بسم
الله الرحمن الرحيم
Mengenal Syi'ah (Bag. 2)
Keyakinan
kaum Syi'ah tentang Al Qur'an yang ada pada kaum muslimin saat ini
Kaum Rafidhah
atau yang biasa dikenal di zaman kita dengan kaum Syi'ah mengatakan,
bahwa kitab Al Qur'an yang ada pada kita saat ini bukanlah Al Qur'an yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Menurut mereka,
Al Qur'an yang ada pada kita telah dirubah, diganti, ditambah, dan dikurangi.
Bahkan mayoritas para periwayat hadits dari kalangan Syi'ah meyakini adanya
penyelewengan terhadap Al Qur'an sebagaimana yang disebutkan oleh Husain bin
Muhammad Taqiy An Nuriy Ath Thibrisi dalam kitabnya "Fashlul Khithab
fii Tahriif Kitaab Rabbil Arbaab" hal. 32.
Muhammad bin
Ya'qub Al Kulainiy dalam Ushul Kafi pada bab yang tertulis "Tidak
ada yang menghimpun Al Qur'an secara keseluruhan selain beberapa imam,"
berkata: Dari Jabir, ia berkata, "Aku mendengar Abu Ja'far berkata,
"Tidak ada seorang pun manusia yang menyatakan bahwa Al Qur'an telah
dikumpulkan secara keseluruhan selain seorang pendusta, dan tidak ada yang
mengumpulkan dan menghapalnya sebagaimana yang Allah turunkan selain Ali bin
Abi Thalib dan para imam setelahnya." (Ushul Kafi 1/228).
Dalam Ushul
Kafi (2/634) pula disebutkan sebuah riwayat dari Hisyam bin Salim, dari Abu
Abdillah ia berkata, "Sesungguhnya Al Qur'an yang dibawa Jibril 'alaihis
salam kepada Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam ada 17.000 ayat."
(Riwayat ini dikuatkan dan dinyatakan shahih oleh tokoh mereka, yaitu Al
Majlisi dalam kitabnya Mir'atul 'Uqul 12/525)
Pernyataan ini
menunjukkan, bahwa Al Qur'an yang sesungguhnya, menurut mereka lebih banyak
ayatnya daripada Al Qur'an yang ada pada kita sekarang atau tiga kali lebih
banyak daripada Al Qur'an yang ada pada kita.
Bahkan untuk
menguatkan pernyataan mereka, bahwa Al Qur'an yang ada pada kaum muslim saat
ini telah dirubah, mereka berani membuat riwayat palsu tentang pembukuan Al
Qur'an sebagaimana yang disebutkan oleh Ahmad Ath Thibrisi dalam kitabnya Al
Ihtijaj, bahwa Umar pernah berkata kepada Zaid bin Tsabit, "Sesungguhnya
Ali datang membawa Al Qur'an sedangkan di dalamnya terdapat aib kaum Muhajirin
dan Anshar. Oleh karena itu, kami mempunyai pendapat untuk menyusun sendiri Al
Qur'an dan menghilangkan cacat dan aib yang menimpa kaum Muhajirin dan
Anshar." Maka Zaid mengikutinya dan berkata, "Jika saya telah
berhasil merampungkan penyusunan Al Qur'an sesuai permintaanmu, lalu Ali
menampakkan Al Qur'an yang disusunnya, bukankah ini akan membatalkan
perbuatanmu?" Lalu Umar bertanya, "Kalau begitu apa jalan
keluarnya?" Zaid menjawab, "Kamu lebih tahu tentang jalan
keluarnya." Maka Umar berkata, "Tidak ada jalan keluarnya selain
dengan membunuhnya sehingga kita bisa bebas
darinya." Maka Umar memikirkan cara untuk membunuhnya dengan
menugaskan Khalid bin Walid, namun tidak berhasil.
Maka ketika Umar
diangkat menjadi khalifah, ia pun meminta kepada Ali agar memberikan Al Qur'an
kepada mereka untuk dirubah di tengah-tengah mereka, lalu Umar berkata,
"Wahai Abul Hasan, berikanlah Al Qur'an yang pernah engkau perlihatkan
kepada Abu Bakar agar kita dapat bersatu mengikutinya."
Ali bin Abi
Thali menjawab, "Mustahil. Tidak ada alasan untuk menyerahkannya.
Sesungguhnya aku memperlihatkan kepada Abu Bakar hanyalah untuk menegakkan
hujjah terhadapnya agar kalian tidak mengatakan pada hari Kiamat, "Sesungguhnya
kami lengah terhadap hal ini," (Terj. QS. Al A'raaf: 172) atau agar
kalian tidak mengatakan, "Dan setelah engkau datang." (Terj.
QS. Al A'raaf: 129)
Sesungguhnya Al
Qur'an ini tidak dapat disentuh selain orang-orang yang disucikan dan
orang-orang yang mendapatkan wasiat setelahku."
Kemudian Umar
berkata, "Apakah ada waktu untuk menunjukkannya?" Ali menjawab,
"Ya, apabila ada seorang dari keturunanku yang tampil untuk
memperlihatkannya dan mengajak manusia untuk mengikutinya." (Lihat kitab Al
Ihtijaj oleh Ath Thibrisi hal. 225 dan Fashlul Khithab hal. 7)
Kepalsuan dan
kedustaan riwayat ini dapat kita ketahui dari atsar shahih berikut:
Imam Bukhari,
Nasa'i, dan Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Juhaifah, ia berkata:
قُلْتُ لِعَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: هَلْ عِنْدَكُمْ
شَيْءٌ مِنَ الوَحْيِ إِلَّا مَا فِي كِتَابِ اللَّهِ؟ قَالَ: «لاَ وَالَّذِي فَلَقَ
الحَبَّةَ، وَبَرَأَ النَّسَمَةَ، مَا أَعْلَمُهُ إِلَّا فَهْمًا يُعْطِيهِ اللَّهُ
رَجُلًا فِي القُرْآنِ، وَمَا فِي هَذِهِ الصَّحِيفَةِ» ، قُلْتُ: وَمَا فِي الصَّحِيفَةِ؟
قَالَ: «العَقْلُ، وَفَكَاكُ الأَسِيرِ، وَأَنْ لاَ يُقْتَلَ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ»
Aku pernah
bertanya kepada Ali radhiyallahu 'anhu, "Apakah kamu mempunyai wahyu
selain yang tertera dalam Kitabullah (Al Qur'an)?" Ali menjawab,
"Tidak, demi Allah yang telah membelah biji dan telah menciptakan jiwa.
Aku tidak mengetahui selain pemahaman yang diberikan Allah tentang Al Qur'an
dan yang ada dalam lembaran ini?" Aku bertanya, "Apa yang ada dalam
lembaran ini?" Ia menjawab, "Diyat, tentang pemerdekaan budak, dan
bahwa orang muslim tidak dibunuh karena membunuh orang kafir."
Meskipun
orang-orang Syi'ah pura-pura berlepas diri dari kitab karya An Nuriy Ath
Thibrisi itu karena mengamalkan akidah taqiyah (menyembunyikan diri), namun
kitab tersebut memuat ratusan nash (pernyataan) ulama mereka dalam kitab-kitab
yang mereka akui, dimana hal ini menunjukkan bahwa mereka menetapkan adanya
penyimpangan dalam Al Qur'an dan meyakininya, akan tetapi mereka tidak ingin
timbulnya keributan tentang akidah mereka ini terhadap Al Qur'an.
Dengan demikian,
menurut mereka (kaum Syi'ah), ada dua Al Qur'an, yang satu diketahui, sedangkan
yang satu lagi masih disembunyikan, yang di sana terdapat surat Al Wilayah.
Bahkan di antara ayat yang menurut kaum Syi'ah dihilangkan dari Al Qur'an
sebagaimana yang disebutkan An Nuriy Ath Thibrisiy dalam kitabnya Fashlul
Khithab fii Tahriif Kitab Rabbi Arbaab adalah ayat yang berbunyi, "Wa
rafa'naa laka dzikrak, bi'aliyyyin shihrak, "(artinya: Dan kami angkat
namamu karena Ali sebagai menantumu)
Mereka
mengatakan, bahwa ayat ini dihilangkan dari surat Al insyirah. Mereka tidak
punya malu dalam membuat kedustaan ini, padahal mereka tahu, bahwa surat ini
termasuk surat Makkiyyah (turun sebelum Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
hijrah), sedangkan ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di Mekkah, Ali
belum menjadi menantu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Mereka (kaum
Syi'ah) sepertinya tidak pernah membaca ayat dalam Al Qur'an yang berbunyi:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا
الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
"Sesungguhnya Kamilah yang
menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya." (QS. Al Hijr: 9)
Dalam ayat ini
terdapat jaminan tentang kesucian dan kemurnian Al Quran selama-lamanya.
Akidah
kaum Syi'ah tentang para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
Akidah kaum
Syi'ah tentang para sahabat radhiyallahu 'anhum tegak di atas pencaci-makian
dan pengkafiran kepada mereka (para sahabat).
Al Kulainiy
dalam Furu'ul Kafi hal. 115 menyebutkan dari Ja'far, bahwa manusia
menjadi murtad sepeninggal Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali tiga
orang, lalu aku bertanya, "Siapakah tiga orang itu?" Ia menjawab,
"Miqdad bin Al Aswad, Abu Dzar Al Ghifariy, dan Salman Al Farisi."
Al Majlisiy
dalam kitabnya Biharul Anwar 69/137-138 menyebutkan, bahwa maula (budak
yang dimerdekakan) Ali bin Al Husain pernah berkata, "Aku pernah bersama
Beliau (Ali bin Al Husain) pada saat ia menyendiri, lalu aku berkata,
"Sesungguhnya aku mempunyai hak yang harus kamu penuhi, kecuali jika
engkau mau memberitahukan aku tentang dua orang ini, yaitu tentang Abu Bakar
dan Umar?" Ia menjawab, "Keduanya kafir, dan kafir pula orang yang
mencintai keduanya."
Dan dari Abu
Hamzah Ats Tsumaliy, bahwa ia pernah bertanya kepada Ali bin Al Husain tentang
kedua orang itu (Abu Bakar dan Umar), maka Ali bin Al Husain menjawab,
"Keduanya orang kafir, dan kafir pula orang yang setia kepada
keduanya."
Demikianlah
kedustaan kaum Syi'ah terhadap Ali bin
Al Husain dan Ahlul bait yang lain, padahal mereka tidak demikian
Bahkan Al Qummiy
berkata ketika menafsirkan firman Allah Ta'ala,
وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء
وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ
"Dan Allah melarang dari perbuatan
keji, kemungkaran dan permusuhan. "
(Terj. QS. An Nahl: 90)
Mereka
menafsirkan, "Yang keji itu adalah Abu Bakar, yang munkar adalah Umar,
sedangkan yang bermusuhan itu adalah Utsman." (Tafsir Al Qummiy
1/390).
Al Majlisiy
dalam kitabnya Biharul Anwar 30/230 berkata, "Riwayat-riwayat yang
menunjukkan kekafiran Abu Bakar, Umar dan orang-orang semisalnya, serta pahala
bagi orang yang melaknat mereka, berlepas diri dari mereka, dan riwayat tentang
bid'ah-bid'ah mereka tidak cukup disebutkan dalam satu kitab ini atau dalam
kitab yang berjilid-jilid. Akan tetapi, apa yang kami sebutkan sudah cukup bagi
orang yang ingin ditunjukkan Allah kepada jalan yang lurus."
Tidak hanya itu,
bahkan Al Majlisi menyebutkan dalam kitabnya Biharul Anwar 30/236
beberapa riwayat yang menerangkan bahwa Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Mu'awiyah
radhiyallahu 'anhum berada dalam peti-peti di neraka, wal 'iyadz billah.
Dalam kitab kaum
Syi'ah, yaitu Ihqaaqul Haqq 1/337 karya Al Mara'syi disebutkan sebuah
doa, yaitu:
Ya
Allah, berilah shalawat kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad. Laknatlah
dua berhala Quraisy, kedua orang jibt (dukunnya), kedua thagutnya, dan kedua
puterinya…dst."
Yang mereka
maksud dengan dua berhala Quraisy, jibt, dan thagutnya adalah Abu Bakar dan
Umar radhiyallahu 'anhuma, sedangkan kedua puterinya adalah Aisyah dan Hafshah
radhiyallahu anhuma.
Mengapa mereka
berkata keji kepada dua orang sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
yang dijanjikan masuk surga, yang diakui jasa dan kebaikannya oleh umat? Dan
mengapa mereka berani berkata keji kepada istri Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam? Padahal menyakiti istri Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
sama saja menyakiti Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam.
Bahkan Al
Majlisiy dalam risalahnya yang diberi judul dengan nama "Al 'Aqaa'id"
berkata, "Di antara perkara penting agama Imamiyyah adalah menganggap
halal nikah mut'ah (kontrak), haji tamattu', dan berlepas diri dari tiga orang
sahabat (Abu Bakar, Umar, dan Utsman), serta berlepas diri dari Mu'awiyah,
Yazid bin Mu'awiyah, dan semua orang yang memerangi Amirul Mukminin (Ali
radhiyallahu 'anhu)." (Risalah Al 'Aqaa'id hal. 58).
Tidak hanya itu,
pada hari Asyura (10 Muharram), mereka membawakan anjing dan memberi nama Umar
pada anjing itu, lalu mereka menghujani pukulan kepada anjing itu dan merajam
(melempari) dengan batu sampai mati. Demikian juga membawa anak kambing dan
memberi nama Aisyah, lalu mereka mencabuti bulunya dan menimpalinya dengan
pukulan sepatu sampai mati. (Tabdiduzh Zhalam wa Tanbihun Niyam karya
Syaikh Ibrahim Al Jabhan hal. 27)
Mereka juga
mengadakan peringatan pada hari terbunuhnya Al Faruq Umar bin Khaththab dan
menyebut pembunuhnya, yaitu Abu Lu'lu'ah Al Majusiy dengan Pahlawan Agama.
Cobalah
perhatikan wahai saudaraku, betapa bencinya mereka (kaum Syi'ah) terhadap
manusia terbaik setelah para nabi 'alaihimush shalatu was salam.
Bersambung…
Marwan bin Musa
Maraji': Aqidatus Syi'ah
(Abdullah bin Muhammad), Al Maktabatusy Syamilah, Mausu'ah Al
Haditsiyyah Al Mushaghgharah, Siyahah fii Alamit Tasyayyu' (Imam
Muhibbbudin Abbas Al Kazhimiy), Minhajul Firqatin Najiyah (M. bin Jamil
Zainu), dll.
0 komentar:
Posting Komentar