Fawaid Riyadhush Shalihin (29)

Jumat, 30 September 2016
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫كل معروف صدقة‬‎
Fawaid Riyadhush Shalihin (29)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut Fawaid (Kandungan Hadits) Riyadhush Shalihin yang banyak kami rujuk dari kitab Bahjatun Nazhirin karya Syaikh Salim bin Ied Al Hilaliy,  Syarh Riyadhush Shalihin karya Syaikh Faishal bin Abdul Aziz An Najdiy, dan lainnya. Hadits-hadits di dalamnya merujuk kepada kitab Riyadhush Shalihin, akan tetapi kami mengambil matannya dari kitab-kitab hadits induk. Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ «أَنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ تَابَعَ الْوَحْيَ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْلَ وَفَاتِهِ، حَتَّى تُوُفِّيَ، وَأَكْثَرُ مَا كَانَ الْوَحْيُ يَوْمَ تُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ»
(115) Dari Anas bin Malik ia berkata, “Allah Azza wa Jalla menurunkan wahyu kepada Rasulullah berturut-turut sebelum Beliau wafat hingga wafat, dan wahyu yang paling banyak diturunkan adalah pada hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan wafat.” (HR. Muslim)
Fawaid:
1. Turunnya wahyu secara berturut-turut di akhir-akhir kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Allah meninggikan derajat seorang hamba karena banyak membaca kitab-Nya.
3. Banyaknya wahyu yang turun di akhir-akhir kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai tanda telah dekatnya ajal Beliau shallallahu alaihi wa sallam, dan untuk menyempurnakan syariat Islam.
عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ: «يُبْعَثُ كُلُّ عَبْدٍ عَلَى مَا مَاتَ عَلَيْهِ»
(116) Dari Jabir radhiyalahu ‘anhu ia berkata, “Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap hamba dibangkitkan sesuai keadaannya ketika meninggal dunia.” (HR. Muslim)
Fawaid:
1. Dorongan bagi manusia untuk memperbaiki amal, senantiasa mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mengikhlaskan amal agar seseorang meninggal dunia di atas keadaan yang terpuji ini, wabillahit taufiq.
2. Dorongan menambahkan ketaatan kepada Allah di akhir hayat.
Bab: Tentang Banyaknya Jalan-Jalan Kebaikan
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللهَ بِهِ عَلِيمٌ
“Dan perbuatan baik apa saja yang kalian lakukan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Al Baqarah: 215)
Oleh karena itu, Dia akan memberinya balasan.
Dia juga berfirman,
وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللهُ
“Dan perbuatan baik apa saja yang engkau lakukan, maka Allah mengetahuinya.” (QS. 197)
Oleh karena itu, Dia tidak akan menyia-nyiakannya.
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْراً يَرَه
“Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, maka dia akan melihatnya.” (QS. Az Zalzalah: 7)
Maksudnya melihat balasannya di akhirat.
Sa’id bin Jubair berkata, “Sebelumnya kaum muslimin merasa, bahwa mereka tidak diberi pahala terhadap sesuatu yang sedikit yang mereka infakkan, sedangkan yang lain merasa, bahwa mereka tidak akan dicela karena dosa yang ringan, seperti sebuah perkara dusta, memandang yang diharamkan, ghibah, dan sebagainya, maka turunlah ayat, “Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, maka dia akan melihatnya. Dan barang siapa yang menerjakan keburukan seberat dzarrah pun, maka dia akan melihatnya.” (QS. Az Zalzalah: 7-8)
Allah Ta’ala juga berfirman,
مَنْ عَمِلَ صَالِحاً فَلِنَفْسِهِ
“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, maka itu adalah untuk dirinya sendiri.” (QS. Al Jatsiyah: 15)
Ayat-ayat berkaitan dengan ini sangat banyak, misalnya firman Allah Ta’ala,
مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An Nahl: 97)
Adapun dalam hadits, maka banyak sekali sulit dibatasi. berikut ini sebagian di antaranya:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَيُّ الْأَعْمَالِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: «الْإِيمَانُ بِاللهِ وَالْجِهَادُ فِي سَبِيلِهِ» قَالَ: قُلْتُ: أَيُّ الرِّقَابِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: «أَنْفَسُهَا عِنْدَ أَهْلِهَا وَأَكْثَرُهَا ثَمَنًا» قَالَ: قُلْتُ: فَإِنْ لَمْ أَفْعَلْ؟ قَالَ: «تُعِينُ صَانِعًا أَوْ تَصْنَعُ لِأَخْرَقَ» قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَرَأَيْتَ إِنْ ضَعُفْتُ عَنْ بَعْضِ الْعَمَلِ؟ قَالَ: «تَكُفُّ شَرَّكَ عَنِ النَّاسِ فَإِنَّهَا صَدَقَةٌ مِنْكَ عَلَى نَفْسِكَ»
(117) Dari Abu Dzar ia berkata, “Aku pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, amal apa yang paling utama?” Beliau menjawab, “Beriman kepada Allah dan berjihad di jalan-Nya.” Aku bertanya kembali, “Budak mana yang lebih utama dimerdekakan?” Beliau menjawab, “Lebih berhak di sisi pemiliknya dan lebih mahal harganya.“ Aku bertanya, “Jika aku tidak mampu melakukannya (apa yang perlu aku lakukan)?” Beliau menjawab, “Engkau menolong pekerja atau mengerjakan sesuatu (yang bermanfaat) untuk orang yang tidak pandai bekerja.” Aku bertanya pula, “Wahai Rasulullah, bagaimana menurutmu jika aku tidak mampu melakukan sebagian pekerjaan?” Beliau menjawab, “Tahanlah keburukan dirimu dari menimpa orang lain. Yang demikian adalah sedekah darimu untuk dirimu.” (HR. Muslim)
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Shani’ (lihat lafaz haditsnya) dengan huruf shad tanpa titik, iniah yang masyur. Diriwayatkan pula dengan lafaz “dha’i” ada titik, sebagai ganti lafaz shani’, sehingga artinya ‘Engkau menolong orang yang kehilangan,’ baik karena miskin atau kehilangan keluarga, dsb. Adapun akhraq artinya orang yang tidak pandai dalam pekerjaannya.”
Fawaid:
1. Banyaknya jalan-jalan kebaikan
2. Seseorang ketika tidak sanggup melakukan amalan tertentu, bisa melakukan amalan yang lain.
3. Jika tidak mampu melakukan beberapa amalan, ia bisa menahan diri dari mengganggu orang lain.
4. Jika tidak dapat mengejar semuanya, maka jangan tinggalkan sebagian besarnya atau sebagiannya.
5. Dorongan berjihad fi sabilillah.
6. Dorongan membantu orang yang butuh bantuan.
7. Memberikan pengajaran yang baik kepada orang lain.
8. Menahan gangguan diri sendiri merupakan sedekah.
9. Anjuran agar seorang guru bersabar terhadap muridnya.
10. Upaya Islam untuk memerdekakan budak.
11. Kemudahan ajaran Islam.
عَنْ أَبِي ذَرٍّ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنَّهُ قَالَ: «يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ، فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ، وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ، وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ، وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى»
(118) Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda, “Pada pagi hari setiap persendian salah seorang di antara kamu perlu bersedekah. Setiap tasbih (ucapan Subhaanallah) adalah sedekah, setiap tahmid (ucapan Alhamdulillah) adalah sedekah, setiap tahlil (ucapan Laailaahaillallah) adalah sedekah, setiap takbir (ucapan Allahu akbar) adalah sedekah, amar ma’ruf adalah sedekah, dan nahi munkar juga sedekah, namun hal itu dicukupkan oleh dua rakaat yang ia lakukan pada waktu Dhuha.” (HR. Muslim)
Fawaid:
1. Keutamaan tasbih dan semua dzikr lainnya, serta keutamaan amar ma’ruf dan nahi munkar.
2. Sedekah tidak selalu berupa harta.
3. Luasnya makna sedekah.
4. Keutamaan shalat Dhuha.
5. Dorongan untuk melakukan amal saleh yang bisa dilakukan.
6. Banyaknya jalan-jalan kebaikan.
7. Luasnya karunia Allah Ta’ala.
عَنْ أَبِي ذَرٍّ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «عُرِضَتْ عَلَيَّ أَعْمَالُ أُمَّتِي حَسَنُهَا وَسَيِّئُهَا، فَوَجَدْتُ فِي مَحَاسِنِ أَعْمَالِهَا الْأَذَى يُمَاطُ عَنِ الطَّرِيقِ، وَوَجَدْتُ فِي مَسَاوِي أَعْمَالِهَا النُّخَاعَةَ تَكُونُ فِي الْمَسْجِدِ، لَا تُدْفَنُ»
(119) Dari Abu Dzar, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda, “Ditampakkan kepadaku amal-amal umatku, yang baik dan yang buruk, lalu kutemukan di antara amalnya yang baik adalah menyingkirkan sesuatu yang mengganggu dari jalan, dan kutemukan di antara amalannya yang buruk adalah berdahak di masjid yang tidak ditanam.” (HR. Muslim)
Fawaid:
1. Keutamaan semua yang bermanfaat bagi manusia.
2. Keutamaan menyingkirkan sesuatu yang mengganggu dari jalan.
3. Amalan yang baik maupun buruk meskipun kecil dicatat dan diberi balasan.
4. Tidak meremehkan amal saleh meskipun kecil.
5. Dorongan mengerjakan perbuatan yang bermanfaat bagi manusia dan menjauhi hal yang membahayakan mereka.
6. Sepatutnya memuliakan masjid, membersihkannya, dan beradab di dalamnya.
7. Dorongan menyingkirkan hal yang mengganggu dari jalan, seperti duri, kotoran, dsb.
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa alaa aalihi wa shahbihi wa sallam
Marwan bin Musa
Maraji': Tathriz Riyadh Ash Shalihin (Syaikh Faishal bin Abdul Aziz An Najdiy), Syarh Riyadh Ash Shalihin (Muhammad bin Shalih Al Utsaimin),  Bahjatun Nazhirin (Salim bin ’Ied Al Hilaliy), Al Maktabatusy Syamilah versi 3.45, dll.

Hakikat Silaturrahmi

Senin, 26 September 2016
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫وصلوا الأرحام‬‎
Hakikat Silaturrahmi
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan tentang silaturrahmi, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Ta’rif (definisi) silaturrahmi
Silaturrahmi atau silaturrahim artinya berbuat baik kepada kerabat, memberikan kebaikan kepada mereka, dan menghindarkan keburukan semampunya yang menimpa mereka.
Kerabat di sini menurut sebagian ulama adalah para mahram, dimana jika yang satu laki-laki dan yang lain perempuan, maka tidak boleh saling menikah, sehingga mereka itu adalah ibu-bapak, kakek-nenek, dan seterusnya ke atas, anak-anak dan seterusnya ke bawah, saudara berikut anak-anaknya, saudari berikut anak-anaknya, paman dan bibi baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu. Berdasarkan pendapat ini, maka tidak termasuk ke dalamnya anak paman dan bibi.
Menurut yang lain, bahwa maksud ‘kerabat’ di sini adalah mereka yang saling waris-mewarisi. Berdasarkan pendapat ini, maka tidak termasuk ke dalamnya paman dan bibi dari pihak ibu.
Ada pula yang berpendapat, bahwa kerabat yang dimaksud adalah semua kerabat yang senasab dari pihak ayah maupun ibu –bukan sepersusuan-, baik mereka mewarisi maupun tidak; sehingga termasuk anak-anak paman dan bibi baik dari pihak ayah maupun ibu. Adapun kerabat suami, maka bukan menjadi kerabat istri, dan kerabat istri bukanlah kerabat bagi suami. Ini adalah pendapat Syaikh Ibnu Baz (Fatawa Islamiyyah 4/195).
Meskipun kerabat suami bukan sebagai kerabat istri, demikian juga sebaliknya, tetapi sepatutnya kita berbuat ihsan terhadapnya, karena hal ini termasuk pergaulan yang baik antara suami dan istri, demikian yang diterangkan Syaikh. M. Bin Shalih Al Munajjid (Lihat https://islamqa.info/ar/75057 )
Pendapat ketiga ini mencakup pendapat pertama dan kedua.
Hukum silaturrahmi
Tidak ada khilaf di antara ulama, bahwa silaturrahmi hukumnya wajib, dan memutuskannya adalah dosa besar. Imam Al Qurthhubi dan Al Qadhiy Iyadh telah menukilkan kesepakatan ulama terhadapnya.
Perintah menyambung tali silaturrahmi dan keutamaannya
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
 وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئاً وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالاً فَخُوراً
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, Ibnu sabil, dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,” (QS. An Nuur: 36)
Dan ayat-ayat lainnya, seperti di surat Al Baqarah: 83, 177, 215, An Nisaa’: 1, Al Anfal 74-75, Ar Ra’d: 25, An Nahl: 90, Al Israa’: 26, Ar Ruum: 30, dan Muhammad: 23.
Sedangkan dalam hadits, misalnya hadits Abu Ayyub Al Anshari radhiyallahu ‘anhu, bahwa ada seorang yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Beritahukanlah kepadaku amalan yang dapat memasukkanku ke surga?” Lalu di antara yang hadir berkata, “Ada apa dengannya? Ada apa dengannya?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Biarkanlah urusan orang ini.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تَعْبُدُ اللَّهَ وَلاَ تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا، وَتُقِيمُ الصَّلاَةَ، وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ، وَتَصِلُ الرَّحِمَ
“Engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan menyambung tali silaturrahim.” (HR. Bukhari)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«الرَّحِمُ مُعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ تَقُولُ مَنْ وَصَلَنِي وَصَلَهُ اللهُ، وَمَنْ قَطَعَنِي قَطَعَهُ اللهُ»
“Rahim itu bergantungan di Arsy sambil berkata, “Barang siapa yang menyambungku, maka Allah akan menyambungnya, dan barang siapa yang memutuskanku, maka Allah akan memutuskannya.” (HR. Bukhari dan Muslim, dan ini adalah lafaznya dari Aisyah radhiyallahu anha)
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ، وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barang siapa yang ingin dilapangkan rezekinya, dan dipanjangkan umurnya[i], maka sambunglah tali silaturrahmi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka muliakanlah tamunya. Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka sambunglah tali silaturrahmi, dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka ucapkanlah perkataan yang baik atau diam.” (HR. Bukhari, ini lafaznya, dan Muslim)
يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أَفْشُوا السَّلَامَ، وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ، وَصِلُوا الْأَرْحَامَ وَصَلُّوا وَالنَّاسُ نِيَامٌ تَدْخُلُوا الجَنَّةَ بِسَلَامٍ
“Wahai manusia, sebarkanlah salam, berilah makan orang lain, sambunglah tali silaturrahmi, dan shalatlah ketika manusia sedang tidur, maka kalian akan masuk surga dengan sejahtera.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, lafaz ini adalah lafaznya, dan Ahmad, dishahihkan oleh Al Albani dalam Ash Shahihah no. 456)
Ancaman memutuskan tali silaturrahmi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«لاَ يَدْخُلُ الجَنَّةَ قَاطِعٌ»
“Tidak masuk surga orang yang memutuskan tali silaturrahmi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Praktek Silaturrahmi
Syaikh Ibnu Utsaimin menerangkan, bahwa praktek silaturrahim ini sesuai uruf (adat) yang berlaku, karena tidak diterangkan dalam Al Qur’an dan As Sunnah macamnya, jenisnya, dan ukurannya. Dan karena Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam tidak membatasi dengan sesuatu, bahkan memutlakkannya. Oleh karena itu, kembalinya ke uruf. Maka, apa saja yang dianggap uruf sebagai bentuk silaturrahmi, maka itu silaturrahmi, dan yang dianggap uruf sebagai memutuskan tali silaturrahmi, maka dianggap memutuskan (Sebagaimana disebutkan dalam Syarh Riyadhush Shalihin).
Di antara para kerabat yang kita diperintahkan menyambung tali silaturrahmi itu, ada yang bisa dihubungi setiap hari, ada yang sepekan sekali, ada yang sebulan sekali, atau pada kesempatan tertentu.
Praktek silaturrahmi juga disesuaikan dengan kondisi, yang lebih dekat nasabnya seperti ayah-ibu dan saudara tentu lebih didahulukan, dan yang lebih dekat tempat tinggalnya tentu berbeda dengan yang tempat tinggalnya jauh.
Menyambung tali silaturrahmi juga disesuaikan dengan kebutuhan kerabat kita dan kemampuan kita. Jika kerabat kita membutuhkan sesuatu dan kita mampu memberinya, maka menyambungnya adalah dengan memenuhi kebutuhannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الصَّدَقَةُ عَلَى المِسْكِينِ صَدَقَةٌ، وَهِيَ عَلَى ذِي الرَّحِمِ ثِنْتَانِ: صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ
“Sedekah kepada orang miskin adalah satu sedekah, dan kepada kerabat ada dua; yaitu sedekah dan silaturrahmi.” (HR. Nasa’i dan Tirmidzi, dinyatakan hasan shahih oleh Al Albani)
Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلْ مَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
“Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah, "Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." Dan apa saja kebaikan yang kamu lakukan, maka sesungguhnya Allah Maha mengetahuinya.” (QS. Al Baqarah: 215)
Menyambung tali silaturrahmi juga bisa dengan memberinya harta, mengunjungi mereka, memperhatikan kondisi duniawi (ekonomi) maupun ukhrawi (agama), menanyakan kabar, menjenguknya jika sakit, mengiringi jenazah, memenuhi undangan, mendoakan, berkomunikasi baik lewat hp atau surat, mengadakan acara kumpul keluarga, dan lebih baik lagi jika diawali dengan taushiyah, melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar dengan lemah lembut, mendamaikan yang bertengkar, dsb.
Sikap manusia terhadap silaturrahmi
Manusia dalam mempraktekkan silaturrahmi ada tiga tingkatan; (1) washil (yang menyambung), (2) mukaafi’ (yang hanya membalas), dan (3) qaathi’ (yang memutuskan). Washil adalah orang yang melakukan lebih; dalam arti tetap menyambung silaturrahim, meskipun tidak dibalas atau bahkan diputuskan. Mukaafi’ adalah orang yang tidak menambah pemberiannya dari yang dia terima, dan mau menyambung ketika disambung. Sedangkan qaathi’ adalah yang disambung, namun tidak mau menyambung. Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِىءِ وَلَكِنِ الْوَاصِلُ الَّذِيْ إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا
“Orang yang menyambung tali silaturrahim, bukanlah yang hanya membalas. Akan tetapi, orang yang menyambung adalah orang yang ketika diputuskan hubungannya, ia menyambungnya.” (HR. Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Albani)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa ada seorang yang berkata, “Wahai Rasulullah, saya punya kerabat; saya menyambung tali silaturrahim dengan mereka, namun mereka memutuskannya, saya berbuat baik kepada mereka, namun mereka berbuat buruk kepadaku. Saya bersikap santun kepada mereka, namun mereka berkata kasar kepadaku,” Beliau menjawab,
لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ، فَكَأَنَّمَا تُسِفُّهُمُ الْمَلَّ وَلَا يَزَالُ مَعَكَ مِنَ اللهِ ظَهِيرٌ عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ
“Jika keadaannya seperti yang engkau sampaikan, maka seakan-akan engkau menyuapkan kepada mereka abu panas, dan engkau akan senantiasa mendapatkan pertolongan Allah selama engkau seperti itu.” (HR. Muslim)
Contoh-contoh tidak menyambung tali silaturrahmi
1. Tidak mau bersedekah dan memberikan bantuan kepada kerabatnya.
2. Tidak menyempatkan berkunjung kepada kerabat.
3. Tidak mau hadir dalam acara keluarga.
4. Tidak mau menyambung tali silaturrahim, kecuali jika yang lain mau menyambung lebih dulu.
5. Tidak mau mengajak mereka kepada hidayah, serta tidak mau melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar.
6. Membagi kerabat ke dalam beberapa kelompok dan menjadikan mereka bercerai-berai.
7. Menyakiti kerabat baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan.
Marwan bin Musa
Maraji’: Silaturrahim (Abdurrahman bin Ayid Al ‘Ayid), https://islamqa.info/ar/75057 , Maktabah Syamilah versi 3.45, Mausu’ah Ruwathil Hadits & Mausu’ah Haditsiyyah Mushaghgharah (Markaz Nurul Islam Li Abhatsil Qur’ani was Sunnah), Hidayatul Insan bitafsiril Qur’an (Penulis), dll.


[i] Dipanjangkan umur di sini bisa ditambahkan usianya atau diberkahi usianya, demikian pula rezeki (bisa ditambahkan rezeki atau diberikan keberkahan).
Jika seorang berkata, “Bukankah ajal itu sudah ditentukan, demikian pula rezeki sudah dicatat? Maka bagaimana bisa ditambahkan?”
Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, bahwa ajal maupun rezeki ada dua macam; ajal mutlak yang hanya diketahui Allah, dan ajal muqayyad (terbatas). Demikian pula ada rezeki yang mutlak, ada pula rezeki yang muqayyad. Yang mutlak adalah yang diketahui Allah, bahwa Dia menangguhkannya sampai waktu tertentu, atau yang diketahui Allah, bahwa Dia akan memberinya rezeki sekian, maka hal ini tidak berubah. Adapun yang muqayyad adalah yang Allah tulis dan beritahukan kepada para malaikat, maka hal ini dapat bertambah dan dapat berkurang sesuai sebab (Majmu Fatawa 8/517, 540)
Menurut Syaikh M. Bin Shalih Al Munajjid, bahwa pencatatan takdir ada dua macam; ada yang tidak dapat berubah, yaitu yang berada di Lauh Mahfuzh (lihat QS. Ar Ra’d: 39), dan ada pula yang dapat berubah, yaitu yang dicatat para malaikat (Lihat https://islamqa.info/ar/43021 ).

Sujud Tilawah (3)

Sabtu, 24 September 2016
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫سجود التلاوة‬‎
Sujud Tilawah (3)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang sujud tilawah, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Sujud tilawah dalam waktu-waktu terlarang
Diperbolehkan melakukan sujud tilawah dalam waktu-waktu terlarang shalat tanpa makruh sama sekali menurut pendapat yang lebih kuat di antara pendapat-pendapat ulama, karena sujud tilawah bukan merupakan shalat, sedangkan hadits-hadits yang melarang melakukan shalat pada waktu-waktu tertentu tertuju kepada ibadah shalat. Inilah pendapat Imam Syafi’i, salah satu riwayat dari Ahmad, dan dipegang oleh Ibnu Hazm.
Terdengar beberapa kali ayat sujud
Apabila seorang membaca ayat sajdah dan mengulanginya, atau mendengarnya lebih dari sekali di satu masjid, maka ia sujud sekali saja dengan syarat ia menunda sujudnya pada bacaan ayat sajdah terakhir. Jika ia sujud setelah ayat sajdah pertama, maka ada yang berpendapat cukup sujud itu baginya (tanpa perlu melakukannya lagi)[i]. Ada pula yang berpendapat, ia perlu sujud lagi karena ada sebab yang baru[ii].
Jika ayat sajdah di akhir surat, maka apa yang dilakukannya?
Jika seseorang membaca ayat sajdah  dalam shalat, sedangkan ayat sajdah itu berada di akhir surat, maka ia diberikan pilihan melakukan salah satu di antara tiga hal ini:
Pertama, melakukan sujud, lalu berdiri, kemudian menyambung lagi dengan surat yang lain, kemudian ruku.
Hal ini sebagaimana yang dilakukan Umar radhiyallahu anhu, dimana Beliau pernah membaca surat Yusuf dalam shalat Subuh, lalu ruku, kemudian pada rakaat kedua, ia membaca surat An Najm, lalu sujud (tilawah), kemudian melanjutkan dengan membaca surat idzas samaa’un syaqqat (QS. Al Insyiqaq) (Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dan Thahawi, dan dinyatakan isnadnya shahih oleh penyusun Shahih Fiqhis Sunnah). Inilah yang lebih utama.
Kedua, langsung ruku tanpa bersujud.
Dari Nafi, bahwa Ibnu Umar ketika membaca surat An Najm, melakukan sujud di sana ketika shalat. Jika ia tidak sujud, maka ia melakukan ruku. ((Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq, dan dinyatakan isnadnya shahih oleh penyusun Shahih Fiqhis Sunnah)
Ibnu Mas’ud pernah ditanya tentang surat yang terdapat ayat sajdah di akhirnya, “Apakah ia ruku atau sujud?” Ia menjawab, “Jika antara dirimu dengan ayat sajdah hanya ada ruku, maka itu mendekati.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, dan dinyatakan isnadnya shahih oleh penyusun Shahih Fiqhis Sunnah)
Syaikh Abu Malik berkata, “Hal ini jika ia sendiri atau sebagai imam dan ia mengetahui, bahwa sikapnya itu tidak membingungkan makmum. Tetapi jika membingungkan makmum, yakni membuat sebagian mereka sujud, sedangkan yang lain ruku, maka tidak patut dilakukan, wallahu a’lam.” (Shahih Fiqhis Sunah hal. 454)
Ketiga, melakukan sujud, lalu bertakbir dan berdiri, kemudian ruku tanpa menambah bacaan.
Ketika membaca ayat sajdah di atas mimbar
Ketika membaca ayat sajdah di atas mimbar, maka ia boleh turun untuk sujud, dan ikut sujud pula orang-orang yang ada bersamanya. Kalau pun tidak bersujud, maka tidak mengapa berdasarkan praktek Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia pernah membaca surat An Nahl pada hari Jum’at, sehingga ketika sampai ayat sajdah, maka ia pun sujud, kemudian orang-orang ikut sujud bersamanya, namun pada hari Jum’at berikutnya, ia membaca ayat sajdah dan ketika sampai ayat tersebut, ia berkata, “Wahai manusia, sesungguhnya kita diperintahkan bersujud. Barang siapa yang bersujud, maka telah benar sikapnya, dan barang siapa yang tidak bersujud, maka tidak ada dosa baginya. Ketika itu Umar tidak bersujud.” (Diriwayatkan oleh Bukhari)
Kalau pun seseorang mungkin sujud di atas mimbar, maka ia bisa sujud di atasnya, dan manusia ikut sujud bersamanya, tetapi jika khatib tidak sujud, maka tidak disyariatkan bagi makmum untuk sujud.
Mengqadha sujud tilawah
Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat, bahwa dianjurkan melakukan sujud setelah membaca atau mendengar ayat sajdah. Jika ia menunda sujudnya, maka tidak gugur anjuran itu selama tidak terlalu lama jedanya. Tetapi jika jedanya terlalu lama, maka gugurlah anjuran itu dan tidak perlu mengqadha.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid Sabiq), Tamamul Minnah (Syaikh M. Nashiruddin Al Albani), Al Fiqhul Muyassar (Tim Ahli Fiqh, KSA), Maktabah Syamilah versi 3.45, Mausu’ah Haditsiyyah Mushaghgharah (Markaz Nurul Islam Li Abhatsil Qur’an was Sunnah), dll.


[i] Ini adalah pendapat ulama madzhab Hanafi.
[ii] Ini adalah Imam Ahmad, Malik, dan Syafi’i.
 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger