بسم الله الرحمن الرحيم
Syarah Kitab Tauhid (44)
(Larangan Mengadakan Sekutu Bagi Allah
Ta’ala)
Segala
puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah,
keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan syarah (penjelasan) ringkas terhadap Kitab Tauhid karya
Syaikh Muhammad At Tamimi rahimahullah, yang banyak kami
rujuk kepada kitab Al Mulakhkhash Fii Syarh Kitab At Tauhid karya Dr.
Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah, semoga Allah menjadikan
penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
**********
Bab : Larangan Mengadakan Sekutu Bagi Allah
Firman Allah Ta’ala,
فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ
تَعْلَمُونَ
“Karena itu janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi
Allah, padahal kamu mengetahui.” (Qs. Al Baqarah: 22)
Dalam
menafsirkan ‘tandingan-tandingan’ pada ayat tersebut Ibnu Abbas radhiyallahu
anhuma berkata, maksudnya adalah berbuat syirik (mengadakan sekutu bagi Allah
Ta’ala) yang lebih samar dari semut yang merayap di atas batu hitam di
kegelapan malam, yaitu ketika engkau mengatakan, ‘demi Allah dan demi
hidupmu wahai fulan, juga demi hidupku’, atau seperti ucapan ‘kalau
bukan karena anjing kecil ini, tentu kita telah kedatangan pencuri’, atau
mengatakan ‘kalau bukan karena angsa di rumah ini, tentu pencuri telah masuk’,
demikian juga perkataan seseorang ‘atas kehendak Allah dan kehendak kamu’
dan perkataan ‘kalau bukan karena Allah dan fulan’. Jangan kamu
tambahkan fulan padanya karena semua itu mengandung syirik.” (Diriwayatkan oleh
Ibnu Abi Hatim)
**********
Penjelasan:
Termasuk
memurnikan tauhid adalah menjaga ucapan kita dari lafaz-lafaz yang mengandung
syirik meskipun mungkin orang yang mengucapkannya tidak bermaksud demikian. Oleh
karena itu, penulis (Syaikh M. At Tamimi) mengingatkan masalah ini di kitab tauhidnya
agar kita dapat menjauhinya.
Dalam
ayat di atas Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang manusia mengadakan tandingan
atau sekutu bagi-Nya, dimana mereka arahkan ibadah kepada sekutu-sekutu itu,
padahal mereka tahu bahwa hanya Allah-lah Pencipta dan Pemberi rezeki, dan
bahwa tandingan-tandingan itu lemah tidak berkuasa apa-apa. Adapun yang
disebutkan Ibnu Abbas di atas tentang contoh mengadakan tandingan atau sekutu
bagi Allah adalah karena ayat tersebut mencakup semua syirik baik syirik akbar
(besar) maupun syirik asghar (kecil).
Kesimpulan:
1.
Peringatan terhadap
syirik dalam ibadah.
2.
Kaum musyrik mengakui
tauhid Rububiyyah (Allah Pencipta, Penguasa, Pengatur alam semesta, dan Pemberi
rezeki), namu mereka tidak mengakui tauhid Uluhiyyah (keberhakan Allah untuk
diibadahi satu-satunya).
3.
Syirik asghar sangat
samar, sehingga sedikit sekali yang menyadarinya.
4.
Wajibnya menjauhi
ucapan-ucapan yang mengandung kesyirikan meskipun orang yang mengucapkannya
tidak bermaksud demikian.
5.
Berdalih dengan dalil syirik
akbar untuk syirik asghar.
**********
Dari
Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda,
مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ
أَشْرَكَ
“Barang
siapa yang bersumpah dengan nama selain Allah, maka dia telah berbuat kufur
atau syirik.” (Hr. Tirmidzi, ia menghasankannya, dan dishahihkan oleh Hakim)
**********
Penjelasan:
Hadits di atas diriwayatkan oleh Tirmidzi no.
1535, Abu Dawud no. 3251, dan Hakim no. 4/297, dishahihkan oleh Al Albani.
Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu alaihi
wa sallam menyampaikan bahwa barang siapa yang bersumpah dengan nama selain
Allah Ta’ala, maka sama saja ia telah menjadikan makhluk yang disebut namanya
dalam sumpah itu sebagai sekutu bagi Allah Ta’ala, karena ketika seseorang
bersumpah dengan sesuatu, maka pada hakikatnya dia mengagungkan sesuatu itu,
padahal yang berhak diagungkan adalah Allah Ta’ala saja. Oleh karena itu, kita
tidak boleh bersumpah kecuali dengan nama-Nya atau sifat-Nya.
Kesimpulan:
1. Haramnya bersumpah dengan nama selain
Allah Ta’ala, dan bahwa yang demikian merupakan kesyirikan atau kekufuran.
2. Bersumpah hanya boleh dengan nama-Nya atau
sifat-Nya.
3. Bersumpah dengan nama selain Allah tidak
mengharuskan kaffarat, karena tidak disebutkan di hadits tersebut membayar
kaffarat.
**********
Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu berkata, “Sungguh,
aku bersumpah dengan nama Allah namun isinya dusta lebih aku sukai daripada
bersumpah dengan nama selain-Nya meskipun isinya benar.”
**********
Tentang atsar dari Ibnu Mas’ud di atas Al
Haitsami dalam Majma’uz Zawaid 4/177 berkata, “Diriwayatkan oleh
Thabrani dalam Al Kabir, dan para perawinya adalah perawi kitab shahih.”
Maksud atsar Ibnu Mas’ud di atas adalah bahwa
dirinya lebih senang bersumpah dengan nama Allah meskipun isinya dusta daripada
bersumpah dengan nama selain-Nya meskipun isinya benar. Hal itu, karena
bersumpah dengan nama Allah merupakan tauhid, sedangkan bersumpah atas nama
selain-Nya merupakan syirik, sedangkan syirik lebih besar dosanya daripada
dusta.
Atsar di atas menunjukkan haramnya bersumpah
dengan nama selain Allah Ta’ala baik dengan nama benda, nama nabi, nama jin,
nama malaikat, atau nama makhluk-makhluk lainnya.
Kesimpulan:
1.
Haramnya bersumpah atas nama selain Allah Ta’ala.
2.
Syirik meskipun asghar (kecil) lebih besar daripada
dosa-dosa besar lainnya.
3.
Bolehnya mendatangi bahaya yang lebih ringan ketika
dihadapkan antara dua bahaya.
4.
Dalamnya fiqih Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu.
**********
Dari Hudzaifah radhiyallahu anhu, dari Nabi
shallallahu alaihi wa sallam, bahwa Beliau bersabda,
«لَا
تَقُولُوا مَا شَاءَ اللَّهُ، وَشَاءَ فُلَانٌ، وَلَكِنْ قُولُوا مَا شَاءَ اللَّهُ
ثُمَّ شَاءَ فُلَانٌ»
“Janganlah kalian mengatakan ‘atas kehendak
Allah dan kehendak fulan’, tetapi katakanlah ‘atas kehendak Allah kemudian
kehendak fulan’. (Hr. Abu Dawud dengan sanad yang shahih)
Diriwayatkan dari Ibrahim An Nakha’i bahwa
dirinya membenci seseorang mengucapkan ‘Aku berlindung kepada Allah dan kepada
dirimu’, namun ia membolehkan mengatakan ‘aku berlindung kepada Allah kemudian kepadamu’,
dan membolehkan ucapan ‘kalau bukan karena Allah kemudian karena fulan’ dan
tidak boleh mengucapkan ‘kalau bukan karena Allah dan karena fulan’.
**********
Kata ‘membenci’ dalam kebiasaan kaum salaf
maksudnya mengharamkan.
Dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam melarang menggandengkan nama makhluk dengan nama Allah Ta’ala
dengan menggunakan kata ‘dan’ yang menunjukkan kebersamaan, karena hal itu sama
saja menyamakan makhluk dengan Allah Al Khaliq, namun Beliau membolehkan
menggunakan kata ‘kemudian’ karena tidak menunjukkan kebersamaan, bahkan hanya
mengikuti, yakni kehendak hamba mengikuti kehendak Allah Ta’ala.
Atsar Ibrahim An Nakha’i di atas menerangkan
seperti yang diterangkan dalam hadits di atas.
Di samping itu, menambahkan kata ‘kemudian’
juga khusus untuk makhluk yang masih hidup dan mempunyai kemampuan; tidak untuk
makhluk yang telah mati, sehingga tidak boleh menyertakan mereka yang telah
mati sama sekali.
Disebutkan hadits dan atsar di atas dalam bab
ini ‘larangan mengadakan sekutu bagi Allah’ karena perkataan-perkataan tersebut
sama saja mengadakan tandingan dan sekutu bagi Allah Ta’ala sebagaimana yang
diterangkan Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma.
Kesimpulan:
1.
Haramnya mengucapkan ‘atas kehendak Allah dan kehendakmu’
serta ucapan-ucapan yang semisalnya yang di sana menggandengkan nama yang lain
bersama Allah menggunakan kata ‘dan’ karena memberi kesan menyamakan yang lain
dengan Allah Ta’ala.
2.
Bolehnya mengganti dengan kata ‘kemudian’ karena kata ini
tidak menunjukkan kebersamaan, tetapi menunjukkan bahwa yang lain mengikuti
kehendak Allah Ta’ala.
3.
Menetapkan kehendak bagi Allah Ta’ala, demikian pula kehendak
bagi hamba, dan bahwa kehendak hamba mengikuti kehendak Allah Ta’ala.
4.
Berhati-hati dalam bicara.
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa
alaa alihi wa shahbihi wa sallam
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Mulakhkhash fii Syarh Kitab At Tauhid (Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan), Fathul Majid (Abdurrahman bin Hasan Alusy Syaikh), Maktabah Syamilah
versi 3.45, dll.
0 komentar:
Posting Komentar