بسم
الله الرحمن الرحيم
Khutbah Jumat
Masjid Al Aqsha
Oleh: Syaikh Muhammad bin Shalih Al
Utsaimin rahimahullah
Khutbah I
إنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ
وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوْبُ إِلَيْهِ وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ
شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا
مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ
إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ
وَرَسُولُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ
بِإِحْسَانٍ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا أما بعد:
Wahai manusia! Kaum Yahudi telah
menguasai Masjid Al Aqsha lebih dari delapan tahun, mengadakan kerusakan di
sana dan menyiksa penduduknya. Bahkan pada saat ini, pemerintah Yahudi telah
mengeluarkan keputusan bolehnya orang-orang Yahudi beribadah di dalam masjid Al
Aqsha.
Maksud dari keputusan thagut ini adalah
menampakkan syiar-syiar kekafiran di salah satu masjid yang sangat mulia dalam
Islam.
Masjid Al Aqsha adalah masjid yang
dituju Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam peristiwa isra untuk
kemudian dimi’rajkan ke langit yang tinggi menghadap Allah Jalla wa ‘Alaa.
Ia merupakan masjid kedua yang dibangun
di muka bumi untuk beribadah kepada Allah dan mentauhidkan-Nya.
Dalam Shahih Bukhari dan Muslim
disebutkan dari Abu Dzar radhiyallahu anhu ia berkata, “Aku pernah bertanya,
“Wahai Rasulullah, masjid mana yang pertama kali dibangun di bumi?” Beliau
menjawab, “Masjidil Haram,” aku bertanya lagi, “Selanjutnya masjid mana?”
Beliau menjawab, “Masjid Al Aqsha.” Aku bertanya lagi, “Berapa jarak dibangun
antara keduanya?” Beliau menjawab, “40 tahun.”
Masjid Al Aqsha juga merupakan masjid
ketiga yang dimuliakan dalam Islam, dimana tidak boleh mengadakan safar dengan
maksud ibadah kecuali kepadanya untuk ketaatan kepada Allah serta mengharap
karunia dan kemurahan-Nya. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لاَ
تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ: المَسْجِدِ الحَرَامِ،
وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَمَسْجِدِ الأَقْصَى
“Tidak boleh mengadakan safar dengan maksud ibadah kecuali ke
tiga masjid; Masjidil haram, masjid Rasul shallallahu alaihi wa sallam
(Nabawi), dan masjid Al Aqsha.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Masjid Al Aqsha merupakan masjid yang
terletak di negeri suci (Palestina) dan diberkahi yang menjadi tempat tinggal
bapak para nabi yaitu Nabi Ibrahim berikut keturunannya selain Nabi Ismail.
Ia merupakan tempat tinggal Nabi Ishaq
dan Ya’qub sampai Ya’qub dan keturunannya pergi menuju Mesir dan tinggal di
sana sehingga menjadi satu umat di samping penduduk Qibth yang menyiksa mereka
dengan siksaan yang buruk sehingga Nabi Musa alaihis salam keluar membawa Bani
Israil meninggalkan mereka.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
mengingatkan Bani Israil terhadap nikmat yang besar ini. Nabi Musa alaihis
salam juga mengingatkan mereka nikmat itu dan nikmat-nikmat lainnya seperti
diangkatnya di antara mereka sebagai nabi dan raja, serta diberikan kenikmatan
yang tidak diberikan kepada kaum yang lain di masa mereka.
Mereka juga diperintahkan untuk
berjihad melawan orang-orang kejam yang menguasai negeri suci itu (Palestina)
serta diberi kabar gembira dengan kemenangan. Nabi Musa alaihis salam berkata,
يَا قَوْمِ
ادْخُلُوا الأَرْضَ المُقَدَّسَةَ الَّتِي كَتَبَ اللّهُ لَكُمْ
“Wahai kaumku! Masuklah ke tanah
suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu.” (Qs. Al Maidah: 21)
Allah tentukan negeri itu bagi mereka karena pada waktu
itu mereka adalah orang yang paling berhak terhadapnya, dimana mereka adalah
orang-orang yang beriman, saleh, dan mengamalkan syariat. Allah Ta’ala
berfirman,
وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِي الزَّبُورِ
مِنْ بَعْدِ الذِّكْرِ أَنَّ الْأَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصَّالِحُونَ * إِنَّ
فِي هَذَا لَبَلَاغًا لِقَوْمٍ عَابِدِينَ
“Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur, sesudah
(kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwa bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang
saleh.--Sesungguhnya (apa yang disebutkan) dalam (surat) ini, benar-benar
menjadi peringatan bagi kaum yang menyembah (Allah).” (Qs. Al Anbiya: 105-106)
Namun mereka menolak untuk berjihad sambil mengatakan, “Sesungguhnya di dalam negeri itu ada orang-orang yang sangat kuat
dan kejam, kami tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar darinya.”
Serta mengatakan, “Wahai Musa! Sampai kapan pun kami tidak akan memasukinya, selama
mereka masih ada di dalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan
berperanglah kamu berdua. Biarlah kami tetap (menanti) di sini saja.” (Lihat Qs. Al Maidah: 24)
Oleh karena mereka menolak jihad dan menyikapi Nabi
mereka dengan ucapan penolakan ini, maka Allah mengharamkan bagi mereka negeri
yang suci itu dan mereka tersesat di muka bumi antara Mesir dan Syam selama
empat puluh tahun tanpa mengetahui jalan sehingga sebagian besar mereka wafat
atau semuanya selain mereka yang lahir di masa kebingungan arah itu. Saat itu
Nabi Musa dan Nabi Harun alaihimas salam wafat, lalu digantikan oleh Yusya bin
Nun bersama bani Israil yang tersisa yaitu generasi yang baru. Saat itu (jihad
dilakukan) sehingga Allah memberikan negeri suci itu untuk mereka dan mereka
tetap berada di sana hingga masa Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman alaihis salam,
lalu ia membangun Baitul Maqdis, dan Nabi ya’qub juga telah membangunnya
sebelum itu.
Saat Bani Israil mendurhakai perintah Rabb mereka dan
mendurhakai rasul-rasul-Nya, maka Allah memberikan kekuasaan kepada raja Persia
bernama Bukhtanashir, lalu ia menghancurkan negeri mereka dan
memporak-porandakan mereka sehingga di antara mereka ada yang terbunuh,
tertawan, dan terusir. Ia juga merobohkan Baitul Maqdis untuk pertama kalinya.
Selanjutnya hikmah Allah Azza wa Jalla menghendaki
setelah menimpakan hukuman kepada Bani Israil, mereka kembali lagi ke negeri
suci dan membangun generasi yang baru. Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan
kepada mereka harta dan anak dan menjadikan mereka kelompok yang banyak
jumlahnya, lalu mereka lupa peristiwa yang mereka alami, mereka juga kafir
kepada Allah dan rasul-Nya, dimana setiap kali datang rasul dengan membawa
sesuatu yang tidak sesuai hawa nafsu mereka, maka sebagiannya mereka dustakan
dan sebagian lagi mereka bunuh.
Maka Allah memberikan kekuasaan lagi kepada sebagian raja
Persia dan Romawi, lalu menjajah negeri mereka dan menimpakan kepada mereka
siksaan yang pedih serta merobohkan Baitul Maqdis serta membinasakan apa saja
yang mereka kuasai.
Itu semua karena perbuatan maksiat yang mereka lakukan
dan sikap kufur mereka kepada Allah Azza wa Jalla serta kepada rasul-rasul-Nya.
Allah Ta’ala berfirman,
وَكَذَلِكَ
نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ
“Dan demikianlah Kami angkat sebagian orang-orang yang
zalim itu menjadi penguasa bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka
lakukan.” (Qs. Al An’aam: 129)
Kemudian Baitul Maqdis pun dikuasai oleh orang-orang
Nasrani dari bangsa Romawi sebelum diutusnya Nabi Muhammad shallallahu alaihi
wa sallam kurang lebih selama 300 tahun, sehingga Allah memberikan kemenangan kepada
kaum muslimin pada masa khalifah yang lurus Umar bin Khaththab radhiyallahu
anhu pada tahun ke-15 H, maka Masjid Al Aqsha pun menjadi dipegang penduduknya
serta para pewarisnya, yaitu kaum muslimin. Allah Ta’ala berfirman,
وَعَدَ
اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ
وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ
مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا
وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman
di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh
akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan
orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi
mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan
menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka
tetap menyembahku-Ku dengan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku.
Barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka Itulah
orang-orang yang fasik.” (Qs. An
Nuur: 55)
Masjid Al Aqsha terus berada di tangan kaum muslimin
sampai orang Nasrani Frank (kumpulan suku-suku Jerman) menguasainya dalam
perang salib pada tanggal 23 Sya’ban tahun 492 H. Mereka masuk ke Al Quds
dengan jumlah kurang lebih 1 juta personel dan membunuh kurang lebih 60.000
kaum muslimin, dan mereka masuk ke masjid serta merampas apa yang ada di sana
seperti emas dan perak. Itu adalah hari yang berat bagi kaum muslimin. Ketika
itu orang-orang Nasrani menampakkan syiar-syiar mereka di masjid Al Aqsha,
memasang salib, memukul lonceng dan keyakinan trinitas pun dimunculkan di sana,
yakni keyakinan (kafir) bahwa Allah adalah salah satu dari yang tiga, serta
keyakinan bahwa Allah adalah Al Masih putera Maryam dan Al Masih adalah putera
tuhan.
Hal ini -demi Allah- merupakan fitnah dan cobaan yang
besar. Saat itu, orang-orang Nasrani menguasai Masjid Al Aqsha selama lebih
dari 90 tahun, sampai Allah menyelamatkan Al Aqsha melalui Shalahuddin Al
Ayyubi Yusuf bin Ayyub rahimahullah pada tanggal 27 Rajab tahun 583 H,
dimana hal ini merupakan kemenangan yang nyata, hari yang besar dan disaksikan.
Allah mengembalikan kemuliaan masjid Al Aqsha, salib dipatahkan, azan
dikumandangkan, dan beribadah Allah Yang Mahaesa lagi Yang memberi balasan
diserukan.
Selanjutnya kaum Nasrani menyerang kembali kaum muslimin
dan menekan raja Al Kamil putera dari saudara Shalahuddin, kemudian melakukan
perjanjian damai dengan syarat Baitul Maqdis dikembalikan kepada mereka dan
mereka dapat mengendalikannya. Hal ini terjadi pada tahun 626 H, sehingga kaum
Nasrani menguasai kembali masjid Al Aqsha, dan ketetapan Allah itu pasti
terlaksana. Masjid Al Aqsha terus dikuasai mereka sehingga Allah selamatkan
melalui Al Malikush Shalih Ayyub putera saudara Al Kamil pada tahun 642 H dan
selanjutnya di bawah kekuasaan kaum muslimin. Namun pada tahun 1387 H,
musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya yakni orang-orang Yahudi menduduki kembali Al
Aqsha dengan bantuan kawan-kawan mereka yaitu orang-orang Nasrani dan terus di
bawah kekuasaan mereka, bahkan mereka tidak mau meninggalkannya sampai-sampai
perdana menteri mereka menyatakan –sebagaimana berita yang sampai kepada kami-,
“Jika bangsa Israel boleh hengkang dari Tel Aviv, namun mereka tidak boleh
hengkang dari Yerussalem; Al Quds.”
Ya. Bangsa Israel tidak akan hengkang dari Al Quds
kecuali dengan kekuatan, dan tidak ada kekuatan kecuali dengan pertolongan dari
Allah Azza wa Jalla, dan pertolongan Allah tidak bisa kita raih kecuali ketika
kita membela agama-Nya sebagaimana firman-Nya,
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِن تَنصُرُوا اللَّهَ يَنصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong
(agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (Qs. Muhammad: 7)
Pembelaan kita terhadap agama Allah tidak cukup dengan
kalimat yang berapi-api dan ceramah yang menggema, yang hanya membawa masalahnya
kepada masalah politik, kekalahan materil, dan problem suatu negeri yang
terbatas, bahkan masalah Palestina adalah masalah agama; masalah dunia Islam
seluruhnya.
Membela agama Allah adalah dengan mengikhlaskan ibadah
kepada-Nya, berpegang dengan agama-Nya lahir maupun batin, serta memohon
pertolongan kepada-Nya, serta mempersiapkan kekuatan maknawi maupun kekuatan
lahir semampu kita, selanjutnya berperang agar kalimatullah menjadi tinggi dan
rumah-Nya dapat kita bersihkan dari kotoran musuh-musuh-Nya.
Adapun ketika kita berusaha mengusir musuh-musuh kita
dari negeri kita kemudian kita tempatkan mereka di hati kita dengan cenderung
kepada pemikiran mereka dan mengikuti perilaku mereka, atau kita usir mereka
namun generasi kita malah menelan dan menikmati pemikiran mereka yang busuk,
lalu memuntahkannya di tengah-tengah kita, atau kita berusaha mengusir mereka
dari negeri kita namun kita masih melakukan semua itu, maka yang demikian
merupakan pertentangan yang nyata, jalan yang tidak selamat, celah yang jauh
antara kita dengan mendapatkan pertolongan. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَيَنْصُرَنَّ
اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ * الَّذِينَ إِنْ
مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا
بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ
“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong
(agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuat lagi Maha
perkasa,--(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka
bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat
ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala
urusan.” (Qs. Al Hajj: 40-41)
Ya. Mereka (yang menolong agama Allah) mendirikan shalat,
menunaikan zakat, beramar ma’ruf dan bernahi munkar, tidak seperti yang
disampaikan oleh sebagian penyiar radio pada saat terjadi perang dengan
orang-orang Yahudi pada tahun 1387 H, “Besok Ummu Kultsum akan bernyanyi di jantung Tel Aviv.”
Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam kepada
Rasul-Nya. Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam melakukan shalat di pagi hari
saat penaklukan Mekkah sebanyak 8 rakaat bisa sebagai tanda syukur kepada Allah
Ta’ala karena penaklukan secara khusus, atau sebagai ibadah berupa shalat
Dhuha, sedangkan ibadah juga termasuk bentuik syukur. Demikianlah seharusnya
keadaan para penakluk dalam Islam, mereka iringi kemenangan dengan syukur dan
takwa.
Maka bertakwalah kalian wahai kaum muslimin dan
kembalilah kepada Rabb kalian serta tegakkanlah syariat-Nya, dan taatilah Allah
dan Rasul-Nya jika kalian sebagai orang-orang mukmin.
Ya Allah, tolonglah Islam dan kaum muslimin, bersihkanlah
Masjid Al Aqsha dari orang-orang Yahudi, Nasrani, dan kaum munafik. Ampunilah
kami, kedua orang tua kami, dan kaum muslimin, sesungguhnya Engkau Maha Pemurah
lagi maha Mulia.
بَارَكَ اللهُ
لِيْ وَلَكُمْ فِي اْلقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ
مِنَ الْآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا، وَأَسْتَغْفِرُ
اللهَ لِي وَلَكُمُ وَلِكَافَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ؛
إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ .
Khutbah II
الْحَمْدُ
للهِ حَمْدًا كَثِيْرًا مُبَاركًا طَيِّبًا فِيْهِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ
اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ شَهَادَةً نَرْجُو اللهَ بِهَا النَّجَاةَ يَوْمَ
نُلاَقِيْهِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ،
وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا . أما بعد
Wahai kaum muslimin! Ingatlah nikmat Allah kepada kalian
berupa agama yang lurus ini, tegakkanlah agama ini karena Allah dengan ikhlas
dan ikutilah Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam. Mintalah kepada Allah
keteguhan di atas agama-Nya hingga kalian berjumpa dengan Allah Rabbul alamin.
Wahai kaum muslimin! Sesungguhnya agama Islam ini Allah
sifati sempurna, Dia berfirman,
الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ
الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu,
telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Aku ridhai Islam itu menjadi agama
bagimu.” (Qs. Al Maidah: 3)
Oleh karena itulah agama Islam ini pertengahan di antara
agama-agama terdahulu, adil dan pilihan, serta menjadi tolok ukur ajaran agama
terdahulu serta menghapusnya, maka tidak ada penegakkan ajaran agama terdahulu setelah
datang agama Islam. Di antara pertengahan dan adilnya Islam adalah jika dalam
syariat Taurat apabila seseorang membunuh orang lain, maka ia wajib dibunuh dan
tidak ada pilihan bagi wali korban untuk memaafkan, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَكَتَبْنَا
عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ
“Dan Kami tetapkan
dalam kitab Taurat, bahwa jiwa yang dibunuh dibalas dengan jiwa...dst.” (Qs. Al Maidah: 45)
Berbeda dengan syariat Nabi Isa putera Maryam yang
mengharuskan memaafkan, karena manusia ketika itu tidak mampu melakukan qishas.
Adapun agama Islam ini, maka ia adalah agama yang adil dan sebagai rahmat
sebagaimana firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ
بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأُنْثَى بِالأُنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ
مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ
ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ
عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu
qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang
merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. maka barang siapa yang
mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti
dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada
yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu
keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas
sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.” (Qs. Al Baqarah: 178)
اَللَّهُمَّ صَلِّ
وَسَلِّمْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ
Teks asli Khutbah: https://t.me/wawasan_muslim/12979
Alih Bahasa:
Marwan bin Musa
0 komentar:
Posting Komentar