بسم
الله الرحمن الرحيم
Belajar Mudah Ilmu Tauhid (9)
(Kajian Tentang Ruqyah, Tamimah, Tabarruk, dan Sebab)
Segala
puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat,
amma ba'du:
Berikut ini pembahasan tentang Ruqyah, Tamimah, Tabarruk, dan Pembahasan
tentang Sebab yang kami terjemahkan dari kitab At Tauhid Al Muyassar
karya Syaikh Abdullah bin Ahmad Al Huwail; semoga Allah menjadikan risalah ini
ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamiin.
KAJIAN
TENTANG RUQAA (RUQYAH)
Definisi Ruqaa
Ruqaa secara bahasa adalah bentuk jamak
dari kata Ruqyah yang artinya jampi-jampi. Sedangkan secara syara’, ruqyah
adalah ayat-ayat, dzikr-dzikr, dan doa-doa yang dibacakan kehadapan orang yang
sakit.
Pembagian Ruqyah
Ruqyah ada dua macam, yaitu:
1. Ruqyah yang
masyru’
(disyariatkan)
2. Ruqyah yang
mamnu’ (dilarang)
Ruqyah yang masyru’
Ruqyah yang masyru’ adalah ruqyah
yang terpenuhi tiga syarat berdasarkan ijma’ (kesepakatan) ulama, yaitu:
1. Menggunakan
bahasa Arab yang jelas, dan diketahui maknanya.
2. Menggunakan
firman Allah Ta’ala, atau menggunakan nama-Nya dan sifat-Nya.
3. Tidak bersandar
kepada ruqyah secara mutlak, bahkan seseorang harus meyakini bahwa ruqyah itu
tidak berpengaruh dengan sendirinya, tetapi dengan takdir Allah Ta’ala.
Ruqyah yang mamnu’ (dilarang)
Ruqyah yang mamnu’ atau terlarang adalah
ruqyah yang tidak ada salah satu atau sebagian besar syarat ruqyah yang masyru’
di atas.
Dalil dari As Sunnah tentang Ruqyah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
إِنَّ الرُّقَى وَ التَّمَائِمَ
وَ التِّوَلَةَ شِرْكٌ
“Sesungguhnya jampi-jampi (yang
mamnu’), jimat, dan pelet adalah syirk.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan
Hakim, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 1632)
اِعْرِضُوا عَلَيَّ رُقَاكُمْ
لاَ بَأْسَ بِالرُّقَى مَالَمْ يَكُنْ فِيْهِ شِرْكٌ
“Tunjukkanlah kepadaku ruqyah
kalian. Tidak mengapa ruqyah yang tidak ada kemusyrikan di dalamnya.” (HR.
Muslim dan Abu Dawud)
KAJIAN
TENTANG TAMA’IM (JIMAT)
Definisi Tama’im
Tama’im secara bahasa bentuk jamak
dari kata tamimah. Tamimah secara istilah adalah sesuatu yang
digantungkan di leher anak-anak atau lainnya untuk menolak ‘ain (gangguan yang
diakibatkan oleh mata orang yang hasad).
Pembagian Tamimah
Tamimah terbagi dua, yaitu:
1. Tamimah
yang diambil dari Al Qur’an dan doa-doa Nabawi.
Menurut pendapat yang rajih (kuat),
bahwa hal ini hukumnya tetap haram, karena tiga alasan: (1) adanya larangan
secara umum memakai tamimah (jimat) dan tidak ada pentakhshisnya (yang
mengkhususkan) keumumannya, (2) menutup celah atau jalan yang membawa kepada
sikap menggantungkan sesuatu yang tidak halal, (3) mengakibatkan ayat-ayat atau
doa-doa menjadi terhinakan, terutama ketika orang yang memakainya masuk ke wc
untuk buang air.
2. Tamimah
yang diambil dari selain Al Qur’an dan doa-doa nabawi.
Tamimah yang diambil selain dari Al
Qur’an dan doa-doa nabawi misalnya yang diambil dari nama-nama jin dan setan,
atau di sana terdapat mantera-mantera yang tidak dapat dipahami, maka hal ini
jelas haram. Hal ini termasuk syirk karena terdapat ketergantungan kepada
selain Allah.
Kesimpulan
Semua tamimah (jimat) adalah haram,
baik diambil dari Al Qur’an atau selainnya. Jika diambil dari selain Al Qur’an
maka sudah jelas haram dan syirk. Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam,
إِنَّ الرُّقَى وَ التَّمَائِمَ
وَ التِّوَلَةَ شِرْكٌ
“Sesungguhnya jampi-jampi (yang
mamnu’), jimat, dan pelet adalah syirk.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan
Hakim, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 1632)
KAJIAN TENTANG TABARRUK
Makna Tabarruk
Tabarruk secara bahasa artinya banyaknya
sesuatu dan tetapnya. Sedangkan secara syara’, Tabarruk artinya mencari
berkah, berharap, dan meyakini adanya keberkahan.
Pembagian Tabarruk
Tabarruk terbagi dua, yaitu: (1) tabarruk
yang masyru’ (disyariatkan), dan (2) tabarruk yang mamnu’
(dilarang).
Pertama, tabarruk yang masyru’.
1. Tabarruk dengan
diri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bagian yang terpisah dari badannya.
Namun ini khusus di saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup.
2. Tabarruk dengan
ucapan dan amalan yang disyariatkan, yakni jika seorang hamba melakukannya,
maka dia akan memperoleh kebaikan dan keberkahan. Misalnya membaca Al Qur’an,
berdzikr kepada Allah, dan menghadiri majlis ilmu.
3. Tabarruk dengan
tempat-tempat yang Allah jadikan di dalamnya terdapat keberkahan. Misalnya
bertabarruk dengan masjid-masjid, dan dengan kota-kota seperti kota Mekkah,
Madinah, dan negeri Syam (meliputi Palestina, Yordania, Libanon, dan
Suriah).
Maksud bertabarruk dengan kota dan
negeri itu adalah dengan melakukan perbuatan baik dan beribadah kepada Allah
dengan berbagai amal yang disyariatkan; bukan dengan mengusap dinding dan
tiang-tiangnya.
4. Bertabarruk
dengan waktu-waktu yang Allah khususkan dengan tambahan kelebihan dan
keberkahan, misalnya bulan Ramadhan, sepuluh pertama bulan Dzulhijjah, malam
Lailatul Qadr, dan sepertiga malam terakhir.
Bertabarruk dengannya adalah dengan
banyak berbuat baik dan beribadah kepada Allah di waktu itu dengan berbagai
amal yang disyariatkan.
5. Bertabarruk
dengan makanan-makanan yang Allah jadikan di dalamnya terdapat keberkahan,
misalnya minyak Zaitun, madu, susu, habbatus sauda’, dan air Zamzam[i].
Kedua, tabarruk yang mamnu’ (dilarang).
1. Tabarruk mamnu’
(terlarang) dengan tempat-tempat tertentu dan benda-benda tertentu[ii]. Contoh:
a. Mengusap
dinding tempat-tempat yang memang ada keberkahannya menurut syara’, dan dengan
mencium jendela dan tiangnya, serta mengharap kesembuhan dengan tanahnya.
b. Bertabarruk
dengan kuburan dan makam orang-orang saleh.
c. Bertabarruk
dengan tempat-tempat yang terkait dengan peristiwa bersejarah, seperti tempat
kelahiran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, gua Hira’, dan gua Tsur.
2. Tabarruk mamnu’
(terlarang) dengan waktu-waktu tertentu. Contohnya:
a. Mengerjakan
beberapa perkara yang tidak disyariatkan dan ibadah-ibadah yang bid’ah pada
waktu-waktu yang memang ada keberkahannya menurut syara’.
b. Bertabarruk
dengan waktu-waktu yang tidak ada keterangan dari syara’ terdapat keberkahan,
seperti pada hari kelahiran Rasul, malam Isra’ dan Mi’raj, malam Nishfu
Sya’ban, dan malam atau siang hari-hari bersejarah.
3. Bertabarruk
dengan diri orang-orang saleh dan jejak peninggalan mereka. Ini juga terlarang.
Tidak boleh bertabarruk dengan diri
salah seorang yang saleh keculi dengan diri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan jejak peninggalannya. Hal ini khusus untuk Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan di masa Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup.
Kaedah dan Batasan Penting Tentang
Tabarruk
1. Tabarruk adalah
ibadah, dan hukum asal ibadah adalah terlarang sampai ada dalil yang
mensyariatkannya.
2. Berkah
seluruhnya berasal dari Allah saja, Dia pemiliknya dan pemberinya. Oleh karena
itu, tidak boleh diminta dari selain-Nya.
3. Tabarruk dengan
sesuatu yang memang telah ada keterangan tentang berkahnya; tidaklah bermanfaat
kecuali bagi orang yang mentauhidkan Allah dan beriman kepada Allah Ta’ala dan
Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
4. Bertabarruk
dengan sesuatu yang memang ada berkahnya menurut syara’ wajib dilakukan dengan
cara-cara yang disyariatkan serta tidak berbuat bid’ah di dalamnya dengan
mengadakan model dan cara yang tidak pernah dilakukan oleh generasi pertama
Islam.
KAJIAN TENTANG SEBAB
Kaedah Penting Dalam Masalah Sebab
1. Ketika
seseorang menggunakan sebab, ia harus bersandar kepada Allah Azza wa Jalla;
bukan kepada sebab itu, karena Allah Azza wa Jalla yang mengadakan sebab itu
dan yang mewujudkannya.
2. Hendaknya
diketahui, bahwa sebab itu tidak lepas dari qadha’ Allah dan qadar-Nya.
3. Menetapkan
sesuatu sebagai sebab ada dua cara, yaitu:
a. Melalui syara’. Contoh: Madu adalah sebab
kesembuhan. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
فِيهِ شِفَاء لِلنَّاسِ
“Di dalamnya terdapat kesembuhan
bagi manusia.” (QS.
An Nahl: 69)
b.
Melalui percobaan dan pengalaman. Contoh: api adalah
sebab terjadinya kebakaran.
Jika melalui percobaan, harus
munculnya musabbab (hasil) setelah dilakukan, karena jika tidak muncul maka
hanya sebagai dakwaan dan dugaan sama seperti anggapan bahwa memakai kalung
dapat menolak ‘ain (gangguan melalui mata orang yang dengki).
Bersambung...
Wallahu
a’lam, wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa
sallam.
Diterjemahkan dari
kitab At Tauhid Al Muyassar oleh Marwan bin Musa
0 komentar:
Posting Komentar