بسم الله الرحمن الرحيم
Kaum
Salaf dan Kekhawatiran Mereka Terhadap Ujub
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam
semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, para sahabatnya dan
orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini contoh keteladanan kaum
Salaf dalam hal kekhawatiran mereka terhadap ujub yang kami ambil dari kitab Aina
Nahnu Min Akhlaqis Salaf karya Abdul Aziz Al Julail dan Bahauddin Aqil,
semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat,
Allahumma amin.
Kekhawatiran kaum
salaf terhadap ujub
Tsabit Al Bunaniy
meriwayatkan, bahwa Abu Ubaidah pernah berkata, “Wahai manusia, sesungguhnya
aku hanyalah seorang dari suku Quraisy. Tidak ada seorang pun di antara kalian
baik yang berkulit merah maupun yang berkulit hitam yang lebih utama dariku
karena ketakwaannya, kecuali aku ingin
berada dalam lipatan kulitnya (senantiasa menjadi orang bertakwa seperti
dirinya).” (Siyar A’lamin Nubala 1/18)
Dari Ma’mar, dari
Ayyub, dari Nafi atau lainnya, bahwa seseorang pernah berkata kepada Ibnu Umar,
“Wahai orang terbaik, atau putera orang terbaik.” Maka ia menjawab, “Aku bukan
orang terbaik dan bukan putera orang terbaik. Akan tetapi aku adalah salah
seorang di antara hamba Allah. Aku berharap kepada Allah dan takut kepada-Nya.
Demi Allah, kalau kalian bersikap seperti itu terus kepada seseorang, kalian
justru akan membuatnya binasa.” (Siyar A’lamin Nubala 3/236)
Dalam Al Hilyah
(2/200) disebutkan, bahwa Abul Asyhab meriwayatkan dari seseorang, Mutharrif
bin Abdullah berkata, “Sungguh, tidur lelap di malam hari dan pagi hari dalam
keadaan menyesal lebih aku sukai daripada di malam hari aku melakukan
qiyamullail namun pagi harinya merasa ujub.”
Adz Dzahabi
berkata, “Demi Allah, orang yang menganggap suci dirinya atau merasa ujub
dengan dirinya tidak akan beruntung.” (Siyar A’lamin Nubala 4/190)
Wahb bin Munabbih
berkata, “Hapalkanlah dariku tiga perkara; waspadalah terhadap hawa nafsu yang
diikuti, teman yang buruk, dan sikap ujub terhadap diri sendiri.”
Abu Wahb Al
Marwazi berkata, “Aku bertanya kepada Ibnul Mubarak, “Apa itu sombong?” Ia
menjawab, “Kamu meremehkan manusia.” Lalu aku bertanya kepadanya tentang ujub,
ia menjawab, “yaitu kamu merasa mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki oleh
orang lain. Aku tidak mengetahui di kalangan orang-orang yang shalat sesuatu
yang lebih buruk daripada ujub.” (Siyar A’lamin Nubala 8/408)
Ahmad bin Abul
Hawariy berkata, “Telah menceritakan kepada kami Abu Abdillah Al Anthakiy, ia
berkata, “Fudhail dan (Sufyan) Ats Tsauriy pernah berkumpul bersama, lalu
keduanya saling mengingatkan, kemudian Sufyan tersentuh hatinya dan menangis,
lalu ia berkata, “Aku berharap majlis ini menjadi rahmat dan berkah bagi kita.”
Tetapi Fudhail berkata, “Akan tetapi wahai Abu Abdillah, aku takut tidak ada
yang lebih berbahaya daripada majlis ini. Bukankah engkau telah mengungkapkan
ucapanmu yang terbaik untukku, dan aku juga mengungkapkan ucapanku yang terbaik
untukmu. Engkau telah menghias ucapanmu kepadaku, aku pun menghias ucapanku kepadamu?”
Maka Sufyan pun menangis, lalu berkata, “Sungguh, engkau telah menghidupkan
hatiku. Semoga Allah menghidupkan hatimu.” (Siyar A’lamin Nubala 8/439)
Imam Syafi’i
berkata, “Jika kamu khawatir sikap ujub terhadap amalmu, maka ingatlah
keridhaan siapa yang menjadi tujuan amalmu? Kenikmatan seperti apa yang kamu
inginkan? Dan siksaan apa yang kamu takuti? Barang siapa yang berpikir
demikian, maka amalnya tampak kecil di matanya.” (Siyar A’lamin Nubala 10/42)
Risydin bin Sa’ad
berkata, “Telah menceritakan kepada kami Al Hajjaj bin Syaddad, ia pernah
mendengar Ubaidullah bin Ja’far –salah seorang yang bijak- berkata, “Jika
seseorang berbicara di majlis, lalu pembicaraannya membuatnya ujub, maka
hendaklah ia berhenti. Dan jika dia diam, ternyata diamnya mebuatnya ujub, maka
hendaklah ia berbicara.” (Siyar A’lamin Nubala 6/10)
Dari Sa’id bin
Abdurrahman dari Abu Hazim, ia berkata, “Sesungguhnya seorang hamba benar-benar
beramal saleh yang membuatnya gembira saat mengamalkannya, tapi ternyata Allah
Azza wa Jalla menjadikannya sebagai keburukan yang paling berbahaya bagi
dirinya. Dan sesungguhnya seorang hamba benar-benar beramal buruk yang
membuatnya benci saat mengamalkannya, tapi ternyata Allah Azza wa Jalla
menjadikannya sebagai kebaikan yang paling bermanfaat bagi dirinya. Sebab,
ketika seorang hamba mengerjakan amal saleh, lalu ia bersikap takabbur dan
merasa dirinya lebih daripada yang lain. Bisa jadi Allah Azza wa Jalla
menghapuskan amal itu dan menghapus banyak amal saleh bersamanya. Dan
sesungguhnya seorang hamba ketika mengerjakan keburukan yang membuatnya benci,
tapi boleh jadi Allah Azza wa Jalla mengaruniakan kepadanya rasa takut, lalu ia
menghadap Allah, sedangkan rasa takutnya berada dalam hati yang paling dalam.”
Imam Adz Dzahabi
memberikan komentar ketika menyebutkan biografi Ibnu Hazm, saat ia mengatakan,
“Saya mengikuti kebenaran, berijtihad, dan tidak terikat dengan satu madzhab,”
ia (adz Dzahabi) berkata, “Ya. Siapa saja yang sudah mencapai tingkatan ijtihad
dan disaksikan oleh sejumlah imam, tidak boleh baginya untuk bertaklid.
Sebagaimana halnya seorang ahli fiqh pemula dan orang awam yang menghapal
seluruh Al Qur’an atau sebagian besar daripadanya tidak boleh berijtihad
selamanya. Karena bagaimana dia berijtihad? Apa nanti pendapatnya? Atas dasar
apa ia berijtihad? Dan bagaimana burung bisa terbang sedangkan bulunya belum
tumbuh?”
Imam Adz Dzahabi
melanjutkan, “Golongan yang ketiga adalah ahli fiqh yang mumpuni, teliti,
memiliki pemahaman yang baik, dan ahli hadits, dimana dia telah menghapal
ringkasan tentang masalah furu’, menghapal kitab tentang kaidah Ushul, telah
mempelajari Nahwu, dan ikut serta dalam keutamaan, di samping telah hapal Al
Qur’an, menyibukkan diri dengan tafsirnya, dan piawai dalam berdiskusi. Ini
adalah tingkatan orang yang telah mencapai derajat mujtahid muqayyad. Ia juga
telah siap mengupas dalil-dalil yang dijadikan sandaran oleh para imam. Apabila
telah jelas kebenaran baginya dalam suatu masalah, nashnya sudah jelas, dan
telah diamalkan oleh salah satu imam terkemuka, seperti Abu Hanifah, Malik, Ats
Tsauri, Al Auza’i, Syafi’i, Abu Ubaid, Ahmad, dan Ishaq, maka hendaklah ia mengikuti kebenaran, tidak
mengambil rukhshah (kekeliruan sebagian ulama dalam masalah fiqh), dan berusaha
bersikap wara’, dan tidak boleh baginya taklid setelah tegak hujjah.
Jika seorang ahli
fiqh mengkhawatirkan kecaman dari sebagian ahli fiqh, maka hendaknya ia
merahasiakan dan tidak memperlihatkan dengan perbuatan. Sebab, mungkin saja ia
merasa ujub dengan dirinya dan menyukai popularitas, sehingga ia pun
mendapatkan hukuman dengan masuknya unsur jahat ke dalam dirinya.
Berapa banyak
orang yang membicarakan kebenaran, mengajak kepada yang ma’ruf, tetapi Allah
menguasakan kepada para ahli fiqh yang lain. Ini juga merupakan penyakit
tersembunyi yang sering menjangkit hati orang-orang yang berinfak dari kalangan
orang kaya, para pewaqaf, dan para pemilik tanah yang bagus. Ia juga merupakan
penyakit tersembunyi yang sering menjangkit para tentara, para komandan, dan para
mujahid. Engkau melihat mereka menghadapi musuh, dua pasukan besar menyerbu,
namun dalam hati sebagian mujahid bercokol kesombongan yang tersembunyi,
menampakkan keberanian agar disebut (pemberani), muncul sifat ujub, sambil
memakai rompi yang berhias emas, topi baja yang berhias, dan peralatan gemerlap
yang digunakan oleh orang-orang yang sombong, serta kuda-kuda yang besar.
Selain itu, ia juga meremehkan shalat, zalim kepada rakyat, dan meminum minuman
keras, maka bagaimana mereka akan mendapat kemenangan? Dan bagaimana mereka
tidak mengalami kekalahan? Ya Allah, menangkanlah agama-Mu dan berilah taufik
kepada hamba-hamba-Mu.
Barang siapa yang
mencari ilmu untuk diamalkan, maka ilmu akan tunduk kepadanya. Tetapi barang
siapa yang mencari ilmu untuk mencari jabatan di sekolah-sekolah, untuk bisa
berfatwa, berbangga-bangga dan bersikap riya, maka ia akan menjadi orang yang
pandir (dungu), bersikap sombong, dan merendahkan manusia, serta dibinasakan
oleh ujub, dan dibenci oleh manusia. Allah berfirman,
قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا-وَقَدْ
خَابَ مَن دَسَّاهَا
“Sesungguhnya
beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu,-Dan sesungguhnya merugilah orang
yang mengotorinya.” (QS. Asy Syams: 9-10)
Yakni ia
mengotorinya dengan kefasikan dan kemaksiatan yang dilakukannya.” (Siyar
A’lamin Nubala 18/191,192).
Wallahu a’lam
shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahabihi wa sallam.
Disarikan dari kitab Aina Nahnu min Akhlaqis salaf oleh Marwan bin Musa
0 komentar:
Posting Komentar