak layak dengan keagungan-Nya, seperti orang-orang
Nasrani menamai Allah dengan “bapak”.
-
Menyifati
Allah dengan sifat kekurangan, seperti kata-kata orang Yahudi “Sesungguhnya
Allah itu miskin.”
-
Menghilangkan
makna dari nama-nama-Nya.
-
Menyerupakan
sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya.
Ahlus Sunnah wal Jamaah beriman bahwa Allah
adalah Al Awwal; yang tidak ada sesuatu pun sebelum-Nya. Dia juga Al
Aakhir; yang tidak ada sesuatu pun setelah-Nya, Dia adalah Azh Zhaahir;
yang tidak ada di atas-Nya sesuatu dan Dia adalah Al Baathin; yang tidak
ada di bawah-Nya sesuatu. Penjelasan seperti ini disebutkan dalam hadits yang
shahih.
Ahlus Sunnah wal Jamaah beriman bahwa Allah
Maha Tinggi dengan segala maknanya; Tinggi Dzat-Nya di atas seluruh
makhluk-Nya, tinggi kedudukan-Nya, dan tinggi kekuasaan-Nya.
Mereka juga beriman bahwa Allah bersemayam di
atas ‘Arsy; bersemayam yang sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya. Dengan
ketinggian-Nya yang mutlak, namun ilmu-Nya meliputi segala yang zhahir (tampak)
maupun yang batin (tersembunyi), alam bagian atas maupun alam bagian bawah dan
Dia mengetahui segala yang akan terjadi sebelum terjadi. Allah bersama
hamba-Nya dengan ilmu-Nya, Dia mengetahui hal-ihwal mereka dan Maha Dekat serta
Maha Mengabulkan doa.
Kedekatan Allah Subhaanahu wa Ta'aala
tidaklah menafikan ketinggian-Nya, karena Allah Subhaanahu wa Ta'aala tidak
sama dengan makhluk-Nya dalam semua sifat-Nya, Dia Maha Tinggi dengan
kedekatan-Nya dan Maha Dekat dengan ketinggian-Nya.
Allah Maha Kaya tidak membutuhkan
makhluk-Nya, akan tetapi semua makhluk butuh kepada-Nya. Tidak ada satu pun di
antara makhluk-Nya yang tidak butuh kepada-Nya walau pun sekejap mata. Dan
semua urusan mudah bagi Allah.
Allah adalah Al Qahhar (Maha Perkasa), tidak
ada yang dapat menolak ketetapan-Nya dan tidak ada yang dapat mengundur-undur
hukum-Nya.
Allah adalah Ar Ra’uuf dan Ar Rahiim (Maha
Penyayang), dimana tidak ada nikmat agama maupun dunia yang diterima seorang
hamba kecuali dari-Nya, demikian juga tertolaknya marabahaya pun dari-Nya,
Dia-lah Allah yang mendatangkan nikmat dan menolak bahaya.
Allah Subhaanahu wa Ta'ala memberikan hidayah
adalah karena karunia-Nya, maka segala puji milik Allah. Dan Dia menyesatkan
karena keadilan-Nya, maka segala puji milik Allah.
Di antara rahmat(kasih-sayang)-Nya adalah
bahwa Allah turun ke langit dunia setiap sepertiga malam terakhir sebagaimana disebutkan
dalam hadits yang shahih; menawarkan siapa yang mau dipenuhi kebutuhan-Nya;
maka akan dipenuhi. Siapa yang berdoa kepada-Nya akan dikabulkan, siapa yang
meminta kepada-Nya akan diberikan dan siapa yang meminta ampunan-Nya, maka akan
diampuni hingga terbit fajar. Allah Subhaanahu wa Ta'aala turun sebagaimana
yang dikehendaki-Nya dan berbuat yang diinginkan-Nya,
لَيْسَ
كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada
sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia yang Maha mendengar dan melihat.” (QS.
Asy Syuuraa: 11)
Dalam ayat “Tidak ada sesuatupun yang
serupa dengan Dia” terdapat bantahan terhadap kaum musyabbihah (yang
menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya), dan dalam ayat “Dia yang
Maha mendengar dan melihat” terdapat bantahan terhadap kaum mu’aththilah
(yang meniadakan sifat Allah).
Ahlus Sunnah wal Jamaah tidaklah seperti kaum
mutakallimin (ahlul kalam) yang menetapkan nama-nama dan sifat untuk Allah
berdasarkan akal, tidak merujuk kepada wahyu; mereka menetapkan sifat untuk
Allah meskipun tidak disebutkan dalam Al Qur’an dan As Sunnah dan meniadakan
sebuah sifat meskipun sifat tersebut disebutkan dalam Al Qur’an dan As Sunnah[i].
Ahlus Sunnah wal Jamaah mengatakan bahwa
tidak ada yang mengetahui bagaimana hakikat Allah Azza wa Jalla kecuali Allah
saja, mereka mengenal Allah dengan sifat-sifat-Nya; Dia Maha Esa, Dia Ash
Shamad (semua makhluk bergantung kepada-Nya), Dia tidak beranak dan tidak pula
diperanakkan serta tidak ada yang setara dengan-Nya.
Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa Allah
adalah Al Hakiim (Maha Bijaksana), Dia memiliki hikmah yang sempurna di balik
syari’at dan qadar yang ditetapkan-Nya. Oleh karena itu, Allah tidaklah
menciptakan sesuatu main-main dan tidaklah menetapkan syari’at kecuali karena
adanya maslahat dan hikmah di balik itu.
Allah adalah At Tawwab (Maha Penerima
taubat), Al ‘Afuww (Maha Pemaaf) dan Al Ghafuur (Maha Pengampun).
Dia menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan, Dia pun
mengampuni dosa-dosa bagi orang-orang yang bertaubat, beristighfar, dan kembali
kepada-Nya.
Dia pun Asy Syakuur; Dia mensyukuri
amal yang dilakukan seseorang meskipun kecil dan akan memberikan karunia kepada
orang-orang yang bersyukur.
3. Ahlus Sunnah wal Jamaah menyifati
Allah dengan sifat yang ditetapkan Allah untuk Diri-Nya dan mengikuti sifat
yang ditetapkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk Diri-Nya.
Di antara sifat yang berkaitan dengan
dzat-Nya adalah sifat Al Hayaat (Maha Hidup), As Sam’ (Maha
Mendengar), Al Bashar (Maha Melihat), Al Qudrah (Maha Kuasa), Al
‘Azhamah (Maha Agung), Al Kibriyaa’ (Maha Besar), Al Majd
(Maha Mulia), Al Jamaal (Maha Indah) dan Al Hamd (Maha Terpuji
secara mutlak).
Dan di antara sifat fi’il (perbuatan) yang
terkait dengan kehendak Allah dan qudrat/kekuasaan-Nya adalah Ar Rahmah
(Sayang), Ar Ridhaa (ridha), As Sukhth (murka) dan Al Kalam
(berbicara), Dia berbicara dengan apa yang dikehendaki-Nya, sesuai cara yang
dikehendaki-Nya, dan kalimat-Nya tidak akan habis serta tidak akan fana[ii].
Al Qur’an adalah firman Allah bukan makhluk,
baik lafaz maupun makna-Nya, dari-Nya bermula dan kepada-Nya kembali.
Allah senantiasa disifati bahwa Dia Maha
Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya, berbicara dengan apa yang
dikehendaki-Nya, dan menetapkan untuk hamba-hamba-Nya hukum-hukum qadari
(taqdir-Nya), hukum-hukum syar’i (perintah dan larangan) serta hukum-hukum
jazaa’iy (balasan). Dia-lah Al Haakim (yang menetapkan) dan Al Maalik
(yang memiliki), sedangkan selain-Nya dimiliki dan diberikan ketetapan,
sehingga hamba-hamba-Nya tidak bisa keluar dari kerajaan-Nya dan dari hukum
yang ditetapkan-Nya.
Allah
Subhaanahu wa Ta'aala memiliki sifat yang sempurna selama-lamanya.
Sifat-sifat-Nya azali (sudah ada) dan Dia senantiasa memiliki sifat itu. Oleh
karena itu, Allah Subhaanahu wa Ta'aala tidaklah memiliki nama Al Khaaliq (Maha
Pencipta) sejak Dia menciptakan, demikian juga tidaklah Dia memiliki nama Al
Baariy (Maha Mengadakan) sejak Dia mengadakan sesuatu. Allah Subhaanahu wa
Ta'aala sudah memiliki nama-nama tersebut sebelum menciptakan dan sebelum
mengadakan.
Bersambung…
Wallahu
a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa alaa aalihi wa shahbihi wa
sallam
Marwan
bin Musa
0 komentar:
Posting Komentar