Takhrij Hadits Shalat Tasbih (2)

Minggu, 31 Juli 2016
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫صلاة التسبيح‬‎
Takhrij Hadits Shalat Tasbih (2)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan takhrij hadits shalat Tasbih yang kami ambil secara ringkas dari tulisan Syaikh Muhammad bin Abdurrahman Al Umair dalam Majalah Ilmiah Univ. Al Malik Faishal (Jilid 2, edisi ke-1, Dzulhijjah 1421 H/Maret 2001 M), semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
(2) Jalur Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma
Abu Dawud rahimahullah berkata,
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سُفْيَانَ الْأُبُلِّيُّ، حَدَّثَنَا حَبَّانُ بْنُ هِلَالٍ أَبُو حَبِيبٍ، حَدَّثَنَا مَهْدِيُّ بْنُ مَيْمُونٍ، حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي الْجَوْزَاءِ، قَالَ: حَدَّثَنِي رَجُلٌ كَانَتْ لَهُ صُحْبَةٌ يَرَوْنَ أَنَّهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرٍو، قَالَ: قَالَ لِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «ائْتِنِي غَدًا أَحْبُوكَ، وَأُثِيبُكَ، وَأُعْطِيكَ» حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ يُعْطِينِي عَطِيَّةً، قَالَ: «إِذَا زَالَ النَّهَارُ، فَقُمْ فَصَلِّ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ» ، فَذَكَرَ نَحْوَهُ، قَالَ: «ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ يَعْنِي مِنَ السَّجْدَةِ الثَّانِيَةِ، فَاسْتَوِ جَالِسًا، وَلَا تَقُمْ حَتَّى تُسَبِّحَ عَشْرًا، وَتَحْمَدَ عَشْرًا، وَتُكَبِّرَ عَشْرًا، وَتُهَلِّلَ عَشْرًا، ثُمَّ تَصْنَعَ ذَلِكَ فِي الْأَرْبَعِ الرَّكَعَاتِ» ، قَالَ: «فَإِنَّكَ لَوْ كُنْتَ أَعْظَمَ أَهْلِ الْأَرْضِ ذَنْبًا غُفِرَ لَكَ بِذَلِكَ» ، قُلْتُ: فَإِنْ لَمْ أَسْتَطِعْ أَنْ أُصَلِّيَهَا تِلْكَ السَّاعَةَ؟ قَالَ «صَلِّهَا مِنَ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ» ، قَالَ أَبُو دَاوُدَ: «حَبَّانُ بْنُ هِلَالٍ خَالُ هِلَالٍ الرَّأْيِ» ، قَالَ أَبُو دَاوُدَ: رَوَاهُ الْمُسْتَمِرُّ بْنُ الرَّيَّانِ، عَنْ أَبِي الْجَوْزَاءِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو مَوْقُوفًا، وَرَوَاهُ رَوْحُ بْنُ الْمُسَيَّبِ، وَجَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ عَمْرِو بْنِ مَالِكٍ النُّكْرِيِّ، عَنْ أَبِي الْجَوْزَاءِ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَوْلُهُ، وَقَالَ فِي حَدِيثِ رَوْحٍ، فَقَالَ حَدِيثُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Sufyan Al Ubulliy, telah menceritakan kepada kami Habban bin Hilal Abu Habib, telah menceritakan kepada kami Mahdi bin Maimun, telah menceritakan kepada kami Amr bin Malik, dari Abul Jauza, ia berkata, “Telah menceritakan kepadaku seorang yang menjadi sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Menurut mereka, orang itu adalah Abdullah bin Amr ia berkaa, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepadaku, “Besok, datanglah kepadaku, aku akan memberimu, membalasmu, dan memberimu hadiah.” Aku mengira bahwa Beliau akan memberiku suatu pemberian, lalu Beliau bersabda, “Apabila siang (matahari) telah tergelincir, maka berdirilah mengerjakan empat rakaat,” selanjut nya dia menyebutkan hadits seperti di atas. Kemudian Beliau bersabda,  “Kemudian engkau angkat kepalamu – yakni dari sujud kedua-, dan tetaplah duduk tidak bangun sampai engkau bertasbih sepuluh kali, bertahmid sepuluh kali, bertakbir sepuluh kali, dan bertahlil (mengucapkan “Laailaahaillallah) sepuluh kali. Kamu lakukan seperti itu pada keempat rakaat itu.” Beliau juga bersabda, “Jika engkau sebagai orang yang paling besar dosanya di muka bumi, maka akan diampuni karena perbuatan itu.” Aku bertanya, “Bagaimana jika aku tidak dapat mengerjakannya pada waktu itu?” Beliau bersabda, “Lakukanlah baik di malam atau siang hari.”
Abu Dawud berkata, “Habban bin Hilal adalah khal (paman dari pihak ibu) Hilal Ar Ra’yi.”
Abu Dawud berkata, “Diriwayatkan pula oleh Al Mustamir bin Ar Rayyan, dari Abul Jauza, dari Abdullah bin Amr secara mauquf. Dan diriwayatkan oleh Rauh bin Musayyab, Ja’far bin Sulaiman dari Amr bin Malik An Nukriy, dari Abul Jauza, dari Ibnu Abbas yang merupakan perkataannya, tetapi dalam hadits Rauh, ia mengatakan, “Hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Takhrij hadits
Demikianlah disebutkan secara marfu (sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) dalam kitab Sunan. Hadits di atas merupakan salah satu riwayat dari Abu Dawud dalam hadits Amr bin Malik An Nukriy, dari Abul Jauza, dan diperselisihkan padanya, karena sesekali diriwayatkan secara marfu, dan sesekali diriwayatkan secara mauquf.
Al Mizziy berkata, “Hadits ini dalam riwayat Ibnul Abdi dan Al Lu’luiy secara muquf, sedangkan dalam riwayat Ibnu Dasah, Ibnul A’rabiy, dan lainya secara marfu.” (Tuhfatul Asyraf 6/281)
Al Khathib juga meriwayatkan dalam Juznya yang ia susun mengenai shalat Tasbih (Qaaf/9), dinukil oleh Ibnu Thulun dalam At Tarsyikh/55 dari jalan Al Lu’lu’iy dan Ibnu Dasah secara mauquf. Baihaqi (3/52) juga meriwayatkan dari jalan Ibnu Dasah secara mauquf, sehingga Ibnu Dasah memiliki dua riwayat dari Abu Dawud.
Abu Dawud menyebutkan secara mu’allaq (tanpa sanad awal) Al Mustamir bin Ar Rayyan, dari Abul Jauza, dari Ibnu Umar secara mauquf, namun dimaushulkan (disambung) oleh Al Khathib dalam Juznya tentang shalat Tasbih (Qaaf/8) dengan sanadnya dari Yahya bin As Sakan, lihat At Tarsyih/54. Ali bin Sa’id An Nasa’i juga memaushulkannya dalam pertanyaannya kepada Imam Ahmad bin Hanbal, dari Muslim bin Ibrahim, dimana keduanya dari Al Mustamir dan seterusnya secara mauquf[i]. Al Khallal juga meriwayatkan dari Ali bin Sa’id dst. [ii]
Al Khathib juga meriwayatkan dalam Shalat Tasbih (Qaaf/8) dengan sanad dari Abu Jinab Yahya bin Abi Hayyah Al Kalbiy, dengan sanad dari Ghiyats bin Al Musayyab, dan dengan sanad dari Aban bin Abi Iyyasy. Ketiganya dari Abul Jauza, dari Abdullah bin Amr secara mauquf.
Dari takhrij di atas jelaslah bagi kita, bahwa inti sanad ini ada pada Abul Jauza, dan diperselisihkan padanya tentang meriwayatkan dari dua sahabat; apakah dari Ibnu Abbas atau Ibnu Amr. Demikian pula diperselisihkan tentang marfu dan mauqufnya. Mungkin yang mahfuzh (kuat) dari beberapa sisi tersebut adalah dari Abul Jauza, dari Abdullah bin Amr secara mauquf. Hal ini karena beberapa alasan berikut:
Pertama, lemahnya sanad-sanad dari Abul Jauza, dari Ibnu Abbas, baik yang marfu maupun yang mauquf, dan sudah diterangkan sebelumnya.
Kedua, lemahnya sanad-sanad dari Abul Jauza, dari Abdullah bin Amr secara marfu, dimana telah meriwayatkan darinya empat orang, yaitu: (1) Abu Jinab Al Kalbiy, dimana Ibnu Hajar berkata tentang, “Mereka mendhaifkannya karena sering melakukan tadlis,” (2) Ghiyats bin Musayyab adalah seorang yang majhul[iii], (3) Aban bin Abi Iyyas adalah seorang yang matruk (ditinggalkan), (4) Amr bin Malik An Nukriy dari riwayat Mahdi bin Maimun, dimana sebelumnya telah disebutkan, bahwa ia seorang yang shaduq, namun banyak wahm (keliru).
Demikian pula telah disebutkan sebelumnya khilaf pada Abu Dawud tentang marfunya hadits tersebut atau mauqufnya. Riwayat yang menunjukkan mauqufnya adalah lebih shahih, karena ia adalah riwayat Al Lu’lui yang merupakan riwayat yang paling shahih, dan yang terakhirnya adalah dari Abu Dawud. Al Qadiy Abu Umar Al Hasyimi berkata, “Abu Ali Al Lu’lu’iy telah membaca kitab ini di hadapan Abu Dawud selama dua puluh tahun, ia disebut Warraqnya. Warraq menurut mereka adalah pembacanya. Dialah yang membacakan kepada orang-orang yang mendengar haditsnya.” [iv]
Ia (Al Qadhiy Abu Umar) juga berkata, “Tambahan-tambahan yang ada pada riwayat Ibnu Dasah, dibuang terakhir oleh Abu Dawud karena suatu alasan yang membuatnya ragu-ragu pada isnadnya, sehingga terjadi perbedaan.” [v]
At Tujaibiy berkata tentang riwayat Al Lu’lu’iy, “Itu merupakan riwayat yang paling shahih, dan itulah yang terakhir diimlakan oleh Abu Dawud, dan di atas itulah beliau wafat.” [vi]
Riwayat yang mauqufnya juga menjadi kuat dengan adanya mutaba’ah Al Mustamir bin Ar Rayyan, dimana beliau adalah murid Abul Jauza yang paling tsiqah dalam hadits ini. Ibnu Hajar berkata tentangnya, “Tsiqah dan Ahli Ibadah.” [vii]
Saat riwayat Al Mustamir ini sampai ke telinga Imam Ahmad, maka beliau rujuk dari mendhaifkan hadits shalat Tasbih.
Ali bin Said An Nasa’i berkata, “Aku telah bertanya kepadanya (Imam Ahmad bin Hanbal) tentang shalat Tasbih, ia berkata, “Menurutku tidak ada yang shahih tentangnya.” Aku bertanya, “Bagaimana dengan hadits  Abdullah bin Amr?” Ia menjawab, “Diriwayatkan dari Amr bin Malik.” Kemudian aku (Ali) berkata, “Al Mustamir bin Ar Rayyan meriwayatkannya dari Abul Jauza.” Imam Ahmad berkata, “Siapa yang menyampaikan hal ini kepadamu?” Aku menjawab, “Muslim –yakni bin Ibrahim-,” beliau berkata, “Al Mustamir adalah seorang syaikh yang tsiqah.” Sepertinya beliau heran. [viii]
Kajian sanad-sanad riwayat yang mauquf (sampai) pada Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma
Pertama, jalur Amr bin Malik, diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Muhammad bin Sufyan Al Ubulliy, telah menceritakan kepada kami Habban bin Hilal Abu Habib, telah menceritakan kepada kami Mahdiy bin Maimun, telah menceritakan kepada kami Amr bin Malik, dari Abul Jauza.
Muhammad bin Sufyan Al Ubulliy dipuji oleh Abu Dawud, dan disebutkan oleh Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqah (orang-orang tsiqah), dan ia berkata, “Namun ia gharib (menyendiri).” Ibnu Hajar berkata, “Shaduq,” (sangat jujur). [ix]
Habban bin Hilal Al Bashri adalah seorang yang tsiqah (terpercaya) dan tsabt (kuat). [x]
Mahdiy bin Maimun Al Azdiy adalah seorang yang tsiqah, dimana Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkannya[xi].
Amr An Nukri, sudah disebutkan sebelumnya, bahwa ia seorang yang shaduq, namun banyak wahm (keliru).
Abul Jauza adalah Aus bin Abdullah Ar Raba’i, ia seorang yang tsiqah namun sering memursalkan (memutuskan akhir sanad)[xii], tetapi di sini ia menyatakan dengan tegas, bahwa dirinya mendengar hadits itu, sehingga hilang hal yang dikhawatirkan, yaitu memursalkan.
Dengan demikian, isnad ini terdapat kelemahan karena keadaan Amr An Nukriy, akan tetapi ia tidak menyendiri, bahkan dimutaba’ahkan oleh Al Mustamir, sehingga hadits ini menjadi hasan lighairih.
Kedua, jalur Al Mustamir bin Ar Rayyan, telah dimaushulkan oleh Al Khallal dari Ali bin Sa’id An Nasa’i, dari Muslim bin Ibrahim, Al Mustamir.
Ali bin Sa’id, disebutkan oleh Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat, ia berkata, “Ia seorang yang mutqin (hati-hati), termasuk teman-teman Ahmad.” Nasa’i berkata, “Shaduq,” Ibnu Hajar berkata, “Shaduq, seorang pembawa hadits.” [xiii]
Muslim bin Ibrahim Al Azdiy adalah seorang yang tsiqah, dipercaya, dan banyak meriwayatkan hadits, ia ditsiqahkan oleh Ibnu Ma’in, Abu Hatim, Al ‘Ijilliy, dan lainnya[xiv].
Al Mustamir bin Ar Rayyan adalah seorang yang tsiqah dan Ahli Ibadah sebagaimana telah diterangkan.
Al Mustamir memiliki rawi lain dalam riwayat Al Khathib, yaitu Yahya bin As Sakan, akan tetapi ia seorang yang dhaif, didhaifkan oleh Shalih Jazarah. Syu’bah berkata, “Tidak kuat,” dan Ibnu Hibban menyebutkannya dalam Ats Tsiqat[xv]. Oleh karena itu, mutaba’ah ini tidak dapat menguatkannya, tetapi isnad jalur Al Mustamir di atas adalah hasan lidzatihi.
(3) Jalur seorang Anshar radhiyallahu ‘anhu
Abu Dawud rahimahullah berkata,
حَدَّثَنَا أَبُو تَوْبَةَ الرَّبِيعُ بْنُ نَافِعٍ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُهَاجِرٍ، عَنْ عُرْوَةَ بْنِ رُوَيْمٍ، حَدَّثَنِي الْأَنْصَارِيُّ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِجَعْفَرٍ بِهَذَا الْحَدِيثِ، فَذَكَرَ نَحْوَهُمْ، قَالَ فِي السَّجْدَةِ الثَّانِيَةِ مِنَ الرَّكْعَةِ الْأُولَى، كَمَا قَالَ فِي حَدِيثِ مَهْدِيِّ بْنِ مَيْمُونٍ
Telah menceritakan kepada kami Abu Taubah Ar Rabi bin Nafi, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muhajir, dari Urwah bin Ruwaim, telah menceritakan kepadaku seorang Anshar, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan kepada Ja’far hadits tersebut, dan menyebutkan hal yang serupa, …ia mengucapkan pada sujud kedua rakaat pertama… seperti yang disebutkan dalam hadits Mahdiy bin Maimun.
Hadits di atas juga disebutkan oleh Baihaqi 3/52 dari jalur Abu Dawud.
Kajian isnad
Abu Taubah Ar Rabi bin Nafi Al Halabiy adalah seorang yang singgah di Tharsus, seorang yang tsiqah, hujjah, dan Ahli Ibadah. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkannya[xvi].
Muhammad bin Muhajir Al Anshariy Asy Syamiy adalah seorang yang tsiqah. Imam Bukhari meriwayatkan dalam Al Adabul Mufrad, dan Imam Muslim dalam Shahihnya[xvii].
Urwah bin Ruwaim Al Lukhami Al Urduniy adalah seorang yang shaduq dan sering memursalkan. Ia ditsiqahkan oleh Ibnu Ma’in, Duhaim, dan Nasa’i. Ibnu Hibban menyebutkannya dalam Ats Tsiqat. Daruquthni berkata, “Tidak mengapa,” Abu Hatim berkata, “Haditsnya dicatat.” Ibrahim Al Mushaishiy berkata, “Hadits-haditsnya pada umumnya mursal,” tetapi Ibnu Hajar bersikap tengah-tengah dengan berkata, “Shaduq, namun sering memursalkan.” [xviii]
Al Mizziy berkata, “Ada yang mengatakan, bahwa seorang Anshar dalam hadits tersebut adalah Jabir bin Abdillah. Namun menurut Ibnu Hajar, boleh jadi ia adalah Abu Kabsyah Al Anmariy, sedangkan mim pada kata ‘Al Anmariy’ berubah menjadi menjadi ‘Al Anshariy’[xix]. Meskipun begitu, keduanya adalah sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan majhulnya nama sahabat tidak berpengaruh apa-apa pada hadits.
Dengan penjelasan ini, semakin jelaslah bahwa riwayat ini adalah hasan, dan Ibnu Hajar sendiri menghasankannya dengan berkata, “Sanad hadits ini tidak turun dari derajat hasan.” [xx]
Intinya, bahwa hadits shalat Tasbih berasal dari hadits Ibnu Abbas, dimana ia memarfukannya (sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) dengan sanad yang mengandung kelemahan, namun dapat tertutupi. Disebutkan pula dalam hadits Ibnu Amr dengan sanad hasan secara mauquf –namun memiliki hukum marfu-, karena urusan ibadah tidak ada tempat bagi ra’yu (pendapat) untuk menetapkannya. Dan disebutkan dalam hadits orang Anshar yang marfu dengan sanad hasan. Dari tiga jalan ini; hadits yang pertama naik menjadi hasan karena dua syahid tersebut, dan ketika dikumpulkan hadits-hadits tersebut yang satu dengan yang lain, maka menjadi kuat, sehingga hadits tersebut naik menjadi shahih lighairih karena seluruh jalannya.
Selesai terjemah takhrij Syaikh Muhammad bin Abdurrahman Al Umair jazahullah khaira secara ringkas dengan pertolongan Allah dan taufiq-Nya.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam, walhamdu lillahi Rabbil ‘alamin.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45, Majalah Ilmiah Univ. Al Malik Faishal (Jilid 2, edisi ke-1, Dzulhijjah 1421 H/Maret 2001 M), Mausu’ah Ruwathil Hadits (Markaz Nurul Islam Li Abhatsil Qur’an was Sunnah), Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud (Muhammad Asyraf Al Azhim Abadi), dll.


[i] An Nukat Azh Zhiraf 6/280.
[ii] Ithafus Saadah Al Muttaqin 3/478.
[iii] Al Mizan 3/338.
[iv] At Taqyid lima’rifatir Ruwath was Sunan wal Masanid/33.
[v] Idem.
[vi] Barnaamaj At Tujaibiy/96.
[vii] At Taqrib/527.
[viii] An Nukat Azh Zhiraf 6/280.
[ix] Tahdzibut Tahdzib 9/169 dan At Taqrib/481.
[x] At Taqrib/149.
[xi] At Taqrib/548.
[xii] At Taqrib/116.
[xiii] Tahdzibut Tahdzib 7/286 dan At Taqrib/401.
[xiv] Tahdzibut Tahdzib 10/109 dan At Taqrib/529.
[xv] Tsiqat Ibnu Hibban 9/253 dan Lisanul Mizan 6/259.
[xvi] At Taqrib/207.
[xvii] At Taqrib/509.
[xviii] Tahdzibut Tahdzib 7/162 dan At Taqrib/389.
[xix] Tahdzibul Kamal 20/9 dan Al Futuhat Ar Rabbaniyyah 4/314.
[xx] Al Futuhat Ar Rabbaniyyah 4/314.

Takhrij Hadits Shalat Tasbih (1)

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫صلاة التسبيح‬‎
Takhrij Hadits Shalat Tasbih (1)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan tentang takhrij hadits shalat Tasbih yang kami ambil dari tulisan Syaikh Muhammad bin Abdurrahman Al Umair dalam Majalah Ilmiah Univ. Al Malik Faishal (Jilid 2, edisi ke-1, Dzulhijjah 1421 H/Maret 2001 M), semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Pengantar
Shalat Tasbih diriwayatkan dari banyak jalan[i], ada yang marfu (sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), ada yang mauquf (sampai kepada sahabat), ada yang muttashil (bersambung), dan ada yang mursal (terputus di akhir sanad). Sebagian ulama membicarakan shalat ini berikut riwayat-riwayatnya, bahkan ada yang menyusun secara khusus risalah tentang shalat ini[ii], hanyasaja perkataan para ulama tidak satu kata dalam menghukumi shalat Tasbih ini; ada yang menguatkannya[iii] dan ada yang mendhaifkannya[iv], bahkan ada yang menyatakan maudhu (palsu)[v], dan ada pula yang memiliki dua pendapat terhadap shalat ini[vi].
Di antara sekian jalur periwayatan shalat Tasbih, yang paling kuatnya ada tiga sebagaimana yang diriwayatkan Abu Dawud dalam Sunannya dalam Kitabush Shalah, Bab Shalat Tasbih, yaitu:
a. Jalur Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma
b. Jalur Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma
c. Jalan seorang Anshar radhiyallahu anhu.
Tiga jalur inilah yang akan kita bahas, insya Allah sesuai metode berikut:
1. Menyebutkan hadits baik sanad maupun matan dari Sunan Abu Dawud, dan menjadikannya sebagai dasar dalam takhrij.
2. Mentakhrij hadits sesuai mutaba’ah secara sempurna, namun dibatasi untuk isnad Abu Dawud.
3. Menentukan inti sanad hadits ketika banyak jalannya.
4. Menerangkan sisi khilaf antara riwayat-riwayat yang ada jika ditemukan, lalu menerangkan yang rajihnya.
5. Mengkaji isnad riwayat yang shahih secara ringkas dengan menerangkan nama rawi (periwayat), keadaannya, dan menyebutkan hal yang penting tentangnya berupa jarh wa ta’dil, serta mengarahkan pendapat yang terpilih.
6. Menerangkan sisi kelemahan dalam mutaaba’ah jika ada.
7. Menghukumi hadits berdasarkan kajian sanad sesuai kaedah para Ahli Hadits.
(1) Jalur Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma
Abu Dawud rahimahullah berkata,
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ بِشْرِ بْنِ الْحَكَمِ النَّيْسَابُورِيُّ، حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ، حَدَّثَنَا الْحَكَمُ بْنُ أَبَانَ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِلْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ: " يَا عَبَّاسُ، يَا عَمَّاهُ، أَلَا أُعْطِيكَ، أَلَا أَمْنَحُكَ، أَلَا أَحْبُوكَ، أَلَا أَفْعَلُ بِكَ عَشْرَ خِصَالٍ، إِذَا أَنْتَ فَعَلْتَ ذَلِكَ غَفَرَ اللَّهُ لَكَ ذَنْبَكَ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ، قَدِيمَهُ وَحَدِيثَهُ، خَطَأَهُ وَعَمْدَهُ، صَغِيرَهُ وَكَبِيرَهُ، سِرَّهُ وَعَلَانِيَتَهُ، عَشْرَ خِصَالٍ: أَنْ تُصَلِّيَ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ تَقْرَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ وَسُورَةً، فَإِذَا فَرَغْتَ مِنَ الْقِرَاءَةِ فِي أَوَّلِ رَكْعَةٍ وَأَنْتَ قَائِمٌ، قُلْتَ: سُبْحَانَ اللَّهِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، خَمْسَ عَشْرَةَ مَرَّةً، ثُمَّ تَرْكَعُ، فَتَقُولُهَا وَأَنْتَ رَاكِعٌ عَشْرًا، ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ الرُّكُوعِ، فَتَقُولُهَا عَشْرًا، ثُمَّ تَهْوِي سَاجِدًا، فَتَقُولُهَا وَأَنْتَ سَاجِدٌ عَشْرًا، ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ السُّجُودِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا، ثُمَّ تَسْجُدُ، فَتَقُولُهَا عَشْرًا، ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ، فَتَقُولُهَا عَشْرًا، فَذَلِكَ خَمْسٌ وَسَبْعُونَ، فِي كُلِّ رَكْعَةٍ تَفْعَلُ ذَلِكَ فِي أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ، إِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ تُصَلِّيَهَا فِي كُلِّ يَوْمٍ مَرَّةً فَافْعَلْ، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ جُمُعَةٍ مَرَّةً، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ شَهْرٍ مَرَّةً، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ سَنَةٍ مَرَّةً، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ، فَفِي عُمُرِكَ مَرَّةً "
Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Bisyr bin Hakam An Naisaburi, telah menceritakan kepada kami Musa bin Abdul Aziz, telah menceritakan kepada kami Al Hakam bin Aban, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Abbas bin Abdul Muththalib, “Wahai Abbas, wahai pamanku, maukan engkau aku berikan sesuatu? Maukah engkau aku beri hadiah? Mauhkah engkau aku ajari sepuluh perkara yang jika engkau lakukan, maka Allah akan mengampuni dosamu baik yang awalnya maupun yang akhirnya, yang terdahulu maupun yang baru, yang tidak disengaja maupun yang disengaja, yang kecil maupun yang besar, yang tersembunyi maupun yang tampak, hanya sepuluh saja, yaitu: engkau shalat sebanyak empat rakaat, dimana pada setiap rakaatnya engkau membaca surat Al Fatihah dan surat lainnya. Setelah itu masih dalam keadaan berdiri, engkau membaca dzikr (ini), “Subhaanallah, walhamdulillah, walaailaahaillallah, wallahu akbar,” sebanyak 15 kali. Selanjutnya engkau ruku dan membaca dzikr tersebut sebanyak 10 kali dalam keadaan ruku, lalu engkau angkat kepalamu dari ruku dan engkau baca dzikr itu sebanyak 10 kali, lalu turun sujud, dan ketika sujud engkau baca dzikr itu sebanyak 10 kali, kemudian engkau bangun dari sujud dan membaca dzikr itu 10 sepuluh kali, lalu engkau sujud lagi dan membaca dzikr itu sebanyak 10 kali, kemudian engkau angkat kepalamu dan membaca dzikr itu sebanyak 10 kali, sehingga jumlahnya 75 kali dalam setiap rakaat. Engkau lakukan hal itu dalam empat rakaat. Jika engkau sanggup melakukannya dalam sehari sekali, maka lakukanlah. Jika engkau tidak bisa melakukannya, maka dalam sepekan sekali. Jika engkau tidak bisa melakukannya, maka dalam sebulan sekali. Jika engkau tidak bisa melakukannya, maka dalam setahun sekali, dan jika engkau tidak bisa melakukannya dalam setahun sekali, maka dalam seumur hidupmu sekali.”
Takhrij
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (1297), Ibnu Majah (1387), Ibnu Khuzaimah (1216), Baihaqi (3/15) dengan sanadnya dari Ahmad bin Muhammad An Naisaburi, Thabrani dalam Al Kabir (11622) dari jalan Isa bin Al Qasim, Hakim (1/318) dari jalan Ibrahim bin Ishaq, Daruquthni dalam Shalatut Tasbih (sebagaimana dalam At Tarjih/38) dari jalan Abdullah bin Muhammad bin Ziyad. Mereka semua meriwayatkan dari Abdurrahman  bin Bisyri bin Al Hakam dst.
Hakim (1/318) juga meriwayatkan dari jalan Bisyr bin Al Hakam Al Abdiy, dan Ibnu Syahin dalam At Targhib fi Fadhailil A’mal no. 105.
Hakim (1/318) juga meriwayatkan dari jalan Ishaq bin Abi Israil. Tiga orang ini (Abdurrahman bin Bisyr, Bisyr bin Hakam, dan Ishaq bin Abi Israil) meriwayatkan dari Musa bin Abdul Aziz dari Al Hakam bin Aban, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas secara marfu.
Hakim (1/319) juga meriwayatkan dari jalan Ishaq bin Rahawaih dari Ibrahim bin Al Hakam, dari Aban, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas secara marfu.
Hakim (1/319), Ibnu Khuzaimah (1216), Baihaqi (3/52) meriwayatkan dari jalan Muhammad bin Rafi, dari Ibrahim bin Al Hakam, dari Al Hakam bin Aban, dari Ikrimah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara mursal tanpa menyebutkan Ibnu Abbas.
Dari keterangan di atas, semakin jelas bahwa inti jalur-jalur tersebut adalah Al Hakam bin Aban, dan dialah yang diperselisihkan. Telah meriwayatkan darinya secara maushul Musa bin Abdul Aziz dan Ibrahim bin Al Hakam dari riwayat Ishaq bin Rahawaih. Sedangkan yang meriwayatkan darinya secara mursal adalah Ibrahim bin Al Hakam dari riwayat Muhammad bin Rafi.
Riwayat yang maushul lebih rajih (kuat) karena dua alasan ini:
Pertama, karena berasal dari jalan Musa bin Abdul Aziz, dan tidak diperselisihkan, sedangkan Ibrahim bin Al Hakam meskipun dihukumi memaushulkan yang mursal dari ayahnya[vii], hanyasaja riwayat yang maushul di sini lebih didahulukan, karena dikuatkan oleh riwayat Musa bin Abdul Aziz.
Kedua, sebagaimana yang disebutkan oleh lebih dari seorang ulama, bahwa riwayat Ikimah dari Ibnu Abbas merupakan riwayat yang lebih baik daripada yang lain. Abu Hamid Asy Syarqi berkata, “Aku mendengar Muslim bin Al Hajjaj. Dan ia menuliskan bersamaku hal ini dari Abdurrahman, bahwa ia berkata, “Tidak diriwayatkan dalam hadits isnad yang lebih baik daripada ini.” [viii]
Al Mundziri berkata, “Hadits yang paling utama tentang hal itu adalah hadits Ikrimah dari Ibnu Abbas.” [ix]
Kajian terhadap isnad yang maushul
- Abdurrahman bin Bisyr Al Abdiy adalah guru Abu Dawud, seorang yang tsiqah. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan haditsnya[x].
- Musa bin Abdul Aziz Al ‘Adniy seorang yang shaduq (sangat jujur), namun keliru karena buruknya hapalan. Ibnu Ma’in dan Nasa’i berkata tentangnya, “Tidak mengapa,” dan Ibnu Hibban menyebutkannya dalam Ats Tsiqat, ia berkata, “Terkadang ia keliru, dan didhaifkan oleh Ibnul Madiniy.” As Sulaimani berkata, “Munkar haditsnya.”
Dengan demikian, ia adalah seorang yang adil pribadinya, namun dalam hapalannya ada kekurangan. Ibnu Hajar membuat kesimpulan tentangnya, “Shaduq (sangat jujur), namun buruk hapalannya.” [xi]
- Al Hakam bin Aban adalah seorang yang tsiqah dan Ahli Ibadah. Ia ditsiqahkan oleh Ahmad, Ibnu Ma’in, Nasa’i, Al Ijilliy, dan Ibnul Madiniy. Ibnu Uyaynah berkata, “Au belum pernah melihat orang semisalnya.” Abu Zur’ah berkata, “Seorang yang saleh,” dan Ibnu Hibban menyebutkannya dalam Ats Tsiqat, ia berkata, “Terkadang ia keliru,” lalu ia membelanya dengan mengatakan, “Terjadinya hadits munkar hanyalah pada riwayatnya dari riwayat puteranya, yaitu Ibrahim darinya, sedangkan Ibrahim adalah seorang yang dhaif.” Ibnu Khuzaimah berkata, “Ahli hadits membicarakan tentang kehujjahan haditsnya.” Ibnu Addiy berkata, “Padanya ada kelemahan.” Ia adalah seorang yang tsiqah, dan kekeliruan yang membekas pada haditsnya ditujukan kepada selainnya sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Hibban, sedangkan orang yang mendhaifkannya tidak menyebutkan alasan yang dapat mencacatkannya yang bisa dijadikan pegangan untuk membantah pernyataan tsiqah dari para imam seperti Ahmad, Ibnu Ma’in, dan yang bersama mereka. Cukuplah mereka sebagai hujjah dalam hal ini. [xii]
- Ikrimah maula Ibnu Abbas adalah seorang yang tsiqah, ahli di bidang  tafsir. Ada pembicaraan terhadapnya namun dengan alasan yang tidak kuat[xiii].
Dengan demikian, isnad tersebut ada kelemahan namun tertutupi karena keadaan Musa bin Abdul Aziz, dan telah dimutaba’ahkan oleh Ibrahim bin Al Hakam seorang yang dhaif dan telah disepakati kedhaifannya[xiv], sehingga riwayat Musa tidak menjadi kuat karenanya.
Dan Ikrimah tidak sendiri meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas, bahkan yang lain memutaba’ahkannya dari jalan-jalan yang lain yang semuanya dhaif, dan tidak menjadi kuat karenanya.
Thabrani dalam Al Awsath (2318) dan Abu Nu’aim dalam Al Hilyah (1/25) meriwayatkan dari jalan Abdul Quddus bin Habib, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas secara marfu.
Abdul Quddus ini telah sepakat ditinggalkan[xv].
Thabrani meriwayatkan dalam Al Kabir 11/161 dari jalan Nafi Abu Hurmuz, dari Atha, dari Ibnu Abbas secara marfu.
Namun Nafi dianggap berdusta oleh Ibnu Ma’in. Abu Hatim berkata, “Matruk, hilang haditsnya, dan didhaifkan oleh Ahmad dan Jamaah (Ahli Hadits).” [xvi]
Telah datang dari beberapa jalan dari Abul Jauza, dari Ibnu Abbas yang sebagiannya marfu, dan sebagian lagi mauquf.
Abu Dawud 2/30 menyebutkan secara mu’allaq (tanpa awal sanad) dari Rauh bin Al Musayyab, dari Amr bin Malik An Nukriy, dari Abul Jauza, dari Ibnu Abbas secara marfu.
Rauh ditsiqahkan oleh Al Bazzar. Abu Hatim berkata, “Shalih, namun tidak kuat.” Ibnu Addiy berkata, “Hadits-haditsnya tidak mahfuzh.” Ibnu Hibban berkata, “Ia meriwayatkan hadits-hadits maudhu dari orang-orang tsiqah, tidak halal meriwayatkan darinya. Ia adalah seorang yang dhaif [xvii].”
Sedangkan Amr An Nukriy, Ibnu Hajar berkata tentangnya, “Shaduq sangat jujur), namun memiliki banyak wahm (perkiraan keliru), [xviii]
Thabrani dalam Al Awsath (2879) meriwayatkan dari jalan Yahya bin Uqbah bin Abil Aizar, dari Muhammad bin Jahadah, dari Abul Jauza, dari Ibnu Abbas secara marfu. Sedangkan Yahya bin Uqbah ini, Ibnu Ma’in berkata, “Pendusta, busuk, musuh Allah.” Bukhari berkata, “Munkar haditsnya.” [xix]
Daruquthni menyebutkan dalam karyanya tentang shalat Tasbih, dan menukilnya dari Ibnu Nashiruddin dalam At Tarjih (63) dari jalan Aban bin Abi Iyasy, dari Abul Jauza, dari Ibnu Abbas secara marfu. Aban ini ditinggalkan oleh Ahmad, Ibnu Ma’in, dan Nasa’i, dan dianggap berdusta oleh Syu’bah. Ibnu Hajar berkata, “Matruk (ditinggalkan).” [xx]
Ibnu Nashiruddin dalam At Tarjih/46 menyebutkan dari Abu Ishaq Ibrahim bin Ishaq bin Isa Al Bananiy, yang maulanya adalah Ath Thaliqaniy, dari Al Walid, dari Utsman bin Abil Atikah, dari Abu Shalih, dari Abul Jauza, dari Ibnu Abbas secara marfu. Namun di sini ada Al Walid bin Muslim, seorang yang tsiqah namun banyak memursalkan sanad dan melakukan tadlis taswiyah (pengguguran rawi dhaif di antara dua rawi tsiqah)[xxi], dan di sini ia melakukan ‘an’anah (menyebut dari).
Daruquthni menyebutkan hadits tersebut dengan sanadnya dalam At Tasbih sebagaimana disebutkan dalam At Tarjih/61. Melalui jalan Daruquthni juga Al Khatib menyebutkan dalam Juznya tentang Shalat Tasbih (Qaaf/6), dan seperti dalam At Tarsyih/38 dari jalan Jinab, dari Muhammad bin Janadah. Di dalamnya terdapat Abu Jinab, namanya adalah Yahya bin Abi Hayyah. Ibnu Hajar berkata tentangnya, “Para Ahli Hadits mendhaifkannya karena sering melakukan tadlis.” [xxii]
Al Khathib menyebutkannya dalam kitab Juznya yang telah disebutkan (Qaaf/6), dan seperti dalam At Tarsyih/41 dengan sanadnya dari jalan Yahya bin Sa’id. Dalam sanadnya terdapat Ishaq bin Muhammad bin Marwan. Daruquthni bekata, “Ia tidak termasuk orang yang bisa dipakai hujjah.” [xxiii]
Al Khathib juga menyebutkannya dalam kitab Juznya yang telah disebutkan (Qaaf/6), dan seperti dalam At Tarsyih/41 dengan sanadnya dari jalan Abu Malik Al Uqailiy, namun Syaikh Muhammad bin Abdurrahman Al Umair belum temukan biografinya.
Ketiga orang ini (Abu Jinab, Yahya bin Sa’id, dan Abu Malik) meriwayatkan dari Abul Jauza, dari Ibnu Abbas secara mauquf.
Dan Daruquthni menyebutkannya dalam Shalat Tasbih sebagaimana dalm At Tarjih/60 dengan sanadnya dari jalan Abbad bin Abbad Al Mahlabi, dan melalui jalur lain dari jalan Yahya bin Amr bin Malik An Nukriy, serta melalui jalur yang ketiga sebagaimana dalam At Tarjih/58 dari jalan Rauh bin Al Musayyab Al Kalbiy. Tiga orang ini (Abbad, Yahya, dan Rauh) meriwayatkan dari Amr bin Malik , dari Abul Jauza, dari Ibnu Abbas secara mauquf.
Abbad adalah seorang yang tsiqah, namun terkadang ia wahm (keliru)[xxiv]. Yahya seorang yang dhaif, dan disebutkan, bahwa Hammad bin Zaid menganggapnya berdusta[xxv]. Adapun Rauh telah disebutkan, bahwa ia seorang yang dhaif, sedangkan gurunya Amr bin Malik An Nukriy telah disebutkan sebelumnya, bahwa ia seorang yang shaduq namun memiliki banyak wahm.
Dengan demikian, riwayat-riwayat ini, dari Abul Jauza, dari Ibnu Abbas di samping dhaif juga terdapat cacat yang lain, yaitu menyelisihi yang lebih kuat. Yang mahfuzh (kuat) adalah dari Abul Jauza dari Abdullah bin Amr, nanti akan diterangkan insya Allah.
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam, walhamdu lillahi Rabbil ‘alamin.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45, Majalah Ilmiah Univ. Al Malik Faishal (Jilid 2, edisi ke-1, Dzulhijjah 1421 H/Maret 2001 M), Mausu’ah Ruwathil Hadits (Markaz Nurul Islam Li Abhatsil Qur’an was Sunnah), Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud (Muhammad Asyraf Al Azhim Abadi), dll.


[i] Syaikh Jasim Al Fuhaid dalam kitabnya At Tanqih sampai menyebutkan 35 jalan.
[ii] Seperti Ibnu Mandah, Daruquthni, Al Khathib Al Baghdadi, Abu Sa’ad As Sam’ani, Abu Musa Al Madini, Tajuddin As Subkiy, Ibnu Nashiruddin, Ibnu Hajar Al Makkiy, dan As Suyuthi, lihat At Tanqih/82.
[iii] Inilah pendapat mayoritas Ahli Hadits, seperti Abu Dawud, Abu Bakar Al Ajurriy, Hakim, Ibnus Sakan, Ibnush Shalah, Sirajuddin Al Balqini, Zarkasyi, Suyuthi, Az Zubaidiy, Ibnu Mandah, As Sam’ani, As Subkiy, dan lain-lain, lihat At Tanqih/55 dan Tsalatsu Shalawat Mahjurah/119.
[iv] Seperti Tirmidzi (2/438), Al Uqailiy (Adh Dhu’afa Al Kabir 1/124), dan Al Mizziy (At Talkhishul Habir 2/7).
[v] Seperti Ibnul Jauzi dalam Al Maudhu’at (2/465), dan dibenarkan oleh Syaukani (Tuhfatudz Dzakirin/218) dan Ibnu Taimiyah (Majmu Fatawa 11/579).
[vi] Seperti Imam Ahmad rahimahullah, ia berkata, “Menurutku shalat Tasbih tidak shahih. Para ulama berselisih tentang isnadnya.” (Masail Abdillah bin Imam Ahmad/89). As Suyuthi menukil dalam Al La’aliy (2/37, 38) dari Ibnu Hajar ia berkata, “Ali bin Said meriwayatkan dari Ahmad bin Hanbal, ia berkata, “Isnadnya dhaif. Semuanya meriwayatkan dari Amr bin Malik –maksudnya pada orang tersebut terdapat pembicaraan-,” lalu aku (Ali) berkata, “Al Mustamir bin Ar Rayyan meriwayatkannya dari Abul Jauza.” Imam Ahmad berkata, “Siapa yang menyampaikan hal ini kepadamu?” Aku menjawab, “Muslim –yakni bin Ibrahim-,” beliau berkata, “Al Mustamir adalah seorang syaikh yang tsiqah.” Sepertinya beliau heran. Ibnu Hajar berkata, “Sepertinya tidak sampai kepada Imam Ahmad selain riwayat Amr bin Malik, yaitu An Nukri. Namun ketika sampai kepadanya bahwa Al Mustamir memutaba’ahkannya, maka dirinya heran. Zhahirnya, bahwa beliau rujuk dari mendhaifkannya.”
Termasuk pula Imam Nawawi, ia berkata, “Tentang anjuran shalat Tasbih perlu ditinjau kembali, karena haditsnya dhaif…dst.” (Al Majmu 4/54), namun dalam Tahdzibul Asma’ wal Lughat (3/144), ia berkata, “Telah datang tentang hal ini -maksudnya shalat Tasbih- hadits yang hasan,” atau ia berkata, “Sunnah yang baik.”
Demikian pula Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, dimana dalam At Talkhish (2/7) ia mendhaifkannya, namun dalam Al Khishal Al Mukaffirah/45, 46 ia berkata, “Para perawi isnad yang maushul ini tidak mengapa,” kemudian ia berkata, “Isnad ini termasuk syarat hasan, karena ia memiliki syahid-syahid yang menguatkannya.”
Di antara bukti yang menunjukkan, bahwa Al Hafizh rujuk dari pendhaifan hadits shalat Tasbih adalah karena kitabnya At Talkhish selesai disusun pada tahun 820 H sebagaimana tercantum di bagian akhir kitab tersebut, sedangkan kitabnya Al Khishal Al Mukaffirah telah selesai dibacakan kepadanya pada tahun 837 H seperti yang tercantum di bagian akhir halaman kitab tersebut, wallahu a’lam.
[vii] Tahdzibut Tahdzib 1/101.
[viii] Al Irsyad karya Al Khalili 1/327.
[ix] Mukhtashar Sunan Abi Dawud 2/89.
[x] At Taqrib/337.
[xi] Tahdzibut Tahdzib 10/318 dan At Taqrib/552.
[xii] Tahdzibut Tahdzib 2/364 dan At Taqrib/174.
[xiii] Hadyus Sariy/425 dan At Taqrib/397.
[xiv] Tahdzibut Tahdzib 1/100 dan At Taqrib/89.
[xv] A Mizan 2/643.
[xvi] Al Mizan 2/243.
[xvii] Al Mizan 2/61 dan Al Lisan 2/468.
[xviii] At Taqrib/426.
[xix] Al Mizan 4/397.
[xx] Al Mizan 1/10,11, dan At Taqrib/87.
[xxi] At Taqrib/584.
[xxii] At Taqrib/589.
[xxiii] Al Mizan 1/100.
[xxiv] At Taqrib/290.
[xxv] At Taqrib/592.
 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger