بسم الله الرحمن الرحيم
Kisah Sa’ad bin Abi Waqqash
radhiyallahu 'anhu
Segala puji bagi
Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga
hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut kisah Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu
'anhu, semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penulisan risalah ini ikhlas
karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
Mengenal Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu anhu
Beliau termasuk di antara sepuluh orang sahabat yang
dijamin masuk surga.
Beliau seorang yang pertama melepas panahnya di jalan
Allah.
Beliau adalah paman Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam dari pihak ibu yang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah
bersabda kepadanya, “Biarlah ayah dan ibuku menjadi tebusanmu.” (Hr. Bukhari
dan Muslim)
Beliau adalah pahlawan perang Qadisiyyah dan penakluk
Madain (ibukota Persia).
Beliau
itulah Sa’ad bin Abi Waqqash bin Wuhaib.
Wuhaib adalah kakek Sa’ad yang merupakan paman Aminah binti Wahb (ibu Nabi kita
shallallahu alaihi wa sallam). Oleh karenanya, orang-orang mengenal Sa’ad
sebagai paman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dari pihak ibu.
Sa’ad
tinggal di kabilah Bani Zuhrah yang merupakan paman-paman Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam dari pihak ibu Beliau.
Masuk
Islamnya Sa’ad bin Abi Waqqash
Sa’ad
termasuk pemuda mulia penduduk Mekkah dan paling mulia nasabnya. Ketika
dilihatnya kaum Jahiliyyah yang rusak, maka hatinya sedih melihat keadaan itu,
dimana bangsa Arab sebelum diutusnya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam
dalam keadaan yang sangat buruk. Ketika itu Sa’ad berharap ada sesuatu yang
terjadi di alam ini yang menjadi sebab selamatnya manusia dari kegelepan kepada
cahaya.
Allah Azza
wa Jalla menginginkan kebaikan untuk umat ini, maka Allah turunkan wahyu untuk
menyinari alam semesta agar menjadi jelas bagi manusia jalan menuju Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Ya, telah
diutus Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wa sallam kepada manusia untuk
mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya. Ketika itu, usia Sa’ad baru
17 tahun, namun ia sebagai seorang pemuda yang cerdas, tidak seperti
pemuda-pemuda lainnya yang menghabiskan waktunya dalam kesia-siaan dan
permainan. Saat itu, ia mengisi waktu-waktunya dengan memanah dan melatih fisiknya.
Ketika ia
mendengar diutusnya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, maka ia tidak
menunggu nanti; bahkan saat itu juga ia taruh tangannya di tangan Nabi
shallallahu alaihi wa sallam dan menyatakan keislamannya. Dia adalah seorang
yang mengenal Nabi shallallahu alaihi wa sallam saat Beliau belum diutus, ia
tahu betul bahwa Muhammad shallallahu alaihi wa sallam adalah seorang yang
jujur dan amanah.
Keteguhan
Sa’ad di atas Islam
Ketika masuk
Islam, maka Sa’ad mendapatkan ujian dan cobaan yang tidak disangka-sangka
sebelumnya, bahkan saking beratnya ujian itu turun tentang beliau ayat Al
Qur’an.
Sa’ad adalah
seorang yang sangat berbakti kepada ibunya. Ketika ia masuk Islam, maka ibunya
berkata, “Wahai Sa’ad! Bagaimana engkau sampai meninggalkan agama nenek
moyangmu dan memeluk agama yang baru yang kami tidak mengenalinya?” Kamu harus
meninggalkan agama itu atau aku akan mogok makan dan minum sampai aku mati,
sehingga orang-orang Arab mencelamu bahwa kamu telah membunuh ibumu sendiri.”
Ibunya terus
di atas sikap itu, karena ia tahu bahwa Sa’ad sangat mencintai ibunya, ia
mengira bahwa dengan cara itu hati anaknya akan luluh dan mau mengikutinya
meninggalkan agamanya.
Tetapi apa
sikap Sa’ad kepadanya? Ia berkata kepada ibunya, “Demi Allah, wahai ibu! Meskpun
aku sangat mencintai ibu, namun aku sangat cinta kepada Allah. Jika ibu
memiliki seratus nyawa, lalu nyawa itu keluar satu persatu, aku tetap tidak
akan meninggalkana agama ini selamanya. Silahkan sekarang ibu mau makan atau
tidak.”
Ketika
ibunya merasakan bahwa anaknya tidak akan meninggalkan agama Islam, akhirnya
ibunya mau makan. Berkenaan dengan kisah ini, turun ayat,
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ
فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ
أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan jika
keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada
pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan
pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang
kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan
kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Qs. Luqman: 15)
Ketika
berada di dekat Nabi shallallahu alaihi wa sallam
Sa’ad hidup
di dekat Nabi shallallahu alaihi wa sallam sehingga dapat mengambil banyak
kebaikan dari Beliau shallallahu alaihi wa sallam.
Sa’ad adalah
seorang yang sangat mencintai Nabi shallallahu alaihi wa sallam, bahkan ia
ingin menebus Nabi shallallahu alaihi wa sallam dengan dirinya, anaknya,
hartanya, dan dunianya.
Aisyah
radhiyallahu anha menyebutkan, bahwa suatu ketika di malam hari, Nabi
shallallahu alaihi wa sallam merasakan kegelisahan hingga tidak bisa tidur,
lalu Beliau bersabda, “Wahai kiranya ada seorang yang saleh di antara para
sahabatku yang siap berjaga-jaga di malam
ini?” Aisyah berkata, “Lalu kami mendengar suara senjata,” maka
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Siapa ini?” Sa’ad bin Abi
Waqqash berkata, “Aku wahai Rasulullah. Aku datang untuk menjagamu,” maka
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun bisa tidur hingga aku mendengar
suara dengkurannya.” (Sebagaimana dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim)
Nabi
shallallahu alaihi wa sallam juga mencintai Sa’ad bin Abi waqqash radhiyallahu
anhu. Suatu hari Nabi shallallahu alaihi wa sallam duduk bersama para
sahabatnya, lalu datang Sa’ad bin Abi Waqash, maka Nabi shallallahu alaihi wa
sallam bersabda, “Ini pamanku (dari jalur ibu), maka tunjukkanlah kepadaku
siapa pamannya?” (Hr. Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Albani)
Bahkan suatu
hari Nabi shallallahu alaihi wa sallam berada di atas gunung Hira bersama
sebagian sahabatnya, lalu gunung itu pun bergetar, maka Nabi shallallahu alaihi
wa sallam bersabda kepadanya,
«اثْبُتْ
حِرَاءُ إِنَّهُ لَيْسَ عَلَيْكَ إِلَّا نَبِيٌّ، أَوْ صِدِّيقٌ، أَوْ شَهِيدٌ»
“Tenanglah
wahai HIra! Karena di atasmu hanyalah seorang Nabi, seorang shiddiq, atau
seorang yang syahid.”
Ketika itu
di atas gunung Hira ada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar,
Utsman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa’ad, Abdurrahman bin Auf, dan Sa’id bin Zaid.
(Hr. Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Albani)
Ketika Nabi
shallallahu alaihi wa sallam mendengar Sa’ad bin Abi Waqqash sakit, maka Beliau
pergi menjenguknya dan meletakkan tangannya pada dahi Sa’ad, mengusap wajahnya
dan perutnya sambil bersabda,
«اللَّهُمَّ
اشْفِ سَعْدًا، وَأَتْمِمْ لَهُ هِجْرَتَهُ»
“Ya Allah, sembuhkanlah Sa’ad dan sempurnakanlah
hijrahnya.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Sa’ad
juga adalah orang yang pertama melepas panahnya di jalan Allah. Ketika Nabi
shallallahu alaihi wa sallam mengirim sariyyah (pasukan kecil) yang di sana
terdapat Sa’ad ke sebuah tempat di Hijaz yang disebut ‘Rabigh’, lalu kaum
musyrikin mendatangi kaum muslimin untuk menyerang mereka, maka mereka segera
dihalau oleh Sa’ad bin Abi Waqqash dengan panah-panahnya. Inilah perang pertama
dalam Islam dan beliaulah orang pertama yang melepas panahnya di jalan Allah
Azza wa Jalla.
Kesabaran
Sa’ad bin Abi Waqqash dalam menghadapi gangguan
Sa’ad bin
Abi Waqqash telah mendapatkan banyak gangguan dari orang-orang musyrik, akan
tetapi ia menghadapinya dengan sabar sambil mengharap pahala.
Ketika Nabi shallallahu alaihi wa sallam masuk ke dalam
area wilayah Abu Thalib saat terjadi pemboikotan yang dilakukan kaum musyrik
selama tiga tahun hingga Beliau memakan dedaunan pohon, Sa’ad tetap bersama
Nabi shallallahu alaihi wa sallam hingga Allah mengangkat penderitaan ini,
demikian juga ia hijrah ke Madinah dan tinggal dekat dengan Nabi shallallahu
alaihi wa sallam.
Jihad Sa’ad
bin Abi Waqqash
Sa’ad bin
Abi Waqqash hadir dalam semua perang yang dilakukan Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam dan tidak pernah absen sedikit pun.
Dalam perang
Badar, Sa’ad berperang dengan beraninya. Ketika itu adiknya Umair bin Abi
Waqqash ikut hadir padahal usianya tidak lebih dari 13 tahun. Ketika Nabi
shallallahu alaihi wa sallam hendak memulangkannya karena usianya yang masih
terlalu muda, Umair menangis, maka Sa’ad berkata, “Biarkanlah dia wahai
Rasulullah, semoga Allah mengaruniakan syahid kepadanya di jalan-Nya.”
Umair pun
berperang hingga gugur sebagai syahid, dan ketika itu kaum muslimin memperoleh
kemenangan.
Ketika itu
Sa’ad kembali dengan luka-luka dan kegembiraannya. Saat itu, Sa’ad bahagia
karena menangnya kaum muslimin, namun bersedih karena gugur adiknya Umair bin
Abi Waqqash.
Dalam perang
Uhud, awalnya kemenangan diraih kaum muslimin, tetapi ketika regu pemanah
mendurhakai perintah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan turun dari
bukit karena melihat ghanimah yang ditinggalkan kaum musyrik, maka kaum musyrik
berbalik menyerang kaum muslimin dan membunuh tujuh puluh sahabat mulia dan
terus hendak membunuh Nabi shallallahu alaihi wa sallam, sehingga Beliau
memanggil para sahabatnya lalu berkumpul di sekitar Beliau tujuh orang sahabat
dari kalangan Anshar dan dua orang sahabat dari kalangan Muhajirin, yaitu Sa’ad
bin Abi Waqqash dan Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu anhum.
Ketika itu
Sa’ad melepaskan panahnya untuk melindungi Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam sampai-sampai Beliau memberikan panah kepada Sa’ad dan bersabda, “Panahlah
wahai Sa’ad, ayah dan ibuku sebagai tebusanmu.” (Sebagaimana dalam Shahih
Bukhari dan Muslim)
Ketika itu
ada orang musyrik yang membunuh banyak kaum muslimin, maka Nabi shallallahu
alaihi wa sallam bersabda, “Panahlah wahai Sa’ad, ayah dan ibuku sebagai
tebusanmu.”
Sa’ad
berkata, “Maka aku ambil panahku yang tidak memiliki mata panah lalu aku lepaskan hingga mengenai dahinya, ia
pun jatuh dan terlihat auratnya hingga Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
tertawa dan tampak gigi gerahamnya.” (Sebagaimana disebutkan dalam Shahih
Muslim)
Bahkan Sa’ad melihat para malaikat yang turun dalam
perang Uhud. Ia berkata, “Aku melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
pada perang Uhud ditemani dua orang yang ikut berperang melindungi Beliau.
Keduanya memakai pakaian putih yang belum pernah kulihat keduanya sebelum itu
maupun setelahnya.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Disebutkan, bahwa Sa’ad pulang dari perang Uhud dengan
membawa luka, kesedihan dan kegembiraan. Ia sedih karena para sahabat mulia
yang terbunuh, dan bahagia karena mendapatkan doa Nabi shallallahu alaihi wa
sallam,
اَللَّهُمَّ
سَدِّدْ رَمْيَتَهُ وَأَجِبْ دَعْوَتَهُ
“Ya Allah
tepatkanlah sasaran panahnya dan kabulkanlah doanya.” (Hr. Al Bazzar, Al
Haitsami berkata, “Dalam sanadnya terdapat Utsman bin Abdurrahman Al Waqqashi,
ia adalah matruk (tertuduh dusta))
Oleh
karenanya setiap kali Sa’ad memanah, maka selalu tepat sasaran, dan senantiasa
mengenai musuhnya di samping sebagai orang yang terkabul doanya.
Sa’ad selalu
hadir dalam perang bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam hingga
Beliau wafat. Demikian pula keadaannya setelah Beliau wafat, ia terus hadir
dalam semua peperangan di zaman Abu Bakar dan Umar hingga pada masa Umar
dilakukan penaklukan besar-besaran ketika itu Sa’ad berperang bagaikan singa
yang menerkam yang mencerai-beraikan pasukan musuh untuk mewujudkan kemenangan
bagi Islam dan kaum muslimin.
Pahlawan
perang Qadisiyyah
Hari
berlalu, bangsa Persia pun bangkit mempersiapkan diri untuk memerangi kaum
muslimin. Mereka siapkan personil dan perlengkapan yang banyak dan lengkap.
Ketika itu Umar
bin Khaththab radhiyallahu anhu ingin terjun langsung berjihad dan memimpin
pasukan kaum muslimin, akan tetapi sebagian sahabat mengusulkan agar beliau
tetap berada di Madinah dan mengangkat sahabat yang lain yang memimpin pasukan.
Saat ia bermusyawarah
dengan sahabat-sahabatnya dalam masalah ini tiba-tiba ada surat dari Sa’ad bin
Abi Waqqash yang ketika itu diutus Umar mengumpulkan zakat dari kabilah
Hawazin.
Ketika Umar
melihat surat itu, maka ia segera berkata kepada manusia, “Saya telah mendapatkan
orang yang akan memimpin pasukan ini!”
Orang-orang
berkata, “Siapa dia wahai Amirul Mukminin?”
Ia menjawab,
“Dialah singa yang menerkam, yaitu Sa’ad bin Abi Waqqash.”
Maka Umar
memanggil Sa’ad bin Abi Waqqash dan mengangkatnya sebagai pemimpin pasukan,
serta mewasiatkan kepadanya berbuat baik kepada pasukan yang bersamanya, lalu
ia berkata, “Wahai Sa’ad, jangan sampai engkau terpadaya hanya kata-kata bahwa
engkau adalah paman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam (dari pihak ibunya)
dan sahabatnya, karena tidak ada hubungan nasab antara kita dengan Allah selain
dengan takwa.”
Maka
berangkatlah ksatria Islam ini (Sa’ad bin Abi Waqqash) bersama pasukannya
sambil berkata, “Hasbunallahu wa ni’mal wakil” (Cukuplah Allah bagi kami, dan
Dia sebaik-baik yang diserahi urusan). Sa’ad juga mulai mengatur pasukan dan
mendorong mereka untuk menaati Allah Azza wa Jalla.
Maka
sampailah pasukan di Qadisiyyah, lalu Sa’ad mengirimkan sebagian sahabatnya
untuk mencari kabar pasukan Persia, kemudian mengirimkan beberapa delegasi ke
Kisra raja Persia dan kepada Rustum komandan pasukannya untuk berunding dan
menawarkan tuntutan Islam kepada mereka, yaitu: masuk Islam, bayar pajak
(jizyah), atau perang. Adanya delegasi ini memiliki pengaruh besar di hati
Kisra dan komandannya, yaitu Rustum.
Mulailah
kaum muslimin bersiap-siap perang. Ketika itu Sa’ad merasakan berbagai
penderitaan, akan tetapi beliau sanggup memikulnya dan memimpin pasukan
menghadapi Persia, akan tetapi ia tidak bisa berperang langsung, bahkan duduk
di atas batu besar yang tinggi memperhatikan manusia dan menentukan langkah
perang melawan Persia.
Jihad
melawan Persia berlangsung selama tiga hari, dan Allah memberikan kemenangan
kepada kaum muslimin dalam perang Qadisiyah ini serta memperoleh banyak
ghanimah.
Sa’ad juga
menulis surat kepada Umar bin Khaththab untuk memberitahukan kabar gembira
kemenangan pasukannya terhadap musuh, maka Umar bergembira sekali dan bersujud
syukur kepada Allah Azza wa Jalla.
Menyeberang
sungai di atas kuda
Selanjutnya
Umar bin Khaththab menulis surat kepada Sa’ad bin Abi Waqqash untuk
memberangkatkan pasukannya menaklukkan Madain ibukota Persia.
Maka pasukan
pun berangkat ke Madain, dan kaum muslimin terus memperoleh kemenangan di atas
kemenangan hingga mereka tiba di tepi sungai Dajlah yang menghadap ke Madain.
Ketika itu, Sa’ad ingin membawa pasukan kaum muslimin melintasi sungai itu di
atas kapal untuk mencapai Madain, akan tetapi pasukan Persia telah mengumpulkan
kapal-kapalnya agar kaum muslimin tidak menaikinya.
Ketika tiba
malam hari, kaum muslimin pun tidur, dan Sa’ad bermimpi bahwa kuda-kuda kaum
muslimin dapat melintasi sungai Dajlah.
Ketika tiba
pagi hari, maka ia mengumpulkan pasukannya dan berkata, “Sesungguhnya aku
berazam melakukan tiga hal.”
Pasukannya
berkata, “Berazam untuk apa? Semoga Allah menguatkan kami dan kamu di atas
petunjuk.”
Sa’ad
berkata, “Aku telah berazam untuk melintai sungai dengan kuda.”
Pasukannya
berkata, “Kami akan bersamamu insya Allah.”
Maka kaum
muslimin melintasi sungai Dajlah dengan kuda-kuda mereka sambil melakukan
obrolan sebagaimana mereka melakukan obrolan ketika di daratan. Ketika raja
Persia melihat mereka dapat berjalan di atas air, maka ia segera lari dari
istananya dan berkata kepada rakyat Persia, “Demi Allah, kalian bukan berperang
dengan manusia, tetapi kalian berperang dengan jin.”
Ketika itu
kaum muslimin dapat melintasi sungai dan menaklukkan Madain serta masuk ke
istana raja Persia dan ruangannya yang besar sambil mengumpulkan ghanimah yang
sangat banyak.
Demikianlah,
Allah memberikan kemenangan kepada kaum muslimin melalui tangan komandan mulia
Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu anhu.
Allah
mengabulkan doanya
Nabi
shallallahu alaihi wa sallam pernah berdoa untuk Sa’ad,
اَللَّهُمَّ اسْتَجِبْ لِسَعْدٍ إِذَا دَعَاكَ
“Ya Allah,
kabulkanlah doa Sa’ad ketika ia berdoa kepadamu.” (Hr. Tirmidzi, dan
dishahihkan oleh Al Albani)
Oleh
karenanya Sa’ad menjadi orang yang doanya mustajab.
Umar bin
Khaththab pernah mengangkat Sa’ad sebagai gubernur Kufah, namun penduduk Kufah
mengeluhkan terkait Sa’ad, sehingga Umar mengganti Sa’ad dengan Ammar bin Yasir
radhiyallahu anhu.
Akan tetapi
Umar ingin memastikan kebenaran terkait keluhan penduduk Kufah terhadap Sa’ad
bin Abi Waqqash, maka ia mengirim Sa’ad bin Abi Waqqash dan mengirim pula
bersamanya beberapa orang ke Kufah untuk bertanya kepada penduduknya tentang
Sa’ad, dimana orang-orang utusan Umar radhiyallahu anhu tidaklah meninggalkan
masjid kecuali telah menanyakan tentang Sa’ad, namun yang didapati bahwa mereka
memuji kebaikan Sa’ad, hingga tibalah utusan Umar di Masjid Bani Abs, lalu ada
seorang yang berdiri di antara mereka bernama Usamah bin Qatadah dan berkata,
“Ketahuilah, jika engkau bertanya kepada kami, sesungguhnya Sa’ad tidaklah
membawa pasukan, tidak membagi secara sama-rata, dan tidak adil dalam
memberikan keputusan.”
Sa’ad pun
berkata, “Ingat, aku akan berdoa kepada Allah tiga hal; ya Allah, jika hamba-Mu
ini berdusta dan bangun karena riya dan sum’ah, maka perpanjanglah usianya,
perlamalah kemiskinannya, dan siapkanlah ia untuk menerima fitnah.”
Maka orang
ini pun panjang usianya hingga alisnya menjulur ke bawah ke kedua matanya
karena usianya yang sangat tua, dan hidup dalam keadaan miskin, namun ia
berdiri di jalan menggoda anak-anak perempuan.” Ketika ditanya tentang
keadaannya itu, ia menjawab, “Saya adalah orang tua yang terfitnah mendapatkan
doa buruk dari Sa’ad.”
Ada kisah
lainnya yang membuktikan bahwa doanya mustajab sebagaimana disebutkan setelah
ini.
Dari Qais
bin Abi Hazim ia berkata, “Aku pernah berada di Madinah, ketika aku berkeliling
di pasar tiba-tiba ada batu-batu minyak, dan kulihat orang-orang berkerumun di
hadapan seorang penunggang kuda sambil mencaci-maki Ali bin Abi Thalib, maka
Sa’ad bin Abi Waqqash mendatanginya dan berkata, “Siapa orang ini?” Orang-orang
mengatakan, “Dia mencaci-maki Ali bin Abi Thalib.” Maka Sa’ad maju dan
orang-orang memberi jalan baginya sehingga ketika Sa’ad telah berada di
hadapannya ia berkata, “Wahai pemuda, atas dasar apa engkau mencaci-maki Ali
bin Abi Thalib? Bukankah ia adalah orang yang pertama masuk Islam? Bukankah ia
adalah orang yang shalat bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam?
Bukankah ia adalah orang yang paling zuhud? Bukankah ia adalah orang yang
paling berilmu? Bukankah ia adalah suami Fatimah putri Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam? Bukankah ia adalah orang yang pemegang panji Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam dalam berbagai peperangan?” Lalu Sa’ad menghadap
kiblat, mengangkat tangannya dan berdoa, “Ya Allah, orang ini mencaci-maki
salah seorang wali di antara wali-wali-Mu, maka jangan Engkau pisahkan
perkumpulan ini sampai Engkau menunjukkan kekuasaan-Mu.”
Qais
berkata, “Demi Allah, kami tidak berpisah kecuali hewan tunggangan orang itu
terperosok ke dalam tanah lalu hewan itu melemparkan batu-batu ke kepalanya
hingga otaknya pecah dan ia meninggal dunia.”
Maka Sa’ad
segera memerdekakan seorang jiwa dan bersumpah untuk tidak lagi mendoakan
keburukan kepada seorang pun.
Menjauhi
diri dari fitnah
Ketika Umar
bin Khaththab radhiyallahu anhu terbunuh, lalu orang-orang bertanya kepadanya
di saat-saat terakhir kehidupannya, “Siapa yang engkau angkat menjadi khalifah
setelahmu?”
Maka Umar
berisyarat kepada mereka agar memilih khalifah di antara enam orang sahabat
yang di antaranya ada Sa’ad bin Abi Waqqash, sehingga Umar berkata kepada
mereka, “Jika dipegang oleh Sa’ad (maka ikutilah)! Jika tidak, maka hendaknya
khalifah setelahku meminta bantuan kepada Sa’ad, karena aku tidaklah memecat
Sa’ad dari jabatan gubernur Kufah disebabkan kelemahan atau pengkhianatan.
Ketika
Utsman bin Affan diangkat sebagai khalifah, maka ia mengangkat Sa’ad sebagai
gubernur Kufah kembali.
Tetapi
ketika Utsman terbunuh dan terjadi fitnah di tengah-tengah sahabat, maka yang
dilakukan Sa’ad adalah menghindari fitnah itu ia berkata, “Aku tidak akan
berperang sampai kalian membawakan kepadaku sebuah pedang yang memiliki dua
mata dan satu lisan sambil berkata, “Ini orang mukmin dan ini orang kafir.”
Maksudnya ia
tidak mau membunuh seorang muslim dan tidak mau ikut dalam fitnah yang terjadi
di antara sahabat tanpa kesengajaan dari mereka, bahkan hal itu terjadi karena
ada makar dan tipu daya musuh-musuh Islam yang telah membunuh Utsman bin Affan
radhiyallahu anhu.
Kezuhudan Sa’ad
ketika menjabat sebagai pemimpin
Sa’ad sama
sekali tidak tertarik dengan perhiasan dunia, ia yakin bahwa semua kenikmatan
selain surga ibarat fatamorgana, dan bahwa setiap siksaan selain neraka maka
itu adalah keselamatan, sehingga jiwanya tidak tertarik
kecuali kepada surga Ar Rahman.
Dari Amir bin Sa’ad, bahwa ayahnya (Sa’ad bin Abi
Waqqash) pernah berada di tengah-tengah kambingnya, maka anaknya yang bernama
Umar datang, saat dilihatnya, maka ia berkata, “Aku berlindung kepada Allah
dari keburukan si penunggang hewan ini.” Ketika sampai kepadanya ia berkata,
“Wahai ayahku, apakah engkau rela menjadi orang badui di tengah-tengah
kambingmu, sedangkan orang-orang berebut kerajaan di Madinah.” Lalu Sa’ad
memukul dada Umar dan berkata, “Diam. Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«إِنَّ
اللهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِيَّ، الْغَنِيَّ، الْخَفِيَّ»
“Sesungguhnya
Allah menyukai hamba yang bertakwa, merasa cukup, dan menyembunyikan diri.”
(Hr. Muslim)
Kesabaran
Sa’ad menerima cobaan
Ketika Sa’ad
bin Abi Waqqash tiba di Mekkah. Saat itu, Sa’ad telah buta matanya, maka
orang-orang segera mendatanginya meminta doanya, lalu ia pun mendoakan orang
yang ini dan orang yang itu, dan beliau adalah orang yang terkabul doanya.
Ada seorang
pemuda bernama Abdullah bin As Saaib berkata, “Paman, engkau mendoakan kebaikan
untuk orang lain. Kalau sekiranya engkau mendoakan dirimu agar Allah mengembalikan
penglihatanmu?” Maka Sa’ad tersenyum dan berkata, “Wahai anakku! Ketetapan
Allah Subhanahu wa Ta’ala menurutku lebih baik daripada penglihatanku.”
Saatnya
meninggalkan dunia
Setelah
hidupnya dipenuhi oleh pengorbanan, zuhud, jihad fi sabilillah, wara, maka Sa’ad bin Abi Waqqash tidur di atas
pembaringannya dan ruhnya pun keluar menghadap Allah Azza wa Jalla agar dapat
berjumpa dengan kekasihnya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam di surga Ar
Rahman.
Mush’ab bin
Sa’ad berkata, “Kepala ayahku dalam pangkuanku. Saat ruhnya akan keluar, maka aku
pun menangis, lalu ia mengangkat kepalanya kepadaku dan berkata, “Wahai anakku!
Apa yang membuatmu menangis?” Aku menjawab, “Karena keadaanmu dan penderitaan
yang saya lihat pada dirimu.” Sa’ad menjawab, “Jangan menangis! Karena Allah
tidak akan mengazabku selamanya, dan aku termasuk ahli surga.” (Ath Thabaqat
karya Ibnu Sa’ad 3/1/104)
Pada hari
ketika ia akan wafat, maka ia berkata kepada anak-anaknya, “Sesungguhnya aku
memiliki jubah dari wool yang kugunakan untuk melawan kaum musyrik pada perang
Badar, maka kafankanlah aku dengannya, karena aku suka menghadap Allah
dengannya. Aku sudah menyimpannya untuk hari ini.”
Sa’ad wafat
dalam rumahnya di Aqiq sejauh sepuluh mil dari Madinah, lalu ia dibawa oleh kaum
laki-laki ke Madinah, dan dishalatkan oleh Marwan bin Hakam yang ketika itu
menjadi gubernur Madinah, dan dishalatkan juga oleh istri-istri Nabi
shallallahu alaihi wa sallam di bilik mereka, dan dimakamkan di Baqi (Shifatush
Shofwah 1/147).
Semoga Allah
meridhai Sa’ad bin Abi Waqqash, dan mengumpulkan kita bersamanya di surga
Firdaus, aamin.
Marwan bin
Musa
0 komentar:
Posting Komentar