Tanya-Jawab Ringkas Akidah Islam

Jumat, 25 November 2016
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫سؤال وجواب في العقيدة‬‎
Tanya-Jawab Ringkas Akidah Islam
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut tanya-jawab ringkas akidah Islam, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Tanya-Jawab Ringkas Akidah Islam
1. Dari mana kita mengambil akidah kita?
Jawab: Dari Al Qur’an dan As Sunnah.
2. Di mana Allah?
Jawab: Di atas langit; bersemayam di atas Arsyi-Nya.
3. Apa dalil dalam Al Qur’an yang menerangkan bahwa Allah bersemayam di atas Arsyi?
Jawab: Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى (5)
"Allah Yang Maha Pemurah bersemayam di atas Arsyi.” (Qs. Thaahaa: 5)
4. Apa arti “اسْتَوَى ” (bersemayam)?
Jawab: Artinya “ على وارتفع , yakni berada di atas.
5. Untuk apa Allah menciptakan manusia dan jin?
Jawab: Untuk beribadah hanya kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu.
6. Apa dalil dalam Al Qur’an yang menerangkan bahwa Allah menciptakan manusia dan jin untuk beribadah hanya kepada-Nya?
Jawab: Firman Allah Ta’ala,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
"Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka mengabdi kepada-Ku. (Qs. Adz Dzaariyaat: 56)
7. Apa maksud “agar mereka mengabdi kepada-Ku.?
Jawab: Agar mereka mentauhidkan Allah (beribadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla).
8. Apa arti Laailaahaillallah?
Jawab: Tidak ada yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah.
9. Apa ibadah yang paling utama?
Jawab: Tauhid.
10. Apa maksiat yang paling besar?
Jawab: Syirik.
11. Apa arti Tauhid?
Jawab: Mengesakan Allah dalam beribadah.
12. Apa arti syirik?
Jawab: Beribadah kepada selain Allah.
13. Ada berapa pembagian tauhid?
Jawab: Ada tiga.
14. Apa saja pembagian tauhid itu?
Jawab: Tauhid Rububiyyah, Tauhid Uluhiyyah, dan Tauhid Asma wa Shifat.
15. Apa maksud tauhid Rububiyyah?
Jawab: Mengesakan Allah dalam perbuatan-Nya, seperti menciptakan dan memberikan rezeki.
16. Apa maksud tauhid Uluhiyyah?
Jawab: Mengesakan Allah dalam perbuatan hamba, seperti berdoa, berkurban, dan bersujud.
17. Apakah Allah mempunyai nama dan sifat?
Jawab: Ya.
18. Dari mana kita menetapkan nama-nama Allah dan sifat-Nya ?
Jawab: Dari Al Qur’an dan As Sunnah.
19. Apakah sifat Allah sama seperti sifat kita?
Jawab: Tidak.
20. Apa dalil dalam Al Qur’an, bahwa sifat Allah tidak sama dengan sifat makhluk-Nya?
Jawab: Firman Allah Ta’ala,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat.” (Qs. Asy Syuuraa: 11)
21. Firman siapakah Al Qur’an itu?
Jawab: Firman Allah Ta’ala.
22. Apakah Al Qur’an itu diturunkan atau sebagai makhluk?
Jawab: Diturunkan (dan bukan sebagai makhluk), sebagai firman-Nya secara hakiki baik huruf maupun suaranya.
23. Apa itu kebangkitan?
Jawab: Menghidupkan kembali manusia setelah mati.
24. Apa dalil dalam Al Qur’an bahwa orang yang mengingkari kebangkitan adalah kafir?
Jawab: Firman Allah Ta’ala,
زَعَمَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنْ لَنْ يُبْعَثُوا
“Orang-orang kafir menyangka, bahwa mereka tidak akan dibangkitkan.” (Qs. At Taghabun: 7)
25. Apa dalil dalam Al Qur’an yang menerangkan bahwa Allah akan membangkitkan kita?
Jawab: Firman Allah Ta’ala,
قُلْ بَلَى وَرَبِّي لَتُبْعَثُنَّ
Katakanlah, "Ya, demi Tuhanku, kamu benar-benar akan dibangkitkan.” (Qs. At Taghabun: 7)
26. Ada berapa rukun Islam?
Jawab: Ada lima.
27. Ada berapa rukun Iman?
Jawab: Ada enam.
28. Ada berapa rukun Ihsan?
Jawab: Ada satu [yaitu engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak merasa begitu, maka ketahuilah bahwa Dia melihatmu].
29. Apa arti Islam?
Jawab: Menyerahkan diri kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya, tunduk kepada-Nya dengan menaati-Nya, dan berlepas diri dari syirik dan para pelakunya. [Rukunnya adalah bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan berhaji ke Baitullah jika mampu).
30. Apa itu iman?
Jawab: Iman artinya meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan, dan mengamalkan dengan anggota badan, bertambah karena ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan. Rukunnya adalah beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari Akhir, dan kepada takdir yang baik maupun yang buruk.
31. Kepada siapa kita berkurban dan bersujud?
Jawab: Kepada Allah saja; tidak ada sekutu bagi-Nya.
32. Bolehkah berkurban dan bersujud kepada selain Allah?
Jawab: Tidak boleh.
33. Apa hukum menyembelih dan bersujud kepada selain Allah?
Jawab: Syirik akbar (besar).
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Risalah ini dikirim oleh Syaikh Ahmad Nafi dan diterjemahkan oleh Marwan Hadidi, M.PdI

Bagi yang ingin membantu dakwah Tauhid dan Sunnah, Anda bisa memesan Buletin Al Islah dengan menghubungi/sms/WA 087875069024.
@Pena_Islam
wawasankeislaman.blogspot.com 

Terjemah Umdatul Ahkam (7)

Kamis, 17 November 2016
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫صفة صلاة النبي‬‎
Terjemah Umdatul Ahkam (7)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut terjemah Umdatul Ahkam karya Imam Abdul Ghani Al Maqdisi (541 H – 600 H). Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penerjemahan kitab ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Bab Barisan Dalam Shalat
77 - عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ - رضي الله عنه -: ((أَنَّ جَدَّتَهُ مُلَيْكَةَ دَعَتْ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - لِطَعَامٍ صَنَعَتْهُ , فَأَكَلَ مِنْهُ , ثُمَّ قَالَ: قُومُوا فَلأُصَلِّيَ لَكُمْ؟ قَالَ أَنَسٌ: فَقُمْتُ إلَى حَصِيرٍ لَنَا قَدْ اسْوَدَّ مِنْ طُولِ مَا لُبِسَ , فَنَضَحْتُهُ بِمَاءٍ , فَقَامَ عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّه - صلى الله عليه وسلم - وَصَفَفْتُ أَنَا وَالْيَتِيمُ وَرَاءَهُ , وَالْعَجُوزُ مِنْ وَرَائِنَا. فَصَلَّى لَنَا رَكْعَتَيْنِ , ثُمَّ انْصَرَفَ)) . وَلِمُسْلِمٍ ((أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - صَلَّى بِهِ وَبِأُمِّهِ فَأَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ , وَأَقَامَ الْمَرْأَةَ خَلْفَنَا)) .
77. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa neneknya yaitu Mulaikah pernah mengundang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memakan makanan buatannya, lalu Beliau makan makanan itu, kemudian Beliau bersabda, “Bangunlah agar aku shalat mengimami kalian.” Anas berkata, “Maka aku bangun menuju tikar kami yang sudah agak hitam karena lama dipakai, kemudian aku mencucinya dengan air, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di atasnya, kemudian aku dan seorang anak yatim berdiri di belakangnya, sedangkan nenekku berdiri di belakang kami, lalu Beliau shalat mengimami kami dua rakaat, kemudian salam.”
Dalam riwayat Muslim disebutkan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat bersama Anas dan ibunya, Beliau menempatkan Anas di kanannya, dan menempatkan wanita di belakang.
78 - عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما: قَالَ: ((بِتُّ عِنْدَ خَالَتِي مَيْمُونَةَ. فَقَامَ النَّبِيُّ - صلى الله عليه وسلم - يُصَلِّي مِنْ اللَّيْلِ. فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ. فَأَخَذَ بِرَأْسِي فَأَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ)) .
78. Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma ia berkata, “Aku pernah bermalam di rumah bibiku Maimunah, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri shalat malam, kemudian aku berdiri di sebelah kiri Beliau, maka Beliau memegang kepalaku dan menempatkanku di kanannya.”
Bab Mengangkat Imam
79 - عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه - عَنْ النَّبِيِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ: ((أَمَا يَخْشَى الَّذِي يَرْفَعُ رَأْسَهُ قَبْلَ الإِمَامِ أَنْ يُحَوِّلَ اللَّهُ رَأْسَهُ رَأْسَ حِمَارٍ , أَوْ يَجْعَلَ صُورَتَهُ صُورَةَ حِمَارٍ؟))
79. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda, “Tidakkah takut orang yang mengangkat kepalanya sebelum imam mengangkat kepala jika Allah merubah kepalanya dengan kepala keledai, atau menjadikan bentuknya seperti bentuk keledai?”
80 - عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه - عَنْ النَّبِيِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ: ((إنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ. فَلا تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ. فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا , وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا. وَإِذَا قَالَ: سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ , فَقُولُوا: رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ. وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا. وَإِذَا صَلَّى جَالِساً فَصَلُّوا جُلُوساً أَجْمَعُونَ)) .
80. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Beliau bersabda, “Sesungguhnya imam itu dijadikan untuk diikuti, maka janganlah menyelisihinya. Jika ia bertakbir, maka bertakbirlah. Jika ia ruku, maka rukulah, dan jika ia mengucapkan ‘Sami’allahu liman hamidah,’ (artinya: Allah mendengar orang yang memuji-Nya), maka ucapkanlah, “Rabbanaa walakal hamd,” (artinya: Wahai Rabb kami, untuk-Mulah segala puji). Jika ia sujud, maka sujudlah, dan jika ia shalat sambil duduk, maka shalatlah kalian semua sambil duduk.”
81 - وَمَا فِي مَعْنَاهُ مِنْ حَدِيثِ عَائِشَةَ رضي الله عنها قَالَتْ: ((صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فِي بَيْتِهِ وَهُوَ شَاكٍ , صَلَّى جَالِساً , وَصَلَّى وَرَاءَهُ قَوْمٌ قِيَاماً , فَأَشَارَ إلَيْهِمْ: أَنْ اجْلِسُوا لَمَّا انْصَرَفَ قَالَ إنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ , فَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا , وَإِذَا رَفَعَ فَارْفَعُوا , وَإِذَا قَالَ: سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا: رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ , وَإِذَا صَلَّى جَالِساً فَصَلُّوا جُلُوساً أَجْمَعُونَ)) .
81. Demikian pula yang semakna dengan hadits sebelumnya, yaitu hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat di rumahnya ketika sakit, Beliau shalat dalam keadaan duduk, sedangkan orang-orang shalat di bekalangnya dalam keadaan berdiri, maka Beliau berisyarat kepada mereka agar duduk. Selesai shalat Beliau bersabda, “Sesungguhnya imam dijadikan untuk diikuti. Jika ia ruku, maka rukulah. Jika ia bangun, maka bangunlah, dan jika ia mengucapkan ‘Sami’allahu liman hamidah,’ (artinya: Allah mendengar orang yang memuji-Nya), maka ucapkanlah, “Rabbanaa walakal hamd,” (artinya: Wahai Rabb kami, untuk-Mulah segala puji). Jika ia shalat sambil duduk, maka shalatlah kalian semua sambil duduk.”
82 - عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَزِيدَ الْخِطْمِيِّ الأَنْصَارِيِّ - رضي الله عنه - قَالَ: حَدَّثَنِي الْبَرَاءُ - وَهُوَ غَيْرُ كَذُوبٍ - قَالَ: ((كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - إذَا قَالَ: سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ: لَمْ يَحْنِ أَحَدٌ مِنَّا ظَهْرَهُ حَتَّى يَقَعَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - سَاجِدًا , ثُمَّ نَقَعُ سُجُودًا بَعْدَهُ)) .
82. Dari Abdullah bin Yazid Al Khithmi Al Anshariy radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Telah menceritakan kepadaku Al Barra’, dan ia bukanlah seorang pendusta, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat mengucapkan ‘Sami’allahu liman hamidah,’ maka salah seorang di antara kami tidak ada yang menurunkan punggungnya sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam turun sujud, lalu kami turun sujud setelahnya.”
83 - عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه - أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ: ((إذَا أَمَّنَ الإِمَامُ فَأَمِّنُوا , فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ الْمَلائِكَةِ: غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ)) .
83. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila imam mengucapkan amin, maka ucapkanlah amin, karena barang siapa yang aminnya betepatan dengan amin para malaikat, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”
84 - عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه -: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ: ((إذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِلنَّاسِ فَلْيُخَفِّفْ فَإِنَّ فِيهِمْ الضَّعِيفَ وَالسَّقِيمَ وَذَا الْحَاجَةِ , وَإِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِنَفْسِهِ فَلْيُطَوِّلْ مَا شَاءَ)) .
84. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila salah seorang di antara kamu shalat mengimami manusia, maka ringankanlah, karena di antara mereka ada yang lemah, sakit, dan memiliki kebutuhan. Tetapi jika ia shalat sendiri, maka panjangkanlah semaunya.”
85 - وَمَا فِي مَعْنَاهُ مِنْ حَدِيثِ أَبِي مَسْعُودٍ الأَنْصَارِيِّ - رضي الله عنه - قَالَ: ((جَاءَ رَجُلٌ إلَى رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فَقَالَ: إنِّي لأَتَأَخَّرُ عَنْ صَلاةِ الصُّبْحِ مِنْ أَجْلِ فُلانٍ , مِمَّا يُطِيلُ بِنَا , قَالَ: فَمَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ - صلى الله عليه وسلم - غَضِبَ فِي مَوْعِظَةٍ قَطُّ أَشَدَّ مِمَّا غَضِبَ يَوْمَئِذٍ , فَقَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ , إنَّ مِنْكُمْ مُنَفِّرِينَ , فَأَيُّكُمْ أَمَّ النَّاسَ فَلْيُوجِزْ , فَإِنَّ مِنْ وَرَائِهِ الْكَبِيرَ وَالضَّعِيفَ وَذَا الْحَاجَةِ)) .
85. Demikian pula yang semakna dengan hadits di atas, yaitu hadits Abu Mas’ud Al Anshariy radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Telah datang seseorang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Sesungguhnya saya terlambat shalat Subuh karena sebab si fulan yang memperlama shalatnya dengan kami,” Abu Mas’ud berkata, “Ketika itu, aku tidak pernah melihat Nabi shallallahu alaihi wa sallam marah dalam memberikan nasihat yang lebih keras daripada hari itu, Beliau bersabda, “Wahai manusia, sesungguhnya di antara kalian ada yang membuat manusia lari. Oleh karena itu, siapa saja di antara kamu yang mengimami manusia, maka ringankanlah, karena di belakangnya terdapat orang tua, orang lemah, dan orang yang memiliki kebutuhan.”
Bab Sifat Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
86 - عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه - قَالَ: ((كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - إذَا كَبَّرَ فِي الصَّلاةِ سَكَتَ هُنَيْهَةً قَبْلَ أَنْ يَقْرَأَ , فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ , بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي , أَرَأَيْتَ سُكُوتَكَ بَيْنَ التَّكْبِيرِ وَالْقِرَاءَةِ: مَا تَقُولُ؟ قَالَ: أَقُولُ: اللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ. اللَّهُمَّ نَقِّنِي مِنْ خَطَايَايَ كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الأَبْيَضُ مِنْ الدَّنَسِ. اللَّهُمَّ اغْسِلْنِي مِنْ خَطَايَايَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ))
86. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila bertakbir dalam shalat, Beliau diam sejenak sebelum membaca (Al Qur’an), lalu aku bertanya, “Wahai Rasulullah, biarlah ayah dan ibuku menjadi tebusanmu, beritahukanlah kepadaku tentang diam engkau antara takbir dan membaca (Al Qur’an); apa yang engkau ucapkan?” Beliau bersabda, “Aku mengucapkan, “Allahumma ba’id bainiy…dst.” (artinya: Ya Allah, jauhkanlah antara diriku dengan dosa-dosaku sebagaimana Engkau jauhkan timur dan barat. Ya Allah, bersihkanlah aku dari dosa-dosa sebagaimana dibersihkan pakaian yang putih dari noda. Ya Allah, cucilah dosa-dosaku dengan air, air es, dan embun.”
87 - عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها قَالَتْ: ((كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَسْتَفْتِحُ الصَّلاةَ بِالتَّكْبِيرِ , وَالْقِرَاءَةَ بـ «الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ» وَكَانَ إذَا رَكَعَ لَمْ يُشْخِصْ رَأْسَهُ وَلَمْ يُصَوِّبْهُ وَلَكِنْ بَيْنَ ذَلِكَ , وَكَانَ إذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ لَمْ يَسْجُدْ حَتَّى يَسْتَوِيَ قَائِماً , وَكَانَ إذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ السَّجْدَةِ لَمْ يَسْجُدْ , حَتَّى يَسْتَوِيَ قَاعِداً , وَكَانَ يَقُولُ فِي كُلِّ رَكْعَتَيْنِ التَّحِيَّةَ , وَكَانَ يَفْرِشُ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَيَنْصِبُ رِجْلَهُ الْيُمْنَى , وَكَانَ يَنْهَى عَنْ عُقْبَةِ الشَّيْطَانِ، وَيَنْهَى أَنْ يَفْتَرِشَ الرَّجُلُ ذِرَاعَيْهِ افْتِرَاشَ السَّبُعِ , وَكَانَ يَخْتِمُ الصَّلاةَ بِالتَّسْلِيمِ)) .
87. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai shalat dengan bertakbir dan membaca Alhamdulillahi Rabbil alamin (surat Al Fatihah). Beliau ketika ruku tidak mendongakkan kepalanya dan tidak menundukkannya, akan tetapi pertengahan di antara itu. Beliau ketika bangun dari ruku tidak langsung sujud sampai berdiri lurus, dan ketika mengangkat kepalanya dari sujud, maka Beliau tidak langsung sujud sampai duduk sempurna. Beliau mengucapkan tahiyat pada setiap dua rakaat, membaringkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya, dan Beliau melarang ‘uqbatusy syaithan[i], Beliau juga melarang seseorang menghamparkan kedua tangannya seperti binatang buas, dan Beliau menutup shalat dengan salam.”
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa alaa aalihi wa shahbihi wa sallam
Penerjemah:
Marwan bin Musa


[i] Uqbatusy syaithan adalah seseorang menempelkan pinggulnya ke lantai, menegakkan kedua betisnya, dan meletakkan kedua tangannya di lantai.

Risalah Puasa Ramadhan (2)

Jumat, 11 November 2016
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫صيام رمضان‬‎
Risalah Puasa Ramadhan (2)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut risalah Syaikh Abdul Aziz bin Baz (mufti Saudi Arabia yang wafat pada tahun 1420 H/1999 M) berkenaan dengan fiqih seputar puasa Ramadhan dengan judul Shiyam Ramadhan, Fadhluhu ma’a Bayan Ahkam Muhimmah Takhfa ‘Ala Ba’dhin Naas. Semoga Allah menjadikan penerjemahan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Fiqih Puasa Ramadhan
Bagi seorang muslim wajib memelihara puasa dan qiyamullailnya dengan menjauhkan diri dari apa yang diharamkan Allah kepadanya baik berupa ucapan maupun perbuatan, karena tujuan dari puasa adalah taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, memuliakan semua yang dimuliakan-Nya, berjihad melawan nafsunya demi menaati Tuhannya, dan membiasakannya bersabar dari apa yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan hanya sekedar meninggalkan makan dan minum, serta semua yang membatalkan lainnya. Oleh karena itu, telah shahih riwayat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Beliau bersabda,
اَلصِّيَامُ جُنَّةٌ، فَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ، وَلَا يَصْخَبْ، فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ، فَلْيَقُلْ: إِنِّي صَائِمٌ
“Puasa adalah perisai. Jika salah seorang di antara kamu berpuasa, maka janganlah berkata kotor, berteriak-teriak, dan jika ada seorang yang mencaci-makinya atau mengajaknya berperang, maka katakanlah, “Saya sedang puasa.” [HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Nasa’i].
Telah shahih pula dari Beliau, bahwa Beliau bersabda,
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالعَمَلَ بِهِ، فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barang yang tidak berhenti dari berkata dusta dan mengamalkannya, maka Allah tidak butuh ia meninggalkan makanan dan minumannya.” [HR. Bukhari]
Berdasarkan dalil-dalil di atas dan dalil-dalil lainnya, maka jelaslah bahwa orang yang berpuasa harus berhati-hati dari melakukan perbuatan yang diharamkan Allah, menjaga apa yang diwajibkan Allah, sehingga diharapkan ia akan memperoleh ampunan, pembebasan dari neraka, diterima puasa dan qiyamullailnya.
Ada beberapa perkara yang masih samar bagi sebagian orang yang perlu disampaikan, yaitu:
1. Seorang muslim harus berpuasa karena iman dan mengharap pahala, bukan karena riya dan sum’ah, dan bukan karena ikut-ikutan dengan orang-orang, atau mengikuti keluarganya, atau lingkungannya, bahkan seharusnya yang mendorongnya berpuasa adalah keimanannya, bahwa Allah telah mewajibkan puasa itu, dan ia pun mengharapkan pahala di sisi Tuhannya. Demikian pula qiyam Ramadhan (shalat tarawih) yang dilakukannya hendaknya karena iman dan mengharapkan pahala, bukan karena sebab yang lain. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Barang siapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Barang siapa yang melakukan qiyam Ramadhan (shalat tarawih) karena iman dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Barang siapa yang melakukan qiyamullail pada malam Lailatul Qadr karena iman dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” [Telah lewat takhrijnya]
2. Terkadang orang yang berpuasa terkena luka, mimisan, muntah, kemasukan air atau bensin ke mulutnya tanpa sengaja, maka hal ini tidak merusak puasanya, tetapi jika sengaja muntah, maka akan batal puasa. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ، وَمَنِ اسْتَقَاءَ فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ
“Barang siapa yang didesak oleh muntah, maka tidak perlu mengqadha, tetapi barang siapa yang sengaja muntah, maka ia harus mengqadha.” [HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al Albani]
3. Terkadang orang yang berpuasa menunda mandi janabat sampai terbit fajar, atau sebagian wanita menunda mandi dari haidh atau nifas hingga terbit fajar. Jika ia melihat dirinya telah suci sebelum fajar, maka ia wajib berpuasa, dan tidak mengapa menunda mandinya setelah terbit fajar, tetapi tidak boleh menundanya sampai terbit matahari. Seorang wanita harus mandi dan shalat Subuh sebelum terbit matahari. Demikian pula orang yang junub, ia tidak boleh menunda mandi setelah terbit matahari, bahkan ia harus mandi dan shalat Subuh sebelum terbit matahari, dan bagi laki-laki harus segera melakukannya agar dapat shalat Subuh berjamaah.
4. Tidak membatalkan puasa memeriksa (cek) darah dan menusukkan jarum ke kulit yang maksudnya bukan sebagai gizi makanan baginya. Akan tetapi menundanya di malam hari lebih utama dan lebih hati-hati baginya jika mudah hal itu baginya, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ
“Tinggalkan hal yang meragukanmu kepada hal yang tidak meragukanmu.” [HR. Tirmidzi, dan ia menshahihkannya]
مَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ، وَعِرْضِهِ
“Barang siapa yang menjaga diri dari syubhat, maka ia telah membebaskan agama dan kehormatannya.” [HR. Bukhari dan Muslim]
5. Termasuk perkara yang masih samar bagi sebagian orang adalah masalah thuma’ninah dalam shalat, baik dalam shalat fardhu maupun shalat sunah. Hadits-hadits yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan, bahwa thuma’ninah termasuk rukun shalat, dimana shalat tidak akan sah tanpanya. Thuma’ninah artinya tenang dalam shalat, khusyu di dalamnya, dan tidak tergesa-gesa sampai tulang-tulang punggung kembali ke tempatnya semula. Banyak yang melakukan shalat Tarawih di bulan Ramadhan tanpa mengetahui masalah thuma’ninah, sehingga ia tidak melakukan thuma’ninah di dalamnya dan melakukannya secara terburu-buru. Shalat seperti ini batal dan pelakunya berdosa; tidak mendapatkan pahala.
6. Termasuk masalah yang masih samar hukumnya bagi sebagian orang adalah anggapan sebagian orang bahwa shalat tarawih tidak boleh kurang dari dua puluh rakaat, atau anggapan sebagian orang bahwa shalat tarawih tidak boleh lebih dari sebelas atau tiga belas rakaat. Ini semua adalah anggapan yang bukan pada tempatnya, bahkan keliru dan menyelisihi dalil.
Hadits-hadits yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan, bahwa shalat malam diberikan keleluasaan di dalamnya, tidak ada batasan yang tidak boleh diselisihi; bahkan telah sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Beliau pernah shalat malam sebanyak sebelas rakaat, terkadang shalat tiga belas rakaat, terkadang kurang dari itu, baik di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Dan saat Beliau ditanya tentang shalat malam, maka Beliau bersabda,
مَثْنَى مَثْنَى، فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى
“Dua rakaat-dua rakaat. Jika salah seorang di antara kamu khawatir tiba waktu Subuh, maka ia shalat satu rakaat, sebagai witir shalatnya itu.” [HR. Bukhari dan Muslim]
Beliau tidak menentukan jumlah tertentu, baik di bulan Ramadhan maupun di bulan lainnya. Oleh karena itu, para sahabat di zaman Umar terkadang shalat dua puluh tiga rakaat, dan terkadang sebelas rakaat, semuanya berdasarkan riwayat Umar dan para sahabat di zamannya.
Sebagian kaum salaf ada yang melakukan shalat tarawih di bulan Ramadhan sebanyak tiga puluh enam rakaat dan berwitir tiga rakaat, sedangkan yang lain melakukan empat puluh satu rakaat. Hal ini disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan lainnya dari kalangan Ahli Ilmu, sebagaimana beliau juga menyampaikan, bahwa dalam hal tersebut ada keleluasaan. Beliau juga menyebutkan, bahwa yang yang lebih utama bagi yang memanjangkan bacaan (Al Qur’an), ruku, dan sujud untuk mengurangi jumlahnya, sedangkan bagi orang yang meringankan bacaan (Al Qur’an), ruku, dan sujud untuk menambah jumlahnya, demikianlah penjelasan Beliau rahimahullah.
Bagi orang yang memperhatikan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia akan tahu, bahwa yang utama dalam masalah ini adalah melakukan sebanyak sebelas rakaat atau tiga belas rakaat baik di bulan Ramadhan atau selainnya, karena hal itu sejalan dengan praktek Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada sebagian besar keadaannya, di samping hal itu lebih meringankan orang-orang yang ikut shalat, lebih dekat kepada kekhusyuan dan thuma’ninah, tetapi bagi yang menambahkan, maka tidak mengapa dan tidak makruh sebagaimana telah diterangkan.
7. Bagi semua kaum muslimin disyariatkan sungguh-sungguh melakukan berbagai ibadah pada bulan yang mulia ini, seperti shalat sunah, membaca Al Qur’an dengan mentadabburi dan merenungi maknanya, memperbanyak tasbih (ucapan Subhanallah), tahlil (ucapan Laailaahaillallah), tahmid (ucapan Alhamdulillah), takbir (ucapan Allahu akbar), istigfar, berdoa dengan doa-doa yang disyariatkan, beramar ma’ruf dan bernahi munkar, berdakwah kepada Allah, berbagi kepada kaum fakir-miskin, berbakti kepada kedua orang tua, menyambung tali silaturrahim, memuliakan tetangga, menjenguk orang sakit, dan melakukan perbuatan baik lainnya. Hal ini berdasarkan riwayat sebelumnya, yaitu, Allah memperhatikan sikap berlomba-lomba kalian dalam kebaikan, lalu Dia berbangga dengan kalian di hadapan malaikat-Nya, maka perlihatkanlah kepada Allah kebaikan kalian, karena sesungguhnya orang yang sengsara adalah orang yang terhalangi dari rahmat Allah di bulan itu.” [Hadits ini dinyatakan maudhu (palsu) oleh Syaikh Al Albani dalam Dha’if At Targhib wat Tarhib no. 592].
Dan berdasarkan riwayat yang menyebutkan, “Barang siapa yang mendekatkan diri pada bulan itu dengan salah satu perbuatan baik, maka seperti mengerjakan kewajiban pada bulan lainnya, dan barang siapa yang mengerjakan kewajiban pada bulan itu, maka seperti mengerjakan tujuh puluh kewajiban pada bulan lainnya.” [Hadits ini didhaifkan dan dinyatakan munkar oleh Syaikh Al Albani dalam Dha’if At Targhib no. 589 dan Silsilah Adh Dha’ifah no. 871].
Demikian juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
عُمْرَةً فِي رَمَضَانَ تَقْضِي حَجَّةً أَوْ حَجَّةً مَعِي
“Berumrah pada bulan Ramadhan seperti menunaikan ibadah haji atau berhaji bersamaku.” [HR. Bukhari]
Hadits-hadits dan atsar yang menunjukkan disyariatkan bersegera dan berlomba-lomba dalam kebaikan di bulan yang mulia ini  begitu banyak.
Kepada Allah kami meminta agar memberikan taufik kepada kami dan seluruh kaum muslimin untuk melakukan perbuatan yang mendatangkan keridhaan-Nya, menerima puasa dan qiyamullail kita, memperbaiki keadaan kita, dan menjauhkan kita dari godaan-godaan yang menyesatkan, sebagaimana kita juga meminta-Nya agar Dia memperbaiki para pemimpin kaum muslimin, menyatukan mereka di atas kebenaran, sesungguhnya Dia yang berkuasa melakukan semua itu. Wassalamu alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.
Penerjemah dan pemberi keterangan takhrij hadits dengan tanda kurung siku  “ [ ] “oleh Marwan bin Musa
 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger