بسم الله الرحمن الرحيم
Syarah Kitab Tauhid (52)
Larangan
Mencaci-Maki Angin, dan Larangan Berprasangka Buruk Kepada Allah Azza wa Jalla
Segala puji bagi Allah
Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah,
keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat,
amma ba'du:
Berikut lanjutan syarah (penjelasan) ringkas terhadap Kitab Tauhid karya
Syaikh Muhammad At Tamimi rahimahullah, yang banyak merujuk kepada kitab Al Mulakhkhash Fii Syarh Kitab At
Tauhid karya Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah, semoga
Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
**********
Bab: Larangan
Mencaci-Maki Angin
Dari Ubay bin Ka’ab
radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لَا تَسُبُّوا الرِّيحَ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ مَا تَكْرَهُونَ فَقُولُوا: اللَّهُمَّ
إِنَّا نَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِ هَذِهِ الرِّيحِ وَخَيْرِ مَا فِيهَا وَخَيْرِ مَا أُمِرَتْ
بِهِ، وَنَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ هَذِهِ الرِّيحِ وَشَرِّ مَا فِيهَا وَشَرِّ مَا أُمِرَتْ
بِهِ
“Janganlah kalian
mencaci-maki angin. Jika kalian melihat sesuatu yang tidak menyenangkan, maka
ucapkanlah, “Allahumma innaa nas’aluka...dst.” (artinya: Ya Allah,
sesungguhnya kami meminta kepada-Mu kebaikan angin ini, kebaikan apa yang ada
di dalamnya, dan kebaikan yang untuknya Engkau perintahkan ia. Kami berlindung
kepada-Mu dari keburukan angin ini, keburukan apa yang ada di dalamnya, dan
keburukan yang untuknya Engkau perintahkan ia.”)
(Hr. Tirmidzi, dan ia
menshahihkannya)
Penjelasan:
Hadits di atas
disebutkan dalam Sunan Tirmidzi no. 2253 dan Musnad Ahmad 5/123.
Oleh karena mencaci-maki
angin sama saja mencaci-maki yang mengaturnya, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala,
maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang mencaci-maki angin agar tauhid
seseorang tidak cacat.
Ubay bin Ka’ab bin Qais
Al Anshariy perawi hadits di atas adalah seorang sahabat dan termasuk pemuka
para qari (penghafal Al Qur’an). Ia hadir dalam Bai’atul Aqabah, hadir dalam
perang Badar, dan peperangan-peperangan setelahnya. Ia wafat pada masa
pemerintahan Umar radhiyallahu anhu. Ada pula yang mengatakan, ia wafat pada
masa pemerintahan Utsman radhiyallahu anhu pada tahun 30 H.
Dalam hadits di atas
Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang mencaci-maki angin, karena ia adalah
makhluk yang mendapat perintah dari Allah Azza wa Jalla, dimana mencaci-makinya
sama saja mencaci-maki yang mengaturnya dan sama saja tidak ridha denga
keputusan-Nya. Selanjutnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyuruh kita
untuk kembali kepada Allah Penciptanya agar kita meminta kepada-Nya kebaikan
dari angin itu dan berlindung kepada-Nya dari keburukannya.
Kesimpulan:
1. Larangan
mencaci-maki angin, karena ia makhluk yang diautur Allah Azza wa Jalla.
2. Kembali kepada
Allah Azza wa Jalla, meminta kepada Allah kebaikan dari angin itu dan
berlindung kepada-Nya dari keburukannya.
3. Angin bisa
diperintah dengan kebaikan dan bisa diperintah dengan keburukan.
4. Pengarahan untuk
mengucapkan kata-kata yang bermanfaat apabila seseorang melihat hal yang tidak
disukainya agar selamat dari keburukan hal itu.
**********
Bab: Larangan
Berprasangka Buruk Kepada Allah Azza wa Jalla
Firman Allah Ta’ala,
يَظُنُّونَ بِاللهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ يَقُولُونَ هَل لَّنَا
مِنَ الأَمْرِ مِن شَيْءٍ قُلْ إِنَّ الأَمْرَ كُلَّهُ لِلَّهِ
“Mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah
seperti sangkaan jahiliyah[i].
Mereka berkata, "Apakah ada bagi
kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini?" Katakanlah,
"Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah." (Qs. Ali Imran: 154)
Penjelasan:
Lanjutan ayat di atas adalah,
يُخْفُونَ فِي أَنفُسِهِم مَّا لاَ يُبْدُونَ لَكَ يَقُولُونَ لَوْ كَانَ لَنَا
مِنَ الأَمْرِ شَيْءٌ مَّا قُتِلْنَا هَاهُنَا قُل لَّوْ كُنتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ لَبَرَزَ
الَّذِينَ كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقَتْلُ إِلَى مَضَاجِعِهِمْ وَلِيَبْتَلِيَ اللهُ مَا
فِي صُدُورِكُمْ وَلِيُمَحَّصَ مَا فِي قُلُوبِكُمْ وَاللهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ
“Mereka Menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan
kepadamu; mereka berkata, "Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak
campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan)
di sini." Katakanlah, "Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya
orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke
tempat mereka terbunuh." Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa
yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah
Maha mengetahui isi hati.” (Qs. Ali Imran: 154)
Dibuatnya bab ini oleh
penulis dalam kitab Tauhid adalah untuk menerangkan, bahwa bersangka baik
kepada Allah termasuk kewajiban dalam tauhid, dan bahwa bersangka buruk kepada
Allah termasuk hal yang bertentangan dengan tauhid.
Dalam ayat di atas Allah
Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan tentang apa yang dilakukan kaum munafik pada
perang Uhud, bahwa mereka bersangka buruk kepada Allah, yaitu bahwa Dia tidak
akan memenangkan Rasul-Nya, dan bahwa urusannya tidak akan disempurnakan, dan
bahwa kalau urusan diserahkan kepada mereka, dalam arti Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu anhum mau mendengarkan
kata-kata mereka, tentu mereka tidak akan dikalahkan dan tentu mereka akan
menang, maka Allah mendustakan persangkaan ini dan menerangkan, bahwa tidak ada
yang terjadi melainkan sesuai dengan takdir-Nya dan sesuai yang tertulis dalam Lauh
Mahfuzh di sisi-Nya.
Kesimpulan:
1. Barang siapa
yang menyangka bahwa Allah memberikan giliran kepada kebatilan menguasai
kebenaran dengan penggiliran yang kekal selamanya, dimana kebenaran tidak lagi
muncul setelahnya, maka berarti dia telah bersangka buruk kepada Allah Azza wa
Jalla.
2. Menetapkan
hikmah (kebijaksanaan) bagi Allah Ta’ala ketika Dia terkadang memberikan
kesempatan kepada kebatilan untuk unggul.
3. Buruknya isi
hati kaum munafik, dan bahwa mereka di saat sulit menampakkan kemunafikannya.
4. Menetapkan
akidah qadha dan qadar.
5. Wajibnya
menyucikan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari sifat-sifat yang tidak layak
bagi-Nya.
6. Wajibnya
bersangka baik kepada Allah Azza wa Jalla.
**********
Firman Allah Ta’ala,
وَيُعَذِّبَ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْمُشْرِكِينَ وَالْمُشْرِكَاتِ
الظَّانِّينَ بِاللَّهِ ظَنَّ السَّوْءِ عَلَيْهِمْ دَائِرَةُ السَّوْءِ وَغَضِبَ اللَّهُ
عَلَيْهِمْ وَلَعَنَهُمْ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan agar Dia mengazab orang-orang
munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan
yang mereka itu berprasangka buruk terhadap Allah. Mereka akan mendapat giliran
(kebinasaan) yang sangat buruk dan Allah memurkai dan mengutuk mereka serta
menyediakan bagi mereka neraka Jahannam. Dan (neraka Jahannam) itulah seburuk-buruk
tempat kembali.” (Qs. Al Fath: 6)
Penjelasan:
Dalam ayat ini Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman terhadap mereka yang berprasangka buruk terhadap ketetapan
Allah, mengira bahwa Dia tidak akan membela Rasul-Nya shallallahu alaihi wa
sallam dan para sahabatnya radhiyallahu anhum bahwa bagi mereka (yang
berprasangka buruk itu) akan mendapatkan giliran azab dan kebinasaan, Allah
akan menjauhkan mereka dari rahmat-Nya dan menyiapkan untuk mereka neraka
Jahanam di akhirat yang merupakan seburuk-buruk tempat kembali.
Ayat tersebut
menunjukkan, bahwa mereka yang menyangka bahwa Allah tidak akan menolong
Rasul-Nya dan kaum mukmin, maka berarti dia telah berprasangka buruk
kepada-Nya.
Kesimpulan:
1. Peringatan agar
tidak berprasangka buruk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
2. Wajibnya
bersangka baik kepada-Nya.
3. Barang siapa yang
menyangka bahwa Allah tidak akan menolong Rasul-Nya dan kaum mukmin, maka
berarti dia telah berprasangka buruk kepada-Nya.
4. Allah murka
kepada musuh-musuh-Nya dan melaknat mereka.
5. Akibat buruk
yang akan dialami kaum kafir dan munafik.
**********
Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata tentang ayat yang pertama (Qs. Ali Imran: 154),
“Berprasangka buruk di
ayat ini maksudnya adalah bahwa Allah tidak akan membela Rasul-Nya, bahwa agama
yang Beliau bawa akan lenyap, apa yang menimpa mereka bukanlah karena takdir
Allah dan hikmah-Nya. Dengan demikian, berprasangka di ayat tersebut
ditafsirkan dengan tiga tafsiran, yaitu mengingkari hikmah (kebijaksanaan) bagi
Allah, mengingkari takdir, dan mengingkari akan sempurnanya agama Rasul-Nya
shallallahu alaihi wa sallam dan mengingkari akan dimenangkan-Nya agama itu di
atas semua agama.
Inilah sangkaan buruk
yang disangka kaum munafik dan kaum musyrik di surat Al Fath. Perbuatan ini
disebut sebagai ‘prasangka buruk’ adalah karena seseorang bersangka terhadap
Allah apa yang tidak layak bagi-Nya; tidak layak dengan hikmah-Nya, pujian
bagi-Nya, dan janji-Nya yang benar.
Barang siapa mengira
bahwa Allah akan memberikan giliran kemenangan kepada kebatilan atas kebenaran
dengan keunggulan selamanya, dimana kebenaran menjadi hilang karenanya, atau
mengingkari bahwa apa yang terjadi di muka bumi ini bukan karena qadha Allah
dan qadar-Nya, atau mengingkari bahwa Dia menakdirkannya karena suatu hikmah
yang besar yang dengan hikmah itu Allah berhak dipuji, bahkan hanya menyangka
bahwa hal itu sekedar kehendak-Nya semata (tanpa ada hikmahnya), maka inilah
persangkaan orang kafir, sehingga mereka berhak mendapatkan kecelakaan dengan
api neraka.
Kebanyakan manusia
berprasangka buruk kepada Allah baik terkait dengan diri mereka maupun terkait
dengan orang lain. Tidak ada yang selamat dari sifat tersebut selain
orang-orang yang mengenal Allah, mengenal nama-nama-Nya dan sifat-Nya,
hikmah-Nya, keberhakan-Nya dipuji, dan janji-Nya yang benar.
Maka hendaknya orang
yang berakal dan yang cinta kepada dirinya memperhatikan masalah ini, dan
bertobatlah kepada Allah serta memohon ampunan kepada-Nya dari prasangka buruk
ini.
Apabila anda selidiki,
siapa pun orangnya, tentu engkau akan melihat bahwa pada dirinya terdapat sikap
menyangkal dan mencela takdir-Nya, dengan menyatakan, bahwa seharusnya begini
dan begitu, ada yang sedikit menyangkalnya dan ada yang banyak. Periksalah diri
anda, apakah diri anda bebas dari sikap tersebut? Jika anda selamat dari sikap
tersebut, maka berarti anda selamat dari masalah besar. Jika tidak, aku kira
anda tidak akan selamat.”
Penjelasan:
Ibnul Qayyim
menyampaikan hal ini dalam kitabnya Zaadul Ma’ad ketika membicaraan tentang
perang Uhud.
Dari penjelasan Ibnul Qayyim
di atas kita mengetahui, bahwa prasangka buruk itu banyak macamnya. Demikian
pula, bahwa tidak ada yang bisa selamat dari prasangka buruk tersebut selain
orang yang mengenal Allah, nama-nama dan sifat-Nya, serta mengenal dirinya
sendiri.
Bersambung…
Wallahu a’lam wa
shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa alaa alihi wa shahbihi wa sallam
Marwan bin Musa
Maraaji’: Al
Mulakhkhash fi Syarh Kitab At Tauhid (Dr.
Shalih Al Fauzan), Maktabah Syamilah, dll.
[i] Sangkaan mereka adalah bahwa kalau Nabi Muhammad shallalalhu alaihi wa
sallam itu benar-benar Nabi dan Rasul Allah, tentu Dia tidak akan mendapat
dikalahkan dalam peperangan.
0 komentar:
Posting Komentar