بسم
الله الرحمن الرحيم
Adab Terhadap Jenazah (1)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam
semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang
mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan tentang adab terhadap jenazah, semoga Allah
menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma
aamin.
Pengantar
Suatu ketika sebuah jenazah lewat di hadapan Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam, kemudian para sahabat memujinya, lalu Rasulullah
shallahu alaihi wa sallam bersabda, “Wajabat (mesti),” kemudian lewat
jenazah yang lain, dan mereka menyebutnya dengan keburukan, maka Rasulullah
shallahu alaihi wa sallam bersabda, “Wajabat (mesti),” lalu Umar bin
Khaththab radhiyallahu anhu bertanya kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam
tentang maksud sabda Beliau “wajabat,” Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda,
هَذَا
أَثْنَيْتُمْ عَلَيْهِ خَيْرًا، فَوَجَبَتْ لَهُ الجَنَّةُ، وَهَذَا أَثْنَيْتُمْ
عَلَيْهِ شَرًّا، فَوَجَبَتْ لَهُ النَّارُ، أَنْتُمْ شُهَدَاءُ اللَّهِ فِي
الأَرْضِ
“Orang ini kalian puji kebaikannya, maka ia mesti
memperoleh surga, dan orang ini kalian sebut keburukannya, maka ia mesti
memperoleh neraka. Kalian adalah saksi-saksi Allah di muka bumi. “ (Hr. Bukhari dan Muslim)
Dari Abu Qatadah Al Anshariy
radhiyallahu anhu, bahwa ada sebuah jenazah yang lewat di hadapan Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam, maka Beliau bersabda,
«مُسْتَرِيحٌ وَمُسْتَرَاحٌ مِنْهُ»
“Ada mayit yang beristirahat, dan ada
pula makhluk yang beristirahat (tenang) daripadanya.”
Para sahabat bertanya, “Wahai
Rasulullah, apa maksud “Ada mayit yang beristirahat, dan ada pula makhluk yang
beristirahat (tenang) daripadanya?”
Beliau menjawab,
«العَبْدُ المُؤْمِنُ يَسْتَرِيحُ مِنْ نَصَبِ
الدُّنْيَا وَأَذَاهَا إِلَى رَحْمَةِ اللَّهِ، وَالعَبْدُ الفَاجِرُ يَسْتَرِيحُ
مِنْهُ العِبَادُ وَالبِلاَدُ، وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ»
“Seorang hamba yang mukmin
beristirahat dari kelelahan dunia dan penderitaannya menuju rahmat Allah,
sedangkan seorang hamba yang fasik, maka para hamba, negeri, pepohonan, dan
hewan-hewan dapat beritirahat tenang dari (kejahatan)nya.” (Hr. Bukhari dan
Muslim)
Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam mendorong umatnya untuk mengiringi jenazah dan menerangkan keutamaannya
dalam sabdanya berikut,
«مَنْ شَهِدَ الجَنَازَةَ حَتَّى يُصَلِّيَ،
فَلَهُ قِيرَاطٌ، وَمَنْ شَهِدَ حَتَّى تُدْفَنَ كَانَ لَهُ قِيرَاطَانِ»
“Barang siapa yang menghadiri jenazah sampai dishalatkan, maka ia
memperoleh pahala satu qirath, dan barang siapa yang menghadirinya sampai dikuburkan,
maka ia memperleh pahala dua qirath.”
Lalu ada yang bertanya, “Berapa dua qirath itu?”
Beliau menjawab,
«مِثْلُ الجَبَلَيْنِ العَظِيمَيْنِ»
“Seperti dua buah gunung yang besar.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Adab terhadap jenazah
Terhadap jenazah ada beberapa adab yang perlu diperhatikan, di
antaranya:
1. Mengajarkannya untuk mengucapkan “Laailaahaillallah”
ketika menghadapi sakaratul maut.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لَقِّنُوا
مَوْتَاكُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ
“Ajarkanlah orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu
agar mengucapkan Laailaahaillallah.” (Hr. Muslim dari Abu Sa’id Al
Khudri)
«مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا
اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ»
“Barang siapa yang akhir ucapannya adalah Laailaahaillallah,
maka ia akan masuk surga.” (Hr. Abu Dawud dari Mu’adz bin Jabal, dan
dishahihkan oleh Al Albani)
2. Memejamkan kedua matanya, menutup jasadnya, dan
mendoakan kebaikan untuknya.
Dari Ummu Salamah radhiyallahu anha ia berkata, “Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam pernah masuk menemui Abu Salamah yang ketika itu
matanya dalam keadaan terbelalak, maka Beliau segera memejamkannya, kemudian
bersabda,
إِنَّ
الرُّوحَ إِذَا قُبِضَ تَبِعَهُ الْبَصَرُ
“Sesungguhnya ruh ketika dicabut, maka akan diikuti oleh
penglihatan.”
Lalu keluarganya pun gaduh, maka Beliau bersabda,
«لَا تَدْعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ إِلَّا
بِخَيْرٍ، فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ يُؤَمِّنُونَ عَلَى مَا تَقُولُونَ»
“Janganlah kalian mendoakan untuk diri kalian selain kebaikan,
karena para malaikat mengaminkan apa yang kalian ucapkan.”
Kemudian Beliau berdoa,
«اللهُمَّ اغْفِرْ لِأَبِي سَلَمَةَ وَارْفَعْ
دَرَجَتَهُ فِي الْمَهْدِيِّينَ، وَاخْلُفْهُ فِي عَقِبِهِ فِي الْغَابِرِينَ،
وَاغْفِرْ لَنَا وَلَهُ يَا رَبَّ الْعَالَمِينَ، وَافْسَحْ لَهُ فِي قَبْرِهِ،
وَنَوِّرْ لَهُ فِيهِ»
“Ya Allah, ampunilah Abu Salamah, tinggikanlah derajatnya di
tengah-tengah orang yang mendapatkan petunjuk, jagalah keturunannya yang
ditinggalkan, ampunilah kami dan dia wahai Rabbul alamin, lapangkanlah kuburnya
dan berilah cahaya di dalamnya.” (Hr. Muslim)
3. Bersabar dan mengucapkan istirja’ (innaa lillahi wa
innaa ilaihi raji’un).
Seorang muslim menghiasi dirinya dengan sikap sabar ketika
menghadapi musibah atau ketika salah satu anggota keluarganya atau saudaranya
meninggal dunia.
Dari Ummu Salamah, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَا
مِنْ مُسْلِمٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ، فَيَقُولُ مَا أَمَرَهُ اللهُ: {إِنَّا
لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ} [البقرة: 156] ، اللهُمَّ أْجُرْنِي فِي
مُصِيبَتِي، وَأَخْلِفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا، إِلَّا أَخْلَفَ اللهُ لَهُ
خَيْرًا مِنْهَا
“Tidak ada seorang muslim yang mendapatkan musibah, lalu
mengucapkan seperti yang diperintahkan Allah, “innaa lillahi wa innaa ilaihi
raji’un…dst.” (artinya: sesungguhnya kami milik Allah dan akan kembali
kepada-Nya. Ya Allah, berilah pahala terhadap musibahku, dan gantikanlah
untukku dengan yang lebih baik daripadanya),” melainkan Allah akan menggantikan dengan yang
lebih baik daripadanya.”
Ummu Salamah berkata, “Saat Abu Salamah meninggal dunia, aku
berkata (dalam hati), “Siapakah kaum muslimin yang lebih baik daripada Abu
Salamah? Keluarga pertama yang berhijrah kepada Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam, kemudian aku ucapkan itu, lalu Allah menggantikan untukku Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam. Beliau mengutus kepadaku Hathib bin Abi Balta’ah
untuk melamarku, maka aku berkata, “Aku memiliki seorang puteri dan aku seorang
yang cemburu.” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Adapun
puterinya, maka kami berdoa kepada Allah agar Dia mencukupkannya, dan aku
berdoa kepada Allah agar Dia menghilangkan rasa cemburu itu.” (Hr. Muslim)
Adapun sekedar menangis sedih tanpa diiringi sikap tidak menerima
seperti menampar pipi, merobek baju, dan berteriak-teriak, maka tidak mengapa.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sendiri pernah menangis ketika wafat puteranya,
yaitu Ibrahim, Beliau juga bersabda ketika itu,
إِنَّ
العَيْنَ تَدْمَعُ، وَالقَلْبَ يَحْزَنُ، وَلاَ نَقُولُ إِلَّا مَا يَرْضَى
رَبُّنَا، وَإِنَّا بِفِرَاقِكَ يَا إِبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ
“Sesungguhnya mata ini menangis, hati bersedih, dan kami tidak
mengucapkan kata-kata selain yang diridhai Rabb kami, dan kami ketika berpisah
denganmu wahai Ibrahim benar-benar sedih.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
4. Segera mengurus jenazahnya.
Hendaknya kita
segera mengurusnya baik dengan memandikannya, mengkafankannya, menyalatkannya,
dan menguburkannya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«أَسْرِعُوا بِالْجِنَازَةِ، فَإِنْ تَكُ
صَالِحَةً فَخَيْرٌ تُقَدِّمُونَهَا، وَإِنْ يَكُ سِوَى ذَلِكَ، فَشَرٌّ
تَضَعُونَهُ عَنْ رِقَابِكُمْ»
“Segeralah mengurus jenazah. Jika mayit itu seorang yang baik,
maka kebaikan yang kalian segerakan. Jika tidak, maka keburukan yang kalian
letakkan dari pundak kalian.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Namun dikecualikan dari hal tersebut seorang yang mati syahid di
medan peperangan, maka tidak dimandikan, tidak dikafankan, dan tidak dishalatkan
(namun tidak mengapa menyalatkan), ia dikubur dengan mengenakan pakaian yang
dipakainya saat mati syahid, karena Allah akan membangkitkannya pada hari
Kiamat dalam keadaan mengeluarkan wangi semerbak. Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhu, dari
Nabi shallallahu alaihi wa sallam, bahwa Beliau bersabda tentang para sahabat
yang terbunuh dalam perang Uhud,
لَا
تُغَسِّلُوهُمْ، فَإِنَّ كُلَّ جُرْحٍ - أَوْ كُلَّ دَمٍ - يَفُوحُ مِسْكًا يَوْمَ
الْقِيَامَةِ
“Jangan kalian mandikan mereka, karena setiap luka atau darah akan
mengeluarkan wangi kasturi pada hari Kiamat.”
Ketika itu, Beliau tidak menyalatkan mereka. (Hr. Ahmad, dan
dishahihkan oleh pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah).
Catatan: Jika ada seorang dari kalangan
kaum muslimin yang meninggal dunia di tempat yang jauh sehingga tidak ada kaum
muslimin yang menyalatkannya, maka kaum muslimin dapat menyalatkannya di tempat
mereka tinggal. Hal ini disebut juga ‘Shalat Ghaib’, sebagaimana
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah menyalatkan Najasyi (Raja
Habasyah) saat sampai kepada Beliau berita wafatnya (Hr. Bukhari dan Muslim).
5. Mengiringi jenazah
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mensyariatkan kita
mengiringi jenazah, dan menerangkan bahwa hal itu termasuk salah satu hak
seorang muslim, demikian pula memerintahkan kita tidak langsung duduk hingga
jenazah dimakamkan. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«إِذَا رَأَيْتُمُ الْجَنَازَةَ فَقُومُوا،
فَمَنْ تَبِعَهَا فَلَا يَجْلِسْ حَتَّى تُوضَعَ»
“Apabila kalian melihat jenazah, maka berdirilah. Barang siapa
yang mengiringinya, maka janganlah ia duduk sampai diletakkan (di tanah atau di
liang lahad).” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Menurut Imam Nawawi, bahwa perintah berdiri ketika melihat jenazah
adalah sunah.
Dan tidak mengapa berjalan di depan jenazah atau di belakangnya,
di kanan atau di kirinya selama dekat dengannya, hanyasaja orang yang
berkendaraan berjalan di belakangnya. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam
bersabda,
«الرَّاكِبُ خَلْفَ الجَنَازَةِ، وَالمَاشِي
حَيْثُ شَاءَ مِنْهَا، وَالطِّفْلُ يُصَلَّى عَلَيْهِ»
“Orang yang menaiki kendaraan di belakang jenazah, orang yang
berjalan di bagian mana saja, dan anak kecil dishalatkan.” (Hr. Tirmidzi dan
Nasa’i dari Mughirah bin Syu’bah)
Akan tetapi yang lebih utama adalah di berjalan belakangnya,
karena sesuai dengan perintah Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk
mengiringi jenazah. Hal ini juga ditunjukkan oleh perkataan Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu anhu, “Berjalan di belakangnya lebih utama daripada berjalan di
depannya seperti keutamaan shalat berjamaah atas shalat sendiri.” (Isnadnya
hasan, lihat Ahkamul Janaiz 74, dan Baihaqi (4/25))
Bersambung…
Wallahu a’lam, wa shallahu alaa
Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45,
Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid Sabiq), Al Wajiz (Syaikh Abdul Azhim bin
Badawi), Subulussalam (Imam Ash Shan’ani), Minhajul Muslim (Abu
Bakar Al Jazairiy), Aunul Ma’bud (Muhammad Asyraf Al
Azhim Abadi), http://islam.aljayyash.net dll.
0 komentar:
Posting Komentar