بسم
الله الرحمن الرحيم
Fiqih Hudud (2)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para
sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat,
amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang hudud, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya
dan bermanfaat, aamin.
Orang Yang Menegakkan Had dan Tempat Diberlakukan Hukuman Had
Orang yang
menegakkan had adalah imam (pemerintah) atau wakilnya di hadapan sejumlah kaum muslimin. Hal itu karena Nabi shallallahu
alaihi wa sallam yang menegakkan hudud di masa hidupnya, lalu dilanjutkan oleh
para khalifah setelahnya. Nabi shallallahu alaihi wa sallam juga pernah
mewakilkan kepada orang lain dalam menegakkan had, Beliau bersabda, “Pergilah
engkau wahai Unais kepada wanita ini. Jika ia mengaku, maka rajamlah dia.”
(Hr. Bukhari dan Muslim)
Hukuman had wajib
ditegakkan oleh imam untuk menjaga keadilan dan mencegah terjadinya kezaliman.
Dan diperbolehkan
bagi seorang tuan menegakkan hukuman had terhadap budaknya. Hal ini berdasarkan
sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
إِذَا زَنَتِ الأَمَةُ فَتَبَيَّنَ زِنَاهَا فَلْيَجْلِدْهَا
وَلاَ يُثَرِّبْ، ثُمَّ إِنْ زَنَتْ فَلْيَجْلِدْهَا، وَلاَ يُثَرِّبْ، ثُمَّ إِنْ
زَنَتِ الثَّالِثَةَ، فَلْيَبِعْهَا وَلَوْ بِحَبْلٍ مِنْ شَعَرٍ
“Apabila budak
wanita berzina dan telah jelas zinanya, maka deralah dan jangan hinakan. Jika
berzina lagi, maka deralah dan jangan hinakan. Dan jika berzina lagi yang
ketiga kalinya, maka juallah meskipun dengan harga seikat rambut.”
Akan tetapi untuk
sanksi yang berupa potong tangan dan rajam, maka yang menegakkannya adalah imam
(pemerintah) kaum muslimin.
Hukuman had ini
ditegakkan di mana saja selain di masjid, karena Nabi shallallahu alaihi wa
sallam melarang diberlakukan qishas di masjid, dibacakan syair di dalamnya[i], dan ditegakkan hukuman hudud (Hr. Abu
Dawud dan Ahmad, dihasankan oleh Al Albani).
Yang demikian
untuk menjaga masjid dari kotoran dan semisalnya. Bahkan disebutkan dalam
sebagian riwayat, bahwa Ma’iz ketika akan dihukum dibawa keluar ke harrah
(tanah berbatu hitam di luar Madinah), lalu ia pun dirajam di sana (Hr.
Tirmidzi, dan dinyatakan ‘hasan shahih’ oleh Al Albani).
Tidak mengapa
menegakkan hukuman had dan qishas di Mekah, karena tanah haram tidak melindungi
pelaku kejahatan. Oleh karena itu, siapa yang terkena hukuman had baik dengan
dicambuk, dibunuh, dan sebagainya, maka tidak mengapa di tanah haram atau
tempat lainnya.
Syarat Diberlakukan Hukuman Hudud Bagi Pelaku Jinayat (Tindak kriminalitas/kejahatan)
Hukuman hudud
diberlakukan bagi pelaku kriminalitas apabila terpenuhi syarat-syaratnya,
yaitu:
1. Pelaku kejahatan mukallaf (sudah terkena kewajiban agama), yakni baligh
dan berakal.
Hal itu karena
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى
يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ، وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى
يَعْقِل
“Diangkat
pena (tidak dicatat dosa) terhadap tiga orang; orang tidur hingga bangun, anak
kecil hingga baligh, dan orang gila hingga sadar.” (Hr. Para pemilik kitab
Sunan, dan dishahihkan oleh Al Albani)
Oleh karena itu,
jika ada seorang remaja berusia 12 tahun berzina dengan seorang wanita, maka
tidak dikenakan hukuman had, bahkan hanya diberi ta’zir.
Jika berbagai ibadah
tidak wajib bagi mereka, maka had lebih berhak digugurkan karena tidak adanya
beban bagi mereka, di samping hudud juga ditolak karena adanya syubhat.
2. Pelaku kejahatan mengetahui akan keharaman tindakan itu.
Oleh karena itu,
tidak ada had bagi orang yang jahil terhadap keharaman suatu tindakan. Hal ini
berdasarkan perkataan Utsman dan Ali radhiyallahu anhuma, “Tidak ada had
kecuali bagi orang yang tahu.” (Diriwayatkan oleh Abdurraazzaq) Dan tidak
ada satu pun sahabat yang menyelisihi pendapat ini. Ibnu Qudamah berkata, “Ini
adalah pendapat Ahli Ilmu.”
Namun tidak
disyaratkan seseorang harus tahu apa sanksi/hukumannya, bahkan cukup mengetahui
akan keharamannya untuk terkena had.
3. Iltizam
(komitmen), yakni pelakunya seorang yang terikat dengan ajaran Islam, yaitu
seorang muslim atau kafir dzimmi (yang berada di bawah pemerintah Islam dengan
membayar jizyah/pajak). Selain keduanya tidaklah dikenakan had (Lihat Mudzakkiratul
Fiqh karya Syaikh Ibnu Utsaimin 4/6).
4. Ikhtiyar (berdasarkan pilihannya).
Oleh karena itu,
jika dipaksa, maka tidak ditegakkan hukuman had kepadanya.
Dari Abu
Abdurrahman As Sulamiy ia berkata, “Ada seorang wanita yang kehausan dihadapkan
kepada Umar bin Khaththab, dimana wanita ini melewati seorang penggembala
kambing lalu meminta minum, namun penggembala itu tidak mau memberinya minum
kecuali memberikan kehormatannya kepadanya, lalu wanita ini memberikan dirinya
kepadanya dan terjadilah zina, maka Umar bermusyawarah dengan manusia terkait
perajaman wanita ini, lalu Ali radhiyallahu anhu berkata, “Wanita ini terpaksa.
Menurutku, engkau bebaskan saja.” Maka Umar pun melakukannya (membebaskannya).”
(Shahih, diriwayatkan oleh Baihaqi, lihat Al Irwa no. 2313)
Apabila terpenuhi
syarat-syarat di atas, maka yang menegakkan hukuman had adalah imam (pemimpin)
atau wakilnya sebagaimana telah diterangkan.
Syaikh Taqiyyuddin
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Hukuman hudud yang bukan untuk kalangan
tertentu saja disebut hukuman hudud Allah dan hak-hak Allah, seperti begal,
pencurian, zina, dan lainnya. Demikian pula terkait dengan harta negara, waqaf,
dan wasiat yang bukan untuk kalangan tertentu. Ini termasuk perkara yang harus
diperhatikan pemerintah, dimana pemerintah harus membahasnya dan menegakkannya
tanpa klaim dari seseorang terhadapnya, dan hal itu harus ditegakkan baik
kepada orang mulia, orang biasa, orang kuat, dan orang lemah.”
Para fuqaha (Ahli
Fiqih) berkata, “Sesungguhnya jinayat (tindak kejahatan) yang ada hukuman
hududnya ada lima, yaitu: zina, pencurian, pembegalan, meminum minuman keras,
dan qadzaf (menuduh zina). Selain ini diberi hukuman ta’zir.”
Mereka juga
berkata, “Hukuman dera (cambuk) yang paling berat adalah hukuman dera dalam
zina, lalu hukuman dera dalam qadzaf, lalu hukuman dera karena meminum minuman
keras, kemudian hukuman dera dalam ta’zir. Hal itu, karena Allah menyatakan
terhadap zina,
وَلا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ
“Janganlah
rasa kasihan menahanmu dari menjalankan agama Allah.” (Qs. An Nuur: 2)
Adapun selain
zina, maka di bawahnya dalam hal jumlah hukuman, sehingga tidak boleh ditambah
dalam hal bentuk pelaksanaannya.
Para fuqaha (Ahli
Fiqih) juga berkata, “Barang siapa yang mati karena hukuma had, maka nyawanya
sia-sia, tidak ada kewajiban apa-apa bagi yang menegakkan hukuman had terhadapnya,
karena ia telah mengerjakan perkara yang disyariatkan atas perintah Allah dan
Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam.”
Tetapi jika
melampaui batasan syariat dalam menegakkan hukuman had, sehingga membuat binasa
orang yang diberi hukuman had, maka ia harus menanggung dengan diyatnya, karena
ia binasa akibat sikap melampaui batas yang dilakukannya, sehingga sama seperti
ketika mencambuknya di luar hukuman had.
Pelaksanaan Hukuman Had
Pelaksanaan hukuman had harus segera ketika tindak kejahatan telah
jelas. Dan boleh menunda pelaksanaan karena ada maslahat bagi Islam sebagaimana
dalam peperangan, atau ada maslahat bagi orang yang terkena had seperti karena
cuaca yang dingin, sangat panas, atau sedang sakit, atau karena ada maslahat
yang terkait dengan orang yang terkena had, seperti karena ada janin, atau
karena masih menyusui, dsb.
Hukum menyalatkan orang yang terbunuh
Orang yang terbunuh karena qishas, had, atau ta’zir jika sebagai seorang
muslim, maka harus dimandikan dan dishalatkan, serta dikuburkan di pemakaman
kaum muslimin.
Adapun orang yang dibunuh karena murtad, maka tidak dimandikan dan tidak
dishalatkan, dan tidak dimakamkan di pemakaman kaum muslimin.
Bersambung...
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina
Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45,
Al Fiqhul Muyassar (Tim Ahli Fiqih, KSA), Al Wajiz (Syaikh Abdul
Azhim bin Badawi), Al Mulakhkhash Al Fiqhi (Shalih Al Fauzan), Subulus
Salam (Muhammad bin Ismail Ash Shan’ani) ,Minhajul Muslim (Abu Bakar
Al Jazairiy), Mukhtashar Al Fiqhil Islami (Muhammad bin Ibrahim At Tuwaijiri) https://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=354955 ,dll.
[i] Membacakan syair di masjid apabila
isi syairnya untuk memuji Islam, mendorong jihad atau melakukan keutamaan
hukumnya boleh. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan, bahwa Umar radhiyallahu
anhu pernah melewati Hassan bin Tsabit yang sedang bersyair di masjid, lalu
Umar meliriknya, maka Hassan berkata, “Aku pernah membacakan syair di masjid
sedangkan di dalamnya ada orang yang lebih baik daripada dirimu.” Maksudnya
adalah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Akan tetapi apabila syairnya
mengakibatkan kebisingan dan suara keras di masjid, maka hal itu terlarang,
karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Wa Iyyakum wa
haisyatil aswaq” (Jauhilah oleh kalian suara gaduh di pasar (ketika di
masjid)) (Hr. Muslim). Adapun hadits Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya
tentang larangan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam jual-beli di masjid,
mencari barang hilang, membacakan syair di dalamnya, serta mengadakan halaqah
sebelum shalat Jumat (dihasankan oleh Al Albani), maka maksudnya adalah syair
yang dimaksudkan berbangga-bangga dengannya, isinya terkait dunia, dan
mendukung kemaksiatan, sedangkan alasan mengapa makruh mengadakan halaqah kajian
sebelum shalat Jumat adalah karena dapat memutuskan barisan atau shaf
orang-orang yang datang lebih lebih awal untuk shalat Jumat, wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar