Fawaid Riyadhush Shalihin (24)

Rabu, 29 Juni 2016
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫والذين جاهدوا فينا لنهدينهم سبلنا‬‎
Fawaid Riyadhush Shalihin (24)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut Fawaid (Kandungan Hadits) Riyadhush Shalihin yang banyak kami rujuk dari kitab Bahjatun Nazhirin karya Syaikh Salim bin Ied Al Hilaliy,  Syarh Riyadhush Shalihin karya Syaikh Faishal bin Abdul Aziz An Najdiy, dan lainnya. Hadits-hadits di dalamnya merujuk kepada kitab Riyadhush Shalihin, akan tetapi kami mengambil matannya dari kitab-kitab hadits induk. Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «بَادِرُوا بِالأَعْمَالِ سَبْعًا هَلْ تُنْظَرُونَ إِلَّا إِلَى فَقْرٍ مُنْسٍ، أَوْ غِنًى مُطْغٍ، أَوْ مَرَضٍ مُفْسِدٍ، أَوْ هَرَمٍ مُفَنِّدٍ، أَوْ مَوْتٍ مُجْهِزٍ، أَوِ الدَّجَّالِ فَشَرُّ غَائِبٍ يُنْتَظَرُ، أَوِ السَّاعَةِ فَالسَّاعَةُ أَدْهَى وَأَمَرُّ»
(93) Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersegeralah untuk melakukan amalan sebelum datangnya tujuh macam perkara. Tidak ada yang kalian tunggu selain kefakiran yang melalaikan, kekayaan yang melampaui batas, sakit yang merusak, masa tua yang membuat ucapan tidak karuan, kematian yang mengakhirinya, atau Dajjal. Ia adalah makhluk yang ditunggu kehadirannya, atau Kiamat. Tetapi kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit.” (HR. Tirmidzi, ia berkata, “Hadits hasan gharib.”)
Takhrij: 
Hadits di atas adalah dhaif jiddan (sangat lemah), karena dalam sanadnya ada Muharrar bin Harun, seorang yang matruk (ditinggalkan haditsnya).
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ يَوْمَ خَيْبَرَ: «لَأُعْطِيَنَّ هَذِهِ الرَّايَةَ رَجُلًا يُحِبُّ اللهَ وَرَسُولَهُ، يَفْتَحُ اللهُ عَلَى يَدَيْهِ» قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ: مَا أَحْبَبْتُ الْإِمَارَةَ إِلَّا يَوْمَئِذٍ، قَالَ فَتَسَاوَرْتُ لَهَا رَجَاءَ أَنْ أُدْعَى لَهَا، قَالَ فَدَعَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ، فَأَعْطَاهُ إِيَّاهَا، وَقَالَ: «امْشِ، وَلَا تَلْتَفِتْ، حَتَّى يَفْتَحَ اللهُ عَلَيْكَ» قَالَ فَسَارَ عَلِيٌّ شَيْئًا ثُمَّ وَقَفَ وَلَمْ يَلْتَفِتْ، فَصَرَخَ: يَا رَسُولَ اللهِ عَلَى مَاذَا أُقَاتِلُ النَّاسَ؟ قَالَ: «قَاتِلْهُمْ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ، فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ فَقَدْ مَنَعُوا مِنْكَ دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ، إِلَّا بِحَقِّهَا وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ»
(94) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada perang Khaibar, “Aku akan berikan bendera ini kepada seorang yang cinta kepada Allah dan Rasul-Nya shallahu ‘alaihi wa sallam; Allah akan memberikan kemenangan melalui kedua tangannya.” Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku tidak menginginkan kepemimpinan kecuali pada hari itu, maka aku tampakkan diriku dengan harapan aku yang dipanggil.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Ali bin Abi Thalib dan memberikan bendera itu kepadanya, Beliau bersabda, “Berjalanlah dan jangan menoleh, sampai Allah memberikan kemenangan kepada dirimu.” Maka Ali berjalan sebentar, lalu diam namun tanpa menoleh dan berkata dengan suara tinggi, “Wahai Rasulullah, atas dasar apa saya memerangi manusia?” Beliau bersabda, “Perangilah mereka sampai mereka mau bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Jika mereka mau melakukannya, maka berarti mereka melindungi darah dan harta mereka darimu kecuali dengan haknya, dan hisab mereka diserahkan kepada Allah.” (HR. Muslim)
Fawaid:
1. Pemegang panji perang hendaknya orang yang cinta kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Para sahabat tidak suka kepemimpinan karena besar tanggung jawabnya.
3. Pengarahan imam kaum muslimin kepada komandan pasukan dalam bersikap di medan perang.
4. Para sahabat berpegang teguh dengan pesan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan bersegera melaksanakannya.
5. Jika seseorang belum jelas terhadap tugasnya hendaknya ia bertanya.
6. Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam serta mengikuti perintahnya.
7. Bukti kenabian dan kerasulan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena memberitahukan hal yang gaib, yaitu penaklukan Khaibar.
8. Tidak boleh membunuh orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat, kecuali jika muncul daripadanya perbuatan yang mengharuskan dibunuh seperti membunuh orang lain dengan sengaja atau mengingkari bagian dari agama ini yang menjadikannya murtad.
9. Hukum Islam berlaku dalam urusan lahiriah, adapun urusan batin, maka diserahkan kepada Allah Azza wa Jalla.
10. Zakat wajib diambil jika pemilik harta tidak mau mengeluarkannya.
BAB : MUJAHADAH (BERSUNGGUH-SUNGGUH)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِينَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al Ankabut: 69)
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
“Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).” (QS. Al Hijr: 99)
وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ وَتَبَتَّلْ إِلَيْهِ تَبْتِيلًا
“Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan.” (QS. Al Muzzammil: 8)
Yakni fokuskanlah beribadah kepada-Nya.
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ
“Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS. Az Zalzalah: 7)
وَمَا تُقَدِّمُوا لأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللهِ هُوَ خَيْرًا وَأَعْظَمَ أَجْرًا
“Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Muzzammil: 20)
وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللهَ بِهِ عَلِيمٌ
“Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengatahui.” (QS. Al Baqarah: 273)
Ayat-ayat terkait hal ini banyak dan sudah sama-sama diketahui.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِنَّ اللَّهَ قَالَ: مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ: كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا، وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ، وَمَا تَرَدَّدْتُ عَنْ شَيْءٍ أَنَا فَاعِلُهُ تَرَدُّدِي عَنْ نَفْسِ المُؤْمِنِ، يَكْرَهُ المَوْتَ وَأَنَا أَكْرَهُ مَسَاءَتَهُ "
(95) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman, “Barang siapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku mengumumkan perang terhadapnya. Tidaklah seorang hamba yang mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang paling Aku cintai lebih daripada ketika ia melakukan perbuatan yang Aku wajibkan kepadanya. Tidaklah seorang hamba senantiasa mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan mengerjakan berbagai amalan sunah hingga Aku mencintainya. Apabila Aku mencintainya, maka Aku sebagai pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, sebagai penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, sebagai tangannya yang ia gunakan untuk memukul, dan sebagai kakinya yang ia gunakan untuk berjalan.  Jika ia meminta kepada-Ku, akan Aku berikan. Jika ia meminta perlindungan kepada-Ku, akan Aku lindungi, dan tidak ada yang membuat-Ku segan seperti halnya terhadap nyawa seorang mukmin, ia tidak suka terhadap kematian, sedangkan Aku tidak suka menyakitinya.” (HR. Bukhari)
Takhrij:
Sebagian Ahli Hadits mengkritik isnad hadits ini, namun Al Hafizh telah membantah kritikan tersebut dalam Fathul Bari, demikian pula Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah no. 1640 dengan bantahan yang sangat bagus.
Fawaid:  
1. Bahaya memusuhi para wali Allah Ta’ala. Wali Allah adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa, mereka mengenal Allah Ta’ala, senantiasa menaati-Nya, dan ikhlas dalam beribadah kepada-Nya.
2. Yang wajib didahulukan daripada yang sunah.
3. Di antara sebab meraih kecintaan Allah Ta’ala adalah mengerjakan amalan sunah setelah amalan wajib.
4. Mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan wajib kemudian amalan sunah menjadi sebab dikabulkannya doa seorang hamba, dipelihara dan dijaga-Nya.
5. Dalam hadits di atas tidak ada dalil untuk menguatkan akidah hulul (menitis khaliq dengan makhluk) yang diyakini oleh sebagian kaum Shufi.
6. Seorang yang dicintai Allah, maka anggota badan dan sikapnya mendapatkan bimbingan dari Allah Azza wa Jalla, dia tidak menggunakannya untuk yang haram, tetapi menggunakannya untuk ketaatan kepada-Nya.
7. Keutamaan para wali Allah.
8. Seorang yang hendak mendapatkan kecintaan dari Allah, maka Allah memudahkannya untuk mengerjakan kewajiban, kemudian memperbanyak amalan sunah.
9. Imam Nawawi menyebutkan hadits ini dalam Bab mujahadah (bersungguh-sungguh), karena untuk dapat melakukan semua itu dibutuhkan kesungguhan sambil memohon pertolongan kepada Allah Azza wa Jalla.
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa alaa aalihi wa shahbihi wa sallam
Marwan bin Musa
Maraji': Tathriz Riyadh Ash Shalihin (Syaikh Faishal bin Abdul Aziz An Najdiy), Syarh Riyadh Ash Shalihin (Muhammad bin Shalih Al Utsaimin),  Bahjatun Nazhirin (Salim bin ’Ied Al Hilaliy), Al Maktabatusy Syamilah versi 3.45, dll.

Ringkasan Akidah Ahlussunnah wal Jamaah (5)

Selasa, 28 Juni 2016
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫عقيدة أهل السنة والجماعة‬‎
Ringkasan Akidah Ahlussunnah wal Jamaah (5)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan ringkasan Akidah Ahlussunnah wal Jamaah, semoga Allah menjadikan risalah ini ditulis ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Tentang agama Allah
24. Agama Allah hanya satu, yaitu Islam. Agama para Nabi semuanya adalah sama yaitu Islam sedangkan syari’at mereka berbeda-beda, karena Islam jika dimaknakan secara umum adalah beribadah hanya kepada Allah Ta’ala dan menjauhi sesembahan selain Allah sesuai syari’at rasul yang diutus. Oleh karena itu, agama para nabi adalah Islam. Dan orang-orang yang mengikuti rasul di zaman rasul tersebut diutus adalah orang-orang Islam (kaum muslimin). Orang-orang Yahudi adalah muslim di zaman Nabi Musa ‘alaihis salaam diutus dan orang-orang Nasrani adalah muslim di zaman Nabi ‘Isa ‘alaihis salaam diutus. Adapun setelah diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka orang muslim adalah orang yang mengikuti (memeluk) agama Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan yang tidak mau memeluk agama yang Beliau bawa adalah orang-orang kafir.
Tentang bid’ah dan kewajiban kembali kepada kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya
25. Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak membenarkan bid’ah dalam agama, dan bahwa setiap bid’ah dalam agama adalah sesat. Oleh karena itu, tidak ada bid’ah hasanah dalam agama[i]. Hal itu karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang mengerjakan amalan yang tidak kami perintahkan, maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim)
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang mengadakan dalam urusan agama kami yang bukan termasuk darinya, maka sesuatu yang diadakan itu tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثَ كِتَابُ اللَّهِ ، وَخَيْرَ الْهَدْىِ هَدْيُ مُحَمِّدٍ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم ، وَشَرَّ الأُمُوْرِ مُحْدثَاتُهَا وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ
“Sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah kitab Allah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, sejelek-jelek urusan adalah yang diada-adakan (dalam agama) dan setiap bid’ah (yang diada-adakan) adalah sesat.” (HR. Muslim)[ii]
Ahlus Sunnah wal Jamaah mengembalikan masalah yang mereka perselisihkan kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul-Nya (As Sunnah) (Lihat QS. An Nisaa’: 59), kemudian mereka menerima dengan sepenuh hati.
Ahlus Sunnah wal Jamaah takut terjatuh ke dalam kemunafikan
26. Ahlus Sunnah wal Jamaah meminta kepada Allah agar dilindungi dari syakk (keraguan), syirik, perselisihan, nifak (kemunafikan)[iii] dan akhlak yang buruk, serta meminta kepada Allah agar diteguhkan di atas agama ini hingga wafatnya.
Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah umat yang wasath (pertengahan)
27. Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah golongan yang wasat (pertengahan) dalam masalah sifat Allah antara kaum Jahmiyyah (yang meniadakan sifat bagi Allah) dan kaum musyabbihah (yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya).
28. Ahlus Sunnah wal Jamaah juga wasath dalam masalah ancaman Allah antara kaum murji’ah[iv] dan khawarij[v].
Ahlus Sunnah wal Jamaah berpendapat bahwa iman mencakup hati, lisan, dan anggota badan, iman bisa berkurang jika seorang mukmin berbuat maksiat, dan bisa bertambah ketika seorang mukmin melakukan ketaatan. Ahlus Sunnah wal Jamaah juga mengatakan bahwa Allah Subhaanahu wa Ta'aala tidak pernah berbuat zalim kepada hamba-Nya; Allah tidak akan mengazab orang-orang yang taat tanpa sebab dosa. Ahlus Sunnah wal Jamaah juga mengatakan bahwa orang yang memiliki iman seberat dzarrah tidak akan kekal di neraka meskipun melakukan dosa-dosa besar.
29. Ahlus Sunnah wal Jamaah juga wasath antara Haruriyyah dan Mu’tazilah.
Kaum Haruriyyah menyebut kafir secara mutlak kepada kaum mukmin yang berbuat maksiat dan mengekalkan mereka di neraka, sedangkan kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa orang-orang tersebut tetap muslim tidak kafir, namun mereka kekal di neraka. Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak demikian.
30. Ahlus Sunnah wal Jamaah juga wasath antara kaum Rafidhah dan kaum Naashibah.
Kaum Rafidhah bersikap ghuluw/berlebihan terhadap ahlul bait (keluarga Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam[vi]), sedangkan kaum Naashibah memusuhi Ahlul bait.
Ahlus Sunnah wal Jamaah tidaklah demikian, mereka mencintai Ahlul bait, namun mereka tidak ghuluw terhadap ahlul bait, mereka tidak memberikan wala’ murni kepada ahlul bait yang menyimpang dari agama (Sunnah Nabi shallallahu aiahi wa sallam).
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa alaa aalihi wa shahbihi wa sallam
Marwan bin Musa


[i] Sebagian orang yang berbuat bid’ah berkata untuk membenarkan bid’ahnya, “Tetapi itu kan baik,” untuk menjawab perkataan ini cukuplah dengan kata-kata “Lau kaana khairan lasabaquunaa ilaih” (Kalau sekiranya hal itu baik (dalam agama), tentu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat telah mendahului kita melakukannya), karena mereka adalah orang-orang yang paling semangat mengerjakan kebaikan. Cukup bagus buku “Lauw kaana khairan lasabaquunaa ilaih” yang ditulis oleh Ust. Abdul Hakim bin Amir Abdat tentang masalah ini, maka bacalah.
[ii] Imam Nawawi membuat bab khusus di kitab Riyadhush Shaalihin tentang larangan berbuat bid’ah, Anda bisa lihat di sana. Dan bid’ah itu ada tingkatan-tingkatannya, ada bid’ah dalam akidah dan ada juga bid’ah dalam ibadah, yang paling parah adalah bid’ah dalam ‘akidah seperti bid’ahnya kaum jahmiyyah, bid’ahnya kaum khawarij, bid’ahnya kaum murji’ah, bid’ahnya kaum syi’ah, bid’ahnya kaum mu’tazilah, dsb.
[iii] Nifak ada dua:
1.        Nifak Akbar (besar), yaitu nifak dalam keyakinan (nifak I’tiqadiy); dimana pelakunya menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafiran. Contohnya mendustakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, mendustakan sebagian yang dibawa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, membenci Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, membenci yang dibawa Beliau, senang agama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di bawah dan tidak suka agama Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam tinggi.
2.        Nifak Ashghar (kecil), yaitu nifak dalam amalan (nifak ‘amali), di mana pelakunya tetap muslim tetapi mengerjakan perbuatan orang-orang munafik. Contohnya adalah jika berbicara berdusta, jika dipercaya berkhianat, jika berjanji mengingkari dan jika bertengkar melampaui batas, malas dalam mengerjakan ibadah, malas mengerjakan shalat berjama’ah, menunda-nunda shalat sampai akhir waktu, dsb. Perbuatan-perbuatan ini bisa mengarah kepada nifak akbar.
Perbedaan antara nifak akbar dengan nifak ashghar adalah:
-         Nifak Akbar mengeluarkan seseorang dari Islam, sedangkan nifak ashghar tidak.
-         Nifak Akbar tidak mungkin muncul dari seorang mukmin, sedangkan nifak ashghar bisa.
-         Nifak Akbar itu berbedanya antara zhahir dengan batin dalam keyakinan, sedangkan nifak ashghar berbedanya antara zhahir dengan batin dalam hal amalan.
[iv] Kaum Murji’ah berpendapat bahwa iman hanya pembenaran di hati saja, mereka tidak memasukkan amal ke dalam bagian iman. Mereka mengatakan bahwa dosa tidak berpengaruh apa-apa terhadap iman sebagaimana ketaatan tidak bermanfaat jika di atas kekufuran, menurut mereka juga bahwa iman itu tidak bisa bertambah dan tidak bisa berkurang.
[v] Kaum Khawarij berpendapat bahwa pelaku dosa besar di bawah syirk jika meninggal akan kekal di neraka.
[vi] Yaitu istri Beliau dan keturunannya, juga setiap muslim dan muslimah keturunan Bani Hasyim dan Bani Muththalib, seperti keluarga Ali, keluarga Ja’far, keluarga ‘Aqiil, keluarga Al Harits dan keluarga Abbas dst. ke bawah termasuk maulanya (budak yang mereka merdekakan).

Ringkasan Akidah Ahlussunnah wal Jamaah (4)

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫عقيدة أهل السنة والجماعة‬‎
Ringkasan Akidah Ahlussunnah wal Jamaah (4)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan ringkasan Akidah Ahlussunnah wal Jamaah, semoga Allah menjadikan risalah ini ditulis ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Tentang memastikan masuk surga dan neraka
16. Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak memastikan seseorang masuk surga atau neraka, kecuali yang dinyatakan Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tetapi mereka berharap orang yang berbuat kebaikan akan masuk surga dan mengkhawatirkan orang yang berbuat jahat akan masuk neraka.
Ahlus Sunnah wal Jamaah juga tidak menyatakan seseorang kafir, musyrik, atau munafik  selama tidak menampakkan demikian, dan mereka menyerahkan hal yang tersembunyi kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala.
Tentang Akhlak
17. Ahlus Sunnah wal Jamaah memberikan sikap tulus kepada Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, imam-imam kaum muslimin dan seluruh kaum muslimin[i].
Ahlus Sunnah wal Jamaah mengajak manusia berakhlak mulia dan melarang berakhlak tercela. Ahlus Sunnah menyuruh berbakti kepada kedua orang tua, melakukan silaturrahim, berbuat baik kepada tetangga, budak dan berbuat baik kepada semua manusia. Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa orang mukmin yang paling sempurna iman dan keyakinannya adalah orang yang paling baik amalnya dan akhlaknya serta paling jujur ucapannya, paling dekat dengan kebaikan dan keutamaan serta paling jauh dari keburukan dan kehinaan.
Ahlus Sunnah wal Jamaah juga berusaha menegakkan ajaran Islam dalam diri, keluarga, dan masyarakatnya.
Dalam masalah Jihad
18. Ahlus Sunnah wal Jamaah memandang bahwa jihad fii sabiilillah tetap berlaku bersama ulil amri, dan Jihad adalah puncak agama. Jihad bisa berupa jihad ilmu dan hujjah (menyampaikan ilmu dan menegakkan hujjah), inilah jihad yang pertama, maupun jihad silah (dengan senjata/berperang). Jihad dalam arti membela agama hukumnya wajib bagi setiap muslim sesuai kemampuannya.
Menggalang persatuan
19.Ahlus Sunnah wal Jamaah mendorong untuk menyatukan kaum muslimin, mendekatkan hati dan melembutkannya, serta berusaha menjauhkan umat dari perpecahan, permusuhan, dan kebencian dengan berbagai cara yang bisa mengantarkan ke arah tersebut.
Menjaga kehormatan seorang muslim
20. Ahlus Sunnah wal Jamaah melarang menyakiti dan mengganggu orang lain, baik darah, harta maupun kehormatan dan seluruh haknya. Mereka  juga menyuruh bersikap adil dan inshaf (jujur, sadar dan menerima) dalam setiap mu’amalah (pergaulan), juga menganjurkan berbuat ihsan dan melebihkan.
Umat yang paling utama
21.Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa umat yang paling utama adalah umat Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, dan umat Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam yang paling utama adalah para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, khususnya para khulafa raasyidin (Abu Bakr, Umar, Utsman dan ‘Ali radhiyallahu 'anhum) dan sepuluh orang yang dijamin masuk surga[ii], juga para sahabat yang ikut dalam perang Badar, para sahabat yang menghadiri Bai’atur Ridhwan, dan para sahabat yang terdahulu masuk Islam dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Ahlus Sunnah wal Jamaah mencintai para sahabat dan mendoakan taradhdhiy (radhiyallahu ‘anhum) untuk mereka, itulah sikap mereka dalam beragama.
       Ahlus Sunnah wal Jamaah menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka dan mendiamkan kekeliruan mereka serta menahan diri dari perselisihan yang terjadi di antara mereka. Ahlus Sunnah wal Jamaah yakin bahwa mereka tidak ma’shum dan mereka melakukan hal itu karena ijtihadnya, yang benar mendapat dua pahala dan yang salah mendapat satu pahala.
Mereka (para sahabat) memiliki keutamaan yang menghilangkan keburukan yang terjadi di antara mereka jika memang terjadi, sebagaimana ombak akan menghilangkan kotoran.
Tentang karamah
22.Ahlus Sunnah wal Jamaah juga mengimani adanya karamah (keistimewaan) bagi wali-wali Allah, namun tidak setiap hal yang luar biasa dikatakan karamah, bisa saja sebagai istidraj (sebagai penangguhan azab baginya). Cara membedakan antara karamah dan istidraj adalah dengan melihat keadaan orang tersebut apakah dia di atas Akidah yang benar, di atas ibadah yang sesuai Sunnah, akhlak yang mulia atau tidak ?
Imam Syafi’i rahimahullah berkata,
إِذَا رَأَيْتُمُ الرَّجُلَ يَمْشِي عَلَى الْمَاءِ أَوْ يَطِيْرُ فِي الْهَوَاءِ فَلاَ تُصَدِّقُوْهُ وَلاَ تَغْتَرُّوْا بِهِ حَتَّى تَعْلَمُوْا مُتَابَعَتَهُ لِلرَّسُوْلِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Apabila kamu melihat ada seseorang yang berjalan di atas air atau terbang di udara, maka janganlah kamu membenarkannya dan jangan pula tertipu olehnya sampai kamu mengetahui bahwa ia mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.”
Perlu diketahui bahwa tidak diberikan-Nya karamah kepada seorang hamba bukanlah berarti kurang imannya. Hal itu, karena Karamah yang Allah Ta’ala berikan kepada hamba-Nya karena beberapa sebab, antara lain: 1) Untuk menguatkan dan mengokohkan imannya, 2) Untuk menegakkan hujjah terhadap musuhnya. Demikian juga karaamah itu terjadi tidak sesuai keinginan seseorang tetapi terjadi apabila dikehendaki Allah Ta’ala.[iii]
Menurut Ahlus Sunnah wal Jamaah, kaum mukminin itu adalah wali Allah, tingkat kewaliannya tergantung tingkat keimanannya.
Menghormati ulama
23.Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam beragama menghormati dan memuliakan ulama[iv]; a’immatul huda (imam-imam yang berada di atas petunjuk), dan orang yang memiliki kedudukan tinggi dalam agama dan keutamaan[v]. Mereka mengikuti pendapat mereka selama tidak menyalahi ketegasan Al Qur’an dan As Sunnah, namun tidak ta’ashshub (fanatik). Mereka mengetahui betapapun tingginya kedudukan seseorang, namun ia bisa salah[vi]. Mereka hanya ta’ashshub/fanatik kepada firman Allah Ta’ala dan sabda Rasul-Nya Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.
Contoh memuliakan ulama adalah mencintai mereka, memintakan ampunan, dan rahmat untuk mereka, mengakui keutamaan mereka, menyebutkan kebaikan mereka dan tidak mencela kata-kata dan pendapat mereka[vii]. Mereka adalah mujtahid, jika benar ijtihadnya mendapatkan dua pahala dan jika salah mendapatkan satu pahala[viii].
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa alaa aalihi wa shahbihi wa sallam
Marwan bin Musa


[i] Sikap tulus kepada Allah di antaranya adalah dengan beriman kepada-Nya, hanya beribadah kepada-Nya dan tidak berbuat syirik, mengerjakan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, cinta karena-Nya dan benci pun karena-Nya, mencintai orang yang mencintai-Nya dan membenci orang yang memusuhi-Nya (seperti orang-orang kafir), berjihad terhadap orang yang kafir kepada-Nya, mengakui nikmat-Nya dan bersyukur kepada-Nya.
Sikap tulus kepada kitab-Nya di antaranya adalah dengan mengimaninya bahwa ia adalah firman Allah bukan makhluk, diturunkan dari Allah dan tidak sama dengan perkataan manusia, memuliakannya, membaca dengan sebenar-benarnya disamping memperbagus suara ketika membacanya, khusyu’ ketika membacanya, membenarkan isinya, mengambil pelajaran darinya, merenungi isinya, mengamalkan ayat-ayat yang muhkam (jelasnya), dan mengimani yang mutasyabihatnya.
Sikap tulus kepada Rasul-Nya shallallahu’alahi wa sallam antara lain mengimani bahwa ia adalah hamba Allah dan utusan-Nya, serta mengamalkan konsekwensi dari beriman kepadanya dengan mengerjakan perintahnya, menjauhi larangannya, membenarkan sabdanya, dan beribadah kepada Allah sesuai contohnya.
Sikap tulus kepada pemerintah Islam, meskipun ia zhalim –selama tidak melakukan kekufuran yang jelas- di antaranya adalah menaati mereka selama perintahnya bukan maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, tidak memberontak terhadap mereka, menasihati mereka dengan halus (seperti secara rahasia), mendoakan kebaikan untuk mereka agar mereka dijaga Allah dari ketergelinciran dan diperbaiki keadaannya. Demikian juga berjihad di belakang mereka serta shalat Jum’at, ‘Ied dan shalat Jamaah bersama mereka. Termasuk sikap yang tidak pantas dilakukan oleh seorang muslim adalah menjelek-jelekkan mereka dan menghina mereka.
Sedangkan sikap tulus kepada seluruh kaum muslimin di antaranya adalah menginginkan kebaikan untuk mereka, membimbing mereka ke arah kebaikan dunia dan akhirat, dan melakukan amr ma’ruf dan nahi-mungkar.
[ii] Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, ‘Ali, Thalhah, Zubair, Sa’ad, Sa’id, Abdurrahman bin ‘Auf dan Abu ‘Ubaidah Ibnul Jarrah radhiyallahu 'anhum ajma’iin.
[iii] Sebagaimana dijelaskan Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah.
[iv] Ulama ibarat orang tua kita, di mana mereka berusaha membimbing kita agar kita dapat menempuh jalan yang lurus. Mereka rela menghabiskan umur mereka untuk menjaga agama ini, jasa-jasa mereka terhadap agama ini patut disyukuri. Mereka memiliki ilmu yang dalam tentang agama ini dan memiliki pengalaman. Sehingga, merekalah yang berhak untuk berijtihad. Oleh karena itu, jika kita dihadapkan tentang suatu masalah yang tidak ada ketegasannya dalam Al Qur’an atau As Sunnah, bertanyalah kepada mereka agar kita tidak salah dalam melangkah. Berbeda dengan kita, dengan usia yang masih muda, pengalaman belum cukup dan ilmu yang kurang, jika kita lepas dari bimbingan mereka, dikhawatirkan akan salah melangkah. Terkadang mereka memberi fatwa yang dipandang secara sekilas oleh kita kurang tepat, padahal di balik itu ada kebaikan yang besar bagi kita, hanya karena kurangnya pengalaman kita sehingga kita belum mampu menjangkaunya. Demikianlah kiranya nasehat kami kepada para pemuda penuntut ilmu.
[v] Seperti para qari’, para fuqaha (ahli fiqh), para muhadditsin (ahli hadits), dan para mufassirin (ahli tafsir).
[vi] Oleh karena itu, kebenaran mutlak hanya pada kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam.
[vii] Bagaimana mereka dicela karena ijtihadnya yang keliru?! Bukankah mereka telah mengorbankan pikiran dan tenaga untuk mencari yang hak (kebenaran) dengan kesungguhan hatinya? Sedangkan Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman “Maa ‘alal muhsiniin min sabiil” (QS. At Taubah: 91) yakni tidak mungkin orang yang berbuat ihsan ditujukan celaan.
[viii] Kekeliruan yang terjadi pada diri mereka bukanlah karena kesengajaan, akan tetapi terjadi karena kelalaian, lupa, atau pun karena belum sampainya hadits. 
 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger