Terjemah Umdatul Ahkam (10)

Selasa, 31 Januari 2017
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫سجود السهو‬‎
Terjemah Umdatul Ahkam (10)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut terjemah Umdatul Ahkam karya Imam Abdul Ghani Al Maqdisi (541 H – 600 H) rahimahullah. Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penerjemahan kitab ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Bab Sujud Sahwi
111 - عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُحَيْنَةَ - وَكَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ - صلى الله عليه وسلم - ((أَنَّ النَّبِيَّ - صلى الله عليه وسلم - صَلَّى بِهِمْ الظُّهْرَ فَقَامَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ الأُولَيَيْنِ , وَلَمْ يَجْلِسْ. فَقَامَ النَّاسُ مَعَهُ , حَتَّى إذَا قَضَى الصَّلاةَ , وَانْتَظَرَ النَّاسُ تَسْلِيمَهُ: كَبَّرَ وَهُوَ جَالِسٌ. فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ ثُمَّ سَلَّمَ)) .
111. Dari Abdullah bin Buhainah radhiyalahu anhu –dan ia termasuk sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam-, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah shalat Zhuhur mengimami orang-orang, lalu Beliau bangkit pada dua rakaat pertama dan tidak duduk (tasyahhud), kemudian orang-orang ikut bangkit. Ketika shalat akan selesai, dan orang-orang menunggu salam, Beliau bertakbir dalam keadaan duduk lalu sujud dua kali sebelum salam, kemudian salam.”
Bab Melewati Orang Yang Shalat
112 - عَنْ أَبِي جُهَيْمِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ الصِّمَّةِ الأَنْصَارِيِّ - رضي الله عنه - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم -: ((لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ يَدَيْ الْمُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ مِنْ الإِثْمِ؟ لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِينَ خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ)) . قَالَ أَبُو النَّضْرِ: لا أَدْرِي: قَالَ أَرْبَعِينَ يَوْماً أَوْ شَهْراً أَوْ سَنَةً.
112. Dari Abu Juhaim bin Harits bin Ash Shimmah Al Anshariy radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Kalau sekiranya orang yang melewati orang yang shalat mengetahui dosa yang menimpanya, tentu berdiri selama 40 lebih baik baginya daripada lewat di hadapannya.” Abun Nadhr berkata, “Aku tidak mengetahui, apakah Beliau menyebut 40 hari, bulan, atau tahun?”
113 - عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ - رضي الله عنه - قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَقُولُ: ((إذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إلَى شَيْءٍ يَسْتُرُهُ مِنْ النَّاسِ , فَأَرَادَ أَحَدٌ أَنْ يَجْتَازَ بَيْنَ يَدَيْهِ فَلْيَدْفَعْهُ. فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ. فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ)) .
113. Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu anhu ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Apabila salah seorang di antara kamu shalat menghadap sesuatu yang dapat menutupnya dari manusia, lalu ada seorang yang hendak melintas di hadapannya, maka tolaklah. Jika enggan, maka perangilah, karena dia adalah setan.”
114 - عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما قَالَ: ((أَقْبَلْتُ رَاكِباً عَلَى حِمَارٍ أَتَانٍ , وَأَنَا يَوْمَئِذٍ قَدْ نَاهَزْتُ الاحْتِلامَ , وَرَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يُصَلِّي بِالنَّاسِ بِمِنًى إلَى غَيْرِ جِدَارٍ. مَرَرْتُ بَيْنَ يَدَيْ بَعْضِ الصَّفِّ فَنَزَلْتُ , فَأَرْسَلْتُ الأَتَانَ تَرْتَعُ. وَدَخَلْتُ فِي الصَّفِّ , فَلَمْ يُنْكِرْ ذَلِكَ عَلَيَّ أَحَدٌ)) .
114. Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhuma ia berkata, “Aku pernah datang dengan mengendarai unta betina saat usiaku menjelang baligh. Ketika itu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam shalat mengimami manusia di Mina tanpa menghadap dinding, lalu aku lewat di hadapan sebagian shaf dan turun, kemudian kulepas untaku untuk memakan rerumputan, dan aku masuk ke dalam shaf, namun tidak ada seorang pun yang mengingkariku.”
115 - عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها قَالَتْ: ((كُنْتُ أَنَامُ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - وَرِجْلايَ فِي قِبْلَتِهِ - فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِي , فَقَبَضْتُ رِجْلَيَّ. فَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهُمَا. وَالْبُيُوتُ يَوْمَئِذٍ لَيْسَ فِيهَا مَصَابِيحُ)) .
115. Dari Aisyah radhiyallahu anha ia berkata, “Aku pernah tidur di hadapan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Ketika itu, kedua kakiku di arah kiblatnya. Saat Beliau sujud, maka Beliau menyentuhku sehingga aku pegang kedua kakiku, dan ketika Beliau bangun, maka aku lepaskan kembali. Ketika itu rumah-rumah tidak ada lampunya.”
Bab Jami (Menyeluruh)
116 - عَنْ أَبِي قَتَادَةَ بْنِ رِبْعِيٍّ الأَنْصَارِيِّ - رضي الله عنه - قَالَ: قَالَ رَسُولُ - صلى الله عليه وسلم -: ((إذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ الْمَسْجِدَ فَلا يَجْلِسْ حَتَّى يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ)) .
116. Dari Abu Qatadah bin Rib’i Al Anshari radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Apabila salah seorang di antara kamu masuk masjid, maka janganlah ia duduk hingga shalat dua rakaat.”
117 - عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ قَالَ: ((كُنَّا نَتَكَلَّمُ فِي الصَّلاةِ، يُكَلِّمُ الرَّجُلُ صَاحِبَهُ , وَهُوَ إلَى جَنْبِهِ فِي الصَّلاةِ , حَتَّى نَزَلَتْ «وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ» فَأُمِرْنَا بِالسُّكُوتِ وَنُهِينَا عَنْ الْكَلامِ)) .
117. Dari Zaid bin Arqam ia berkata, “Kami pernah berbicara ketika shalat, dimana seseorang berbicara dengan kawan di sebelahnya dalam shalat, sehingga turun ayat, “Dan berdirilah karena Allah dengan khusyu.” (Qs. Al Baqarah: 238), kami diperintahkan diam dan dilarang berbicara.”
118 - عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ وَأَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنهم عَنْ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - أَنَّهُ قَالَ: ((إذَا اشْتَدَّ الْحَرُّ فَأَبْرِدُوا بِالصَّلاةِ. فَإِنَّ  شِدَّةَ الْحَرِّ مِنْ فَيْحِ جَهَنَّمَ)) .
118. Dari Abdullah bin Umar dan Abu Hurairah radhiyallahu anhum, dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Beliau bersabda, “Apabila panas semakin memuncak, maka tundalah shalat hingga suasana sejuk, karena panas yang memuncak berasal dari panasnya neraka Jahannam.”
119 - عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم -: ((مَنْ نَسِيَ صَلاةً فَلْيُصَلِّهَا إذَا ذَكَرهَا , وَلا كَفَّارَةَ لَهَا إلاَّ ذَلِكَ " أَقِمْ الصَّلاةَ لِذِكْرِي)) . وَلِمُسْلِمٍ ((مَنْ نَسِيَ صَلاةً , أَوْ نَامَ عَنْهَا. فَكَفَّارَتُهَا: أَنْ يُصَلِّيَهَا إذَا ذَكَرَهَا))
119. Dari Anas bin Malik ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang lupa mengerjakan shalat, maka hendaklah ia shalat ketika ingat, dan tidak ada kaffaratnya selain dengan cara itu.” Allah berfirman, “Dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.” (Q.s. Thaha: 14)
Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Barang siapa yang lupa meninggalkan shalat atau tertidur daripadanya, maka kaffaratnya adalah hendaknya ia shalat ketika ingat.”
120 - عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ ((أَنَّ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ: كَانَ يُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اللهِ - صلى الله عليه وسلم - عِشَاءَ الآخِرَةِ. ثُمَّ يَرْجِعُ إلَى قَوْمِهِ , فَيُصَلِّي بِهِمْ تِلْكَ الصَّلاةَ))
120. Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhuma, bahwa Muadz bin Jabal pernah shalat Isya bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa salam, lalu kembali kaumnya dan mengimami mereka shalat Isya.
121 - عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: ((كُنَّا نُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فِي شِدَّةِ الْحَرِّ. فَإِذَا لَمْ يَسْتَطِعْ أَحَدُنَا أَنْ يُمَكِّنَ جَبْهَتَهُ مِنَ الأَرْضِ: بَسَطَ ثَوْبَهُ فَسَجَدَ عَلَيْهِ)) .
121. Dari Anas bin Malik ia berkata, “Kami pernah shalat bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam suasana yang sangat panas. Ketika salah seorang di antara kami tidak sanggup menekan dahinya ke tanah, maka ia hamparkan kainnya, lalu sujud di atasnya.”
122 - عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم -: ((لا يُصَلِّي أَحَدُكُمْ فِي الثَّوْبِ الْوَاحِدِ , لَيْسَ عَلَى عَاتِقِهِ مِنْهُ شَيْءٌ)) .
122. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah salah seorang di antara kamu shalat memakai satu kain yang di atas pundaknya tidak ada sesuatu yang menutupinya.”
123 - عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رضي الله عنهما عَنِ النَّبِيِّ - صلى الله عليه وسلم - أَنَّهُ قَالَ: ((مَنْ أَكَلَ ثُوماً أَوْ بَصَلاً. فَلْيَعْتَزِلْنَا أَوْ لِيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا، وَلْيَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ. وَأُتِيَ بِقِدْرٍ فِيهِ خَضِرَاتٌ مِنْ بُقُولٍ. فَوَجَدَ لَهَا رِيحاً , فَسَأَلَ؟ فَأُخْبِرَ بِمَا فِيهَا مِنْ الْبُقُولِ. فَقَالَ: قَرِّبُوهَا إلَى بَعْضِ أَصْحَابِي. فَلَمَّا رَآهُ كَرِهَ أَكْلَهَا. قَالَ: كُلْ. فَإِنِّي أُنَاجِي مَنْ لا تُنَاجِي)) .
123. Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhuma, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Beliau bersabda, “Barang siapa yang memakan bawang putih atau bawang merah, maka menyingkirlah dari kami atau hendaknya ia menyingkir dari masjid kami dan diam di rumahnya.” Suatu ketika Beliau dihidangkan sejenis sayuran, lalu Beliau mencium bau daripadanya, kemudian Beliau bertanya tentang bau itu, lalu diberitahukan, bahwa karena di dalamnya terdapat sayuran jenis tertentu, Beliau pun bersabda, “Tawarkanlah kepada sebagian sahabatku.” Saat Beliau melihat jenis sayuran itu, maka Beliau tidak suka memakannya, Beliau bersabda, “Makanlah, karena aku biasa bermunajat kepada yang kalian tidak bermunajat kepadanya.”
124 - عَنْ جَابِرِ بنِ عبدِ اللهِ رضي اللهُ عنهما أَنَّ النَّبِيَّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ: ((مَنْ أَكَلَ الثُّومَ وَالْبَصَلَ وَالْكُرَّاثَ فَلا يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا، فَإِنَّ الْمَلائِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ الإِنْسَانُ)) . وفي روايةٍ ((بني آدمَ)) .
124. Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhuma, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang memakan bawang putih, bawang merah, dan bawang bakung, maka janganlah mendekati masjid kami, karena para malaikat merasa terganggu dengan sesuatu yang membuat manusia – dalam sebuah riwayat: Bani Adam- juga terganggu.”
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa alaa aalihi wa shahbihi wa sallam
Penerjemah:
Marwan bin Musa

Syarah Hadits Hudzaifah (2)

Senin, 30 Januari 2017
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫من يعش منكم بعدى فسيرى أختلافاً كثيراً‬‎
Syarah Hadits Hudzaifah (2)
(Jalan Keluar Problematika Umat di Akhir Zaman)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang jalan keluar problematika umat di akhir zaman, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Busyra (Kabar Gembira)
Meskipun keadaan manusia setelah masa kenabian semakin jauh dari agama dan kebaikan yang ada tidak murni lagi, tetapi Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan agama-Nya dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Dia berfirman,
يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
“Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai.” (Qs. At Taubah: 32)
وَاللَّهُ غَالِبٌ عَلَى أَمْرِهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” (Qs. Yusuf: 21)
Hal ini menunjukkan masih tetapnya ada di tengah umat ini segolongan orang yang berjalan di atas kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tanpa peduli orang-orang yang menelantarkan mereka dan menyelisihi mereka sampai datang keputusan Allah Azza wa Jalla. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَزَالُ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ حَتَّى يَأْتِيَهُمْ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ ظَاهِرُونَ
“Akan senantiasa ada beberapa manusia dari kalangan umatku yang tampil (menegakkan kebenaran) sampai datang keputusan Allah sedangkan mereka dalam keadaan unggul.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Kelompok ini akan senantisa ada hingga generasi terakhir mereka berhasil memerangi Dajjal bersama Nabi Isa alaihis salam.
Jalan keluar terhadap perselisihan yang terjadi di tengah umat
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كًثِيْراً. فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ   وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Barang siapa yang hidup di antara kalian (sepeninggalku), maka ia akan menyaksikan banyak perselisihan. Oleh karena itu, hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur rasyidin yang mendapatkan petunjuk, gigitlah  dengan geraham (genggamlah dengan kuat). Hendaklah kalian menghindari perkara yang diada-adakan (dalam agama), karena semua perkara bid’ah adalah sesat.“ (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Hakim, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 2549).
Dalam hadits Hudzaifah, kita diperintahkan meninggalkan kelompok-kelompok yang ada meskipun harus menggigit akar pohon, sedangkan dalam hadits Irbadh bin Sariyah di atas kita diperintahkan berpegang dengan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan sunnah khulafa rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali yang mewakili para sahabat secara umum) serta menjauhi perkara yang diada-adakan dalam agama. Jika kita padukan kedua hadits di atas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa jalan keluar dari perselisihan, banyaknya golongan-golongan, dan tidak adanya jamaah kaum muslimin secara menyeluruh di bawah pimpinan seorang imam adalah Berpegang dengan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan pemahaman para sahabat ridhwanullah alaihim ajma’in atau pemahaman As Salafush Shalih.
Mengenal istilah As Salafush Shalih
Ibnu Manzhur dalam Lisanul Arab (9/159) berkata, “Salaf juga adalah orang yang mendahuluimu dari kalangan orang tuamu dan kerabatmu yang berada di atasmu dalam hal usia dan keutamaan. Oleh karena itu, generasi pertama dari kalangan tabi’in disebut sebagai As Salafus Shalih.”
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda kepada puterinya, yaitu Fathimah Az Zahra radhiyallahu anha,
فَإِنَّهُ نِعْمَ السَّلَفِ أَنَا لَكِ
“Sesungguhnya sebaik-baik salaf bagimu adalah aku.” (Hr. Muslim)
Secara istilah, salaf adalah sifat yang ketika dimutlakkan tertuju kepada para sahabat, dan yang lain ikut pula ke dalamnya mengikuti.
Al Qalasyani dalam Tahrirul Maqalah min Syarhir Risalah Qaaf 36 berkata, “Salafush shalih adalah generasi pertama (umat ini) yang dalam ilmunya, berpegang dengan petunjuk Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dan menjaga sunnahnya. Allah Ta’ala memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya shallallahu alaihi wa sallam, memilih mereka untuk menegakkan agama-Nya, dan meridhai mereka sebagai para pemimpin umat. Mereka berjihad di jalan Allah dengan sebenar-sebenarnya, meluangkan waktunya untuk memberikan nasihat dan manfaat kepada umat, dan mereka korbankan diri mereka untuk meraih keridhaan Allah. Allah memuji mereka dalam kitab-Nya,
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengannya adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.” (Qs. Al Fath: 29)
لِلْفُقَرَاءِ الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا وَيَنْصُرُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
“Bagi orang-orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (Qs. Al Hasyr: 8)
Dalam ayat di atas (dan ayat setelahnya) Allah memuji kaum Muhajirin dan Anshar, kemudian memuji orang yang mengikuti jejak mereka, Dia juga ridha terhadap mereka dan terhadap orang-orang yang mengikuti jejak mereka.”
Bahkan Dia mengancam azab bagi mereka yang menyelisihi mereka dan mengikuti jalan selain mereka, Dia berfirman,
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى
“Dan barang siapa yang menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu.” (Qs. An Nisaa’: 115)
Imam Al Ghazali dalam Iljamu ‘Awam ‘An Ilmil Kalam hal. 62 berkata ketika mendefinisikan ‘salaf’, “Maksudku adalah madzhab sahabat dan tabi’in.”
Abdullah Ibnul Mubarak berkata, “Tinggalkanlah hadits Amr bin Tsabit, karena dia mencela salaf.”
Maksudnya adalah para sahabat.
Al Auza’i rahimahullah berkata, “Tahanlah dirimu agar tetap berada di atas Sunnah, berhentilah di tempat mereka berhenti, ucapkanlah seperti yang mereka katakan, dan tahanlah dirimu sebagaimana mereka menahan diri, tempuhlah jalan kaum salafush shalih sebelummu, karena cukup bagimu apa yang cukup bagi mereka.” (Disebutkan oleh Al Ajurri dalam Asy Syari’ah hal. 58)
Mereka di sini adalah para sahabat.
Adapun dari sisi masa, maka istilah salaf digunakan untuk generasi terbaik dan layak diikuti, yaitu tiga generasi pertama yang dinyatakan kebaikannya oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ يَجِيءُ أَقْوَامٌ تَسْبِقُ شَهَادَةُ أَحَدِهِمْ يَمِينَهُ، وَيَمِينُهُ شَهَادَتَهُ
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian setelahnya, dan setelahnya, kemudian akan datang kaum yang persaksiannya mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului persaksiannya (bersegera bersaksi atau bersumpah meskipun tidak diminta).” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Akan tetapi, karena pada masa-masa tersebut telah bermunculan beberapa kelompok yang menyimpang, sehingga keberadaan seseorang di masa-masa itu tidak cukup dihukumi di atas manhaj salaf sampai sejalan dengan para sahabat dalam memahami Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam, maka para ulama membatasi dengan kata-kata “As Salafush Shalih” (generasi pertama umat ini yang saleh yang mengikuti pemahaman para sahabat).
Dan tidak mengapa menyandarkan diri kepada Salaf sebagaimana yang dinyatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa 4/149,
“Tidak ada celaan bagi orang yang menampakkan madzhab salaf dan mensibatkan diri kepadanya, bahkan wajib menerima hal itu berdasarkan kesepakatan, karena madzhab salaf tidak lain merupakan kebenaran.”
Imam Dzahabi dalam Siyar A’lamin Nubala (16/547) menukil pernyataan Al Hafizh Daruquthi, “Tidak ada sesuatu yang paling aku benci daripada ilmu Kalam.”
Selanjutnya Dzahabi berkata, “Beliau tidak pernah masuk ke dalam Ilmu Kalam dan jidal (perdebatan), serta tidak pernah mendalaminya, bahkan ia adalah seorang salafi.”
Dr. Nashir bin Abdul Karim Al ‘Aql berkata, “Salaf adalah generasi pertama umat ini yang terdiri dari kalangan sahabat, tabi’in, para imam yang menunjuki umat di tiga abad yang utama. Demikian pula tertuju kepada setiap oang yang mengikuti mereka itu dan berjalan di atas manhaj (cara beragama) mereka sepanjang masa. Istilah ‘Salafi’ adalah nisbat kepada mereka.” (Mujmal Ushul Ahlissunnah fil Aqidah hal. 5)
Dengan pertolongan Allah dan taufiq-Nya penulis telah mensyarah kitab Mujmal Ushul Ahlissunnah wal Jama’ah Fil ‘Aqidah karya Dr. Nashir Al ‘Aql dalam bahasa Indonesia, yang di sana terdapat gambaran secara jelas dan gamblang seperti apa manhaj (cara beragama) para sahabat radhiyallahu anhum, silahkan buka linknya di sini: http://wawasankeislaman.blogspot.co.id/p/aqidah_5.html , kemudian klik Aqidah Islam (1) sd Aqidah Islam (26), falillahil hamdu wal minnah.
Fawaid dari hadits Hudzaifah:
1. Bukti kebenaran kenabian Muhammad shallallahu alahi wa sallam, karena terjadinya apa yang Beliau beritakan.
2. Faedah bertanya tentang keburukan, yaitu agar dapat menjauhinya.
3. Kebaikan yang ada setelah masa Rasul shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu anhum tidak murni lagi, bahkan dicampuri sesuatu yang mengeruhkannya.
4. Tidak terpukau oleh penampilan dan lahiriah.
7. Dakhan bisa berupa bid’ah dalam akidah maupun bid’ah dalam syariat, demikian pula dalam ibadah. Termasuk dakhan pula adalah para pemimpin dan tokoh yang tidak membimbing umat di atas Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam. Demikian pula sanawat khadda’ah (tahun-tahun yang terdapat penipuan) sebagaimana telah diterangkan maksudnya.
4. Kewajiban mengikuti jamaah kaum muslimin secara keseluruhan dan imam mereka, wajib menaatinya meskipun fasik dan mengerjakan berbagai kemaksiatan, seperti mengambil harta dan lain sebagainya, selama perintahnya bukan maksiat.
5. Jika kaum muslimin tidak bersatu di bawah sebuah imam, maka hendaknya ia meninggalkan kelompok-kelompok yang ada, dan berpegang dengan sumber rujukan agama ini, yaitu Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam dengan memahaminya seperti pemahaman para sahabat serta menjalankan agama seperti mereka menjalankannya.
6. Jalan keluar menghadapi problematika umat di akhir zaman.
7. Di tengah-tengah umat Nabi Muhammad shallallahu alahi wa sallam tetap akan senantiasa ada yang berpegang teguh dengan kebenaran hingga datang keputusan Allah. 
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Limaadza ikhtartul manhajas salafiy (Salim Al Hilaliy), Mausu’ah Ruwathil Hadits (Markaz Nurul Islam li Abhatsil Qur’ani was Sunnah), Tahdzibul Kamal (Imam Al Mizziy), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.

Syarah Hadits Hudzaifah (1)

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين من بعدي‬‎
Syarah Hadits Hudzaifah (1)
(Jalan Keluar Problematika Umat di Akhir Zaman)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan tentang jalan keluar problematika umat di akhir zaman, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Tamhid (Pengantar)
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Abu Idris Al Khaulani, bahwa ia mendengar Hudzaifah bin Al Yaman radhiyallahu anhu berkata,
كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الخَيْرِ، وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي، فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا فِي جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ، فَجَاءَنَا اللَّهُ بِهَذَا الخَيْرِ، فَهَلْ بَعْدَ هَذَا الخَيْرِ مِنْ شَرٍّ؟ قَالَ: «نَعَمْ» قُلْتُ: وَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الشَّرِّ مِنْ خَيْرٍ؟ قَالَ: «نَعَمْ، وَفِيهِ دَخَنٌ» قُلْتُ: وَمَا دَخَنُهُ؟ قَالَ: «قَوْمٌ يَهْدُونَ بِغَيْرِ هَدْيِي، تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ» قُلْتُ: فَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الخَيْرِ مِنْ شَرٍّ؟ قَالَ: «نَعَمْ، دُعَاةٌ إِلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ، مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا» قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، صِفْهُمْ لَنَا؟ فَقَالَ: «هُمْ مِنْ جِلْدَتِنَا، وَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا» قُلْتُ: فَمَا تَأْمُرُنِي إِنْ أَدْرَكَنِي ذَلِكَ؟ قَالَ: تَلْزَمُ جَمَاعَةَ المُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ، قُلْتُ: فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلاَ إِمَامٌ؟ قَالَ «فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الفِرَقَ كُلَّهَا، وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ، حَتَّى يُدْرِكَكَ المَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ»
“Dahulu para sahabat bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tentang kebaikan, tetapi aku bertanya kepada Beliau tentang keburukan karena khawatir menimpa diriku, aku pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, dahulu kami berada di masa Jahiliyah dan dalam keburukan, lalu Allah mendatangkan kebaikan (Islam) ini kepada kami, maka apakah setelah kebaikan ini ada keburukan?” Beliau menjawab, “Ya.” Aku bertanya lagi, “Apakah setelah keburukan ini ada kebaikan?” Beliau menjawab, “Ya, namun di sana ada dakhan (kabut).” Aku bertanya, “Apa kabutnya?” Beliau menjawab, “Adanya orang-orang yang mengarahkan manusia namun bukan menggunakan petunjukku, engkau kenali mereka, namun pada saat yang sama engkau ingkari.” Aku bertanya kembali, “Apakah setelah kebaikan ini ada keburukan?” Beliau menjawab, “Ya, ada penyeru-penyeru ke pintu neraka Jahannam. Siapa saja yang menyambut seruan mereka, maka mereka akan menjatuhkan ke dalam neraka.” Aku bertanya kembali, “Wahai Rasulullah, terangkanlah sifat mereka kepada kami!” Beliau menjawab, “Mereka berasal dari kalangan kita dan berbicara dengan bahasa kita.” Aku bertanya, “Apa perintahmu kepadaku ketika aku menemukan masa tersebut?” Beliau menjawab, “Engkau berpegang dengan jamaah kaum muslimin dan imam mereka.” Aku bertanya kembali, “Jika mereka tidak memiliki jamaah dan tidak pula memiliki imam (bagaimana sikapku)?” Beliau menjawab, “Tinggalkanlah semua golongan yang ada meskipun engkau harus menggigit akar pohon sampai maut datang kepadamu sedangkan dirimu di atas itu.” (Hr. Bukhari no. 3606 dan Muslim no. 1847)
Biografi Rawi
Abu Abdillah Hudzaifah bin Husail (gelarnya Al Yaman) bin Jabir bin Usaid Al ‘Absiy adalah shahib sir (sahabat pemegang rahasia Rasulullah shallallahu alahi wa sallam). Ia dan ayahnya hadir bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam perang Uhud, namun ayahnya terbunuh ketika itu. Hudzaifah pernah diangkat Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu sebagai gubernur Mada’in, dan wafat 40 hari setelah terbunuhnya Utsman bin Affan radhiyallahu anhu.
Syarah (Penjelasan)
Dalam hadits di atas Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menerangkan, bahwa setelah datang kebaikan (Islam), maka akan datang keburukan, dan setelah keburukan itu datang, maka akan datang lagi kebaikan, namun di sana ada dakhan (kabut) yang mengeruhkan kebaikan itu.
Dakhan (kabut) dari kata dukhan (kabut atau asap) yang menunjukkan tidak murni kebaikan yang ada ketika itu, bahkan kebaikan itu tercampuri sesuatu yang mengotorinya. Ada pula yang mengartikan dakhan dengan hal-hal yang tidak menyenangkan.
Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (13/36) berkata,” Maksudnya adalah dengki. Ada yang mengatakan, bahwa maksudnya kerusakan. Dan ada pula yang mengatakan, bahwa maksudnya rusaknya hati. Ketiga arti ini saling berdekatan; yang menunjukkan bahwa kebaikan yang datang setelah keburukan itu tidak murni lagi, bahkan telah menjadi keruh. Yang lain mengatakan, bahwa ‘dakhan’ adalah kabut, yang menunjukkan keruhnya keadaan. Ada yang berpendapat, bahwa ‘dakhan’ adalah semua perkara yang tidak menyenangkan. Abu Ubaid berkata, “Maksud hadits tersebut ditafsirkan oleh hadits yang lain, yaitu bahwa hati manusia tidak kembali kepada keadaan semula sebelumnya. Asalnya adalah warna keruh pada kulit hewan, yang seakan-akan maksudnya hati mereka tidak jernih lagi antara yang satu dengan yang lain.”
Al Baghawi dalam Syarhus Sunah (15/15) berkata, “Kebaikannya tidak murni, bahkan di dalamnya mengandung kekeruhan dan kegelapan.”
Al Azhim Abadi dalam Aunul Ma’bud (11/316) menukil pernyataan Al Qari, bahwa arti asal dakhan adalah keruh dan warna yang kehitam-hitaman, sehingga kata itu menunjukkan kebaikan yang dicampuri kerusakan.
Intinya, bahwa masa tersebut tidak murni kebaikan, bahkan dicampuri sesuatu yang mengeruhkan. Demikian juga, bahwa hal yang mengeruhkan itu merusak hati, menjadikannya lemah sehingga mudah terserang penyakit, dan mudah terserang syubhat (Lihat Limaadzaa ikhtartul manhajas Salafiy karya Salim Al Hilaliy hal. 15).
Syaikh Salim  Al Hilali cenderung menafsirkan maksud Ad Dakhan dalam bukunya Limaadzaa ikhtartul manhajas Salafiy dengan munculnya berbagai bid’ah (baik dalam akidah maupun syariat) sebagaimana ditunjukkan oleh sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, “Adanya orang-orang yang mengarahkan manusia namun bukan menggunakan petunjukku.Ia juga berkata, “Berdasarkan sabda Beliau ini, maka semakin jelas, bahwa maksud dakhan yang mencampuri kebaikannya, mengeruhkan kejernihannya, serta merubah kesegarannya adalah berbagai bid’ah yang mendatangi sarang-sarang Mu’tazilah, Shufi, Jahmiyyah, Khawarij, Asy’ariyyah, Murji’ah, dan Rafidhah sejak lama, karena keadaan mereka yang hendak mencari fitnah sehingga melihat Islam dengan pandangan yang menyimpang, berkelompok, dan sikap takwil, sehingga Al Qur’an tidak tersisa selain tulisannya, Islam tinggal namanya, dan ibadah hanya jasmaninya saja. Dan dari sini juga semakin jelas, bahwa bid’ah adalah masalah yang berbahaya, karena dapat merusak hati dan badan sebagaimana penyakit merusak badan.” (Limaadzaa hal. 15-16).
Di samping bid’ah, termasuk dakhan pula penyeru-penyeru ke pintu neraka Jahannam sebagaimana yang disebutkan dalam hadits di atas, dimana lahiriah mereka sama seperti kita, namun batinnya menyelisihi syariat.
Adapun maksud kalimat “Engkau kenali mereka, namun pada saat yang sama engkau ingkari,” adalah engkau lihat dari mereka ada beberapa perkara yang sejalan dengan syariat, dan ada pula yang bertentangan dengannya (dari catatan kaki Syaikh  Musthafa Al Bigha).
Kalimat, “Ada penyeru-penyeru ke pintu neraka Jahannam. Siapa saja yang menyambut seruan mereka, maka mereka akan menjatuhkan ke dalam neraka,” para ulama berkata, bahwa mereka adalah dari kalangan pemimpin yang menyeru kepada bid’ah atau kesesatan seperti kaum Khawarij, Qaramithah, dan para pembawa fitnah. (Dari catatan kaki Syaikh M. Fuad Abdul Baqi).
Kalimat, “Mereka berasal dari kalangan kita dan berbicara dengan bahasa kita,” maksudnya lahiriah mereka sama seperti kita, namun batin mereka menyelisihi kita. Dalam riwayat Muslim disebutkan,
«يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ، وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي، وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ»
“Akan ada setelahku para imam yang tidak membimbing dengan petunjukku dan tidak menggunakan sunnahku, dan akan ada di tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya seperti hati setan namun dengan fisik manusia.”
Hudzaifah bertanya, “Apa yang harus aku lakukan wahai Rasulullah, jika aku mendapatkan zaman itu?”
Beliau menjawab,
«تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ، وَأُخِذَ مَالُكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ»
“Engkau mendengar dan taat kepada pemimpin meskipun punggungmu dipukul dan hartamu diambil. Mendengar dan taatilah.” (Hr. Muslim no. 1847)
Menurut Syaikh Salim Al Hilaliy, para penyeru ke pintu neraka Jahannam menampakkan perhatian terhadap maslahat umat serta membuat ridha mereka dengan kata-katanya, akan tetapi hatinya tidak menghendaki selain mengarahkan umat kepada kesesatan yang mereka telah pelajari dan terima dari orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani. (Lihat kitab Limaadzaa hal. 18)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي الْأَئِمَّةُ الْمُضِلُّوْنَ
“Sesungguhnya yang paling aku takuti menimpa umatku adalah para imam yang menyesatkan.” (Hr. Ahmad dan Thabrani, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami no. 1551)
Di samping pemimpin-pemimpin yang membimbing ke arah kesesatan, termasuk dakhan pula adalah terjadinya sanawat khadda’ah (tahun-tahun yang terdapat penipuan). Ketika itu, urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, orang yang jujur didustakan, sedangkan orang dusta dibenarkan, orang yang amanah dikhianati, sedangkan orang yang khianat dipercaya. Hal ini berdasarkan hadits berikut,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتُ، يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ، وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ، وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ، وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ، وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ» ، قِيلَ: وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ؟ قَالَ: «الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ»
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang menipu; orang dusta dibenarkan, orang jujur didustakan, orang khianat dipercaya, orang amanah dikhianati, dan akan berbicara ketika itu Ruwaibidhah.” Lalu ada yang bertanya, “Apa itu Ruwaibidhah?” Beliau menjawab, “Orang hina yang berbicara tentang masalah masyarakat umum.”[i].

Kalimat “Jamaah kaum muslimin,” adalah jamaah kaum muslimin yang berpegang dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam (dari catatan kaki Syaikh  Musthafa Al Bigha).
Al Hafizh dalam Fathul Bari (13/37) menyebutkan pendapat para ulama tentang maksud kata ‘jamaah’, di antaranya adalah as sawadul a’zham (kumpulan besar kaum muslimin), para sahabat, Ahli Ilmu, dan jamaah yang berada di atas ketaatan yang berkumpul di bawah seorang pemimpin. Al Hafizh juga menerangkan, bahwa hadits di atas juga menunjukkan, bahwa ketika manusia tidak memiliki pemimpin, lalu mereka berpecah-belah menjadi beberapa kelompok, maka hendaknya seseorang tidak mengikuti kelompok yang ada dan menjauhi semua kelompok itu ketika mampu karena dikhawatirkan jatuh ke dalam keburukan. Dibawa kepada tafsir inilah semua hadits yang datang tentangnya, dan dengan cara ini dapat dipadukan semua riwayat yang lahiriahnya seakan-akan bertentangan.  
Menurut Syaikh Salim Al Hilali, bahwa jamaah kaum muslimin yang dimaksud adalah yang semua kaum muslimin berkumpul di bawahnya dengan dipimpin seorang imam yang menjalankan hukum Allah, dimana kita wajib menaatinya dan memberikan kesetiaan kita kepadanya; dan yang dimaksud adalah negara Islam yang dipimpin oleh seorang khalifah yang menjalankan hukum Allah. Adapun jamaah-jamaah yang berusaha menegakkan negara Islam, maka itu sekedar kelompok-kelompok dari kaum muslimin yang seharusnya antara sesama mereka saling bantu-membantu dan menyingkirkan berbagai penghalang antara sesama mereka agar mereka dapat bertemu di atas satu kalimat yang sama; di atas kalimat tauhid dan sunnah dengan pemahaman generasi pertama umat ini (Lihat limaadzaa hal. 25).
Kalimat “Meskipun engkau harus menggigit akar pohon,” maksudnya benar-benar meninggalkan golongan-golongan yang ada (ketika tidak ada jamaah keseluruhan kaum muslimin dan imam mereka) (dari catatan kaki Syaikh  Musthafa Al Bigha).
Menurut Syaikh Salim, perintah menggigit akar pohon bukan secara zhahir, akan tetapi maksudnya tetap bersabar di atas kebenaran dan meninggalkan kelompok-kelompok sesat yang menjauhi kebenaran, atau maksudnya bahwa pohon Islam yang rindang akan terhempas oleh angin sehingga menggugurkan ranting dan daun-daunnya sehingga tidak tersisa selain akar dan batang yang tetap kokoh berhadapan dengan badai itu, ketika itulah kaum muslimin harus memeluk dengan kuat batang ini dan mengedepankannya meskipun harus mengorbankan jiwa dan sesuatu yang berharga, karena batang itu suatu saat akan berkembang (Lihat Limaadzaa hal. 27).
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Limaadza ikhtartul manhajas salafiy (Salim Al Hilaliy), Mausu’ah Ruwathil Hadits (Markaz Nurul Islam li Abhatsil Qur’ani was Sunnah), Tahdzibul Kamal (Imam Al Mizziy), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.




[i] Syaikh Salim Al Hilaliy berkata, “Shahih lighairih. Disebutkan Ibnu Majah (4036), Ahmad (2/291), Hakim (4/465-466, 512), Kharaithi dalam Makarimul Akhlaq hal. 30, Asy Syajari dalam Amalinya (2/256, 265) dari jalan Abdul Malik bin Qudamah Al Jumhiy, dari Ishaq bin Abi Furat dari Al Maqburiy dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “…dst.” Hakim berkata, “Shahih isnadnya.” Disetujui oleh Dzahabi. Menurutku (Syaikh Salim), sanad hadits itu tidak sesuai seperti yang mereka berdua katakan, karena isnadnya dhaif. Di dalamnya terdapat Abdul Malik bin Qudamah Al Jumhiy yang didhaifkan oleh Dzahabi rahimahullah dalam beberapa kitabnya, ia juga menukil pernyataan dhaifnya dari sejumlah ulama. Demikian pula terdapat Ishaq bin Abi Furat; seorang yang majhul sebagaimana disebutkan dalam At Taqrib. Namun hadits tersebut memiliki jalur lain yang menguatkannya, yatu riwayat Ahmad (2/338) dari jalan Fulaih bin Sulaiman dari Sa’id bin Ubaid, dari Abu Hurairah secara marfu’. Menurutku, semua perawinya adalah tsiqah selain Fulaih yang terdapat pembicaraan dari segi hapalannya, sehingga hadits Abu Hurairah tersebut karena kedua jalan ini menjadi hasan. Akan tetapi hadits ini juga memiliki syahid (penguat dari jalan lain) yang mengangkatnya ke derajat shahih, yaitu:
Pertama, hadits Anas radhiyallahu anhu yang memiliki dua jalan, yaitu:
a. Dari jalan Muhammad bin Ishaq dari Abdullah bin Dinar, dari Anas. Diriwayatkan oleh Ahmad (3/220), Thahawi dalam Musykilul Atsar (466). Pemberi catatan kaki kitab Musykilul Atsar (1/405) berkata, “Para perawinya tsiqah, hanyajasa di dalamnya terdapat ‘an’anah Ibnu Ishaq.” Haitsami dalam Al Majma’ (7/844) berkata, “Diriwayatkan oleh Al Bazzar, dan Muhammad bin Ishaq menyebutkan dengan tegas ‘mendengarnya’ dari Abdullah bin Dinar, sedangkan para perawi lainnya adalah tsiqah.” Menurutku, sesuai dengan pernyataannya itu, karena hadits tersebut dalam Kasyful Astar ‘an Zawaidil Bazzar (3373) disebutkan pernyataan ‘haddatsana’ oleh Ibnu Ishaq.
b. Dari jalan Muhammad bin Ishaq, dari Muhammad bin Al Munkadir, dari Anas. Disebutkan oleh Ahmad (3/220). Menurutku, di dalamnya terdapat Ibnu Ishaq, sedangkan ia seorang mudallis, dan telah melakukan ‘an’anah.
Dari sini dapat diketahui, bahwa Muhammad bin Ishaq memiliki dua orang guru dalam meriwayatkan hadits tersebut, yaitu: (1) Abdullah bin Dinar, dan ia menegaskan pernyataan haddatsana. (2) Muhammad bin Al Munkadir, namun tidak menegaskan ‘mendengar darinya’.
Kedua, hadits Auf bin Malik Al Asyja’i radhiyallahu anhu. Disebutkan oleh Al Bazzar (3373), Thabrani dalam Al Kabir (18/56-57), Musnad Asy Syamiyin (47, 48), dan Thahawi dalam Musykilul Atsar (464) dari beberapa jalan, dari Ibrahim bin Abi Ablah, dari ayahnya, dari Auf. Menurutku (Salim Al Hilali), di dalamnya terdapat Syamr bin Yaqzhan, ayah Ibrahim bin Abi Ablah yang hanya diriwayatkan oleh anaknya, dan tidak ditsiqahkan selain oleh Ibnu Hibban, sehingga sebagai orang yang majhul.
Kesimpulannya, hadits tersebut shahih berdasarkan jalur-jalur dan syahid-syahidnya sesuai yang ditetapkan dalam Musthalul Hadits dan Qawaidnya (Limaadza karya Salim Al Hiali hal. 20-21). 
 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger