Fawaid Riyadhush Shalihin (20)

Selasa, 26 April 2016
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫اليقين بالله والتوكل عليه‬‎
Fawaid Riyadhush Shalihin (20)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut Fawaid (Kandungan Hadits) Riyadhush Shalihin yang banyak kami rujuk dari kitab Syarh Riyadhush Shalihin karya Syaikh Faishal bin Abdul Aziz An Najdiy, kitab Bahjatun Nazhirin karya Syaikh Salim bin Ied Al Hilaliy,  dan lainnya. Hadits-hadits di dalamnya merujuk kepada kitab Riyadhush Shalihin, akan tetapi kami mengambil matannya dari kitab-kitab hadits induk. Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كَانَ يَقُولُ: «اللهُمَّ لَكَ أَسْلَمْتُ، وَبِكَ آمَنْتُ، وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ، وَإِلَيْكَ أَنَبْتُ، وَبِكَ خَاصَمْتُ، اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِعِزَّتِكَ، لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ، أَنْ تُضِلَّنِي، أَنْتَ الْحَيُّ الَّذِي لَا يَمُوتُ، وَالْجِنُّ وَالْإِنْسُ يَمُوتُونَ»
(75) Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdoa, “Ya Allah, kepada-Mu aku berserah diri, kepada-Mu aku beriman, kepada-Mu aku bertawakkal, kepada-Mu aku bertawakkal, kepada-Mu aku kembali, dan karena Engkau aku bertengkar dengan musuh. Ya Allah, aku berlindung kepada keperkasaan-Mu agar Engkau tidak menyesatkan diriku, tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Engkau. Engkau Mahahidup dan tidak akan mati, sedangkan manusia dan jin akan mati.” (HR. Bukhari dan Muslim, lafaz ini adalah lafaz Muslim, dan Bukhari menyebutkannya secara ringkas).
Fawaid:
1. Kembali kepada Allah, bergantung kepada-Nya, dan mencari kemuliaan kepada-Nya. Barang siapa yang mencari kemulian kepada selain-Nya, maka dia akan hina, dan barang siapa yang mencari petunjuk selain petunjuk-Nya, maka dia akan tersesat.
2. Wajibnya bertawakkal kepada Allah Azza wa Jalla, dan bahwa semua selain Allah akan binasa, oleh karena itu tidak pantas bersandar kepada selain-Nya.
3. Anjuran mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan doa yang padat ini; yang menunjukkan kebenaran iman dan keyakinan.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الوَكِيلُ، «قَالَهَا إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ حِينَ أُلْقِيَ فِي النَّارِ، وَقَالَهَا مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ» حِينَ قَالُوا: {إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا، وَقَالُوا: حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الوَكِيلُ} [آل عمران: 173] (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ. وَفِي رِوَايَةٍ لَهُ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، قَالَ: كَانَ آخِرَ قَوْلِ إِبْرَاهِيمَ – عَلَيْهِ السَّلاَمُ- حِيْنَ أُلْقِيَ فِي النَّارِ: حَسْبِيَ اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ)
(76) Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa ucapan, “Hasbunallah wa ni’mal wakil” (artinya: Cukuplah Allah sebagai Pelindung kami, dan Dialah sebaik-baik pelindung) diucapkan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam saat ia dilemparkan ke dalam api, dan diucapkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam saat ada orang-orang yang menyatakan, “Sesungguhnya manusia (kaum kafir Quraisy) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka," maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, "Cukuplah Allah menjadi penolong Kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” (Lihat QS. Ali Imran: 173) (HR. Bukhari, dan dalam riwayat yang sama dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma ia berkata, “Ucapan terakhir yang disampaikan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam saat dilemparkan ke dalam api adalah, “Hasbiyallahu wa ni’mal wakil” (artinya: Cukuplah Allah sebagai Pelindung bagiku, dan Dialah sebaik-baik Pelindung).”)
Fawaid:
1. Keutamaan tawakkal kepada Allah Azza wa Jalla.
2. Mengikuti jejak para nabi dan rasul, dimana mereka adalah orang-orang yag bertawakkal kepada Allah Azza wa Jalla.
3. Musuh-musuh para rasul berusaha  menimpakan gangguan kepada para rasul dan pengikutnya, dan cara menyikapinya adalah dengan bertawakkal kepada Allah Azza wa Jalla.
4. Pertarungan antara kebenaran dan kebatilan terjadi sejak zaman dahulu.
5. Ucapan Hasbunallah wa ni’mal wakil merupakan bentuk tawakkal seseorang kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
6. Dua orang kekasih Allah (Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad ‘alaihimash shalatu was salam) mengucapkan kalimat di atas.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «يَدْخُلُ الْجَنَّةَ أَقْوَامٌ، أَفْئِدَتُهُمْ مِثْلُ أَفْئِدَةِ الطَّيْرِ»
(77) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Beliau bersabda, “Akan masuk ke dalam surga orang-orang yang hatinya seperti hati burung.” (HR. Muslim)
Ada yang mengatakan, bahwa maksudnya hati mereka bertawakkal, atau maksudnya hati mereka lembut.
Fawaid:
1. Hadits ini menjadi dasar tentang masalah tawakkal. Arti tawakkal adalah bersandar kepada Allah dalam mendatangkan maslahat dan menolak madharat.
2. Tawakkal tidak menafikan sebab, karena burung tetap terbang mencari rezekinya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ، تَغْدُو خِمَاصاً وَتَرُوحُ بِطَاناً»
“Kalau sekiranya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, tentu Dia akan memberi kalian rezeki sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada burung, yang berangkat pagi dalam keadaan perutnya kosong dan pulang sore dengan perut kenyang.” (HR. Tirmidzi, dan ia menghasankannya).
3. Tawakkal kepada Allah dan hati yang lembut termasuk sebab masuk surga.
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا،أَنَّهُ غَزَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِبَلَ نَجْدٍ، فَلَمَّا قَفَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَفَلَ مَعَهُ، فَأَدْرَكَتْهُمُ القَائِلَةُ فِي وَادٍ كَثِيرِ العِضَاهِ، فَنَزَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَفَرَّقَ النَّاسُ يَسْتَظِلُّونَ بِالشَّجَرِ، فَنَزَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَحْتَ سَمُرَةٍ وَعَلَّقَ بِهَا سَيْفَهُ، وَنِمْنَا نَوْمَةً، فَإِذَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْعُونَا، وَإِذَا عِنْدَهُ أَعْرَابِيٌّ، فَقَالَ: " إِنَّ هَذَا اخْتَرَطَ عَلَيَّ سَيْفِي، وَأَنَا نَائِمٌ، فَاسْتَيْقَظْتُ وَهُوَ فِي يَدِهِ صَلْتًا، فَقَالَ: مَنْ يَمْنَعُكَ مِنِّي؟ فَقُلْتُ: اللَّهُ، - ثَلاَثًا - " وَلَمْ يُعَاقِبْهُ وَجَلَسَ  (متفق عليه) وَفِي رِوَايَةٍ: قَالَ جَابِرٌ: كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللِّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم بِذَاتِ الرِّقَاعِ، فَإِذَا أَتَيْنَا عَلَى شَجَرَةٍ ظَلِيْلَةٍ تَركْنَاهَا لِرَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم، فَجَاءَ رَجُلٌ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ، وَسَيْفُ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم مُعَلَّقٌ بِالشَّجَرَةِ، فَاخْتَرَطَهُ فَقَالَ: تَخَافُنِي؟ قَالَ:"لا" قَالَ: فمَنْ يمْنَعُكَ مِنِّي؟ قَالَ:"اللَّه". وَفِي رِوَايَةِ أَبِي بَكْرٍ الْإِسْمَاعِيْلِيِّ فِي صَحِيْحِهِ: قَالَ منْ يَمْنعُكَ مِنِّي؟ قَالَ:"اللَّهُ" قَالَ: فَسَقَطَ السَّيْفُ مِنْ يَدِهِ، فَأخَذَ رَسَولُ اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم السَّيْفَ فَقَالَ:"مَنْ يَمْنَعُكَ مِنِّي؟ "فَقَالَ: كُنْ خَيْرَ آخِذٍ، فَقَالَ: "تَشْهَدُ أنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ، وأنِّي رَسُوْلُ اللَّهِ؟ " قَالَ: لاَ، وَلَكِنِّي أُعَاهِدُكَ أنْ لاَ أقَاتِلَكَ، وَلاَ أكُونَ مَعَ قَومٍ يُقَاتِلُونَكَ، فَخَلَّى سَبِيْلَهُ، فَأَتَى أَصْحَابَهُ فَقَالَ: جِئْتُكُمْ مِنْ عِنْدِ خَيْرِ النَّاسِ.
(78) Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhuma, bahwa dirinya pernah berperang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di daerah dekat Nejd. Setelah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kembali –dari perjalanannya- ia pun ikut kembali, lalu mereka istirahat siang di lembah yang memiliki pohon besar berduri. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun singgah, dan para sahabat juga singgah secara berpencar untuk berteduh di bawah pohon. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam singgah di bawah pohon Samurah dan menggantungkan pedangnya di situ. Kami pun tidur, tiba-tiba Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil kami, sedangkan di dekatnya ada seorang Arab badui, lalu Beliau bersabda, “Orang ini menghunus pedangku untuk menyerangku saat aku tidur, maka aku pun terbangun, sedangkan pedang itu masih terhunus di tangannya, lalu ia berkata, “Siapa yang dapat melindungimu dariku?” Aku menjawab, “Allah,”  sebanyak tiga kali. Namun setelah itu Beliau tidak membalasnya dan duduk.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Jabir berkata, “Kami pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Dzaturriqa, lalu kami datangi sebuah pohon yang lebat dan kami khususkan untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian datang salah seorang kaum musyrik, sedangkan ketika itu pedang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam daam keadaan tergantung di pohon, lalu ia mengambil dan menghunusnya sambil berkata, “Apakah kamu takut kepadaku?” Beliau menjawab, “Tidak.” Ia kembali berkata, “Siapa yang dapat melindungimu dariku?” Beliau menjawab, “Allah.”
Dalam riwayat Abu Bakar Al Isma’iliy dalam Shahihnya disebutkan: Orang itu berkata, “Siapa yang dapat melindungimu dariku?” Beliau menjawab, “Allah.” Tiba-tiba pedang itu pun jatuh dari tangannya, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil pedang itu dan bersabda, “Siapa yang dapat melidungimu dariku?” Orang itu menjawab, “Jadilah engkau sebai-baik orang yang memberikan hukuman.” Beliau bersabda, “Maukah engkau bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa aku adalah Rasulullah?” Ia menjawab, “Tidak. Akan tetapi, aku berjanji kepadamu untuk tidak memerangimu dan tidak ikut bersama orang-orang yang memerangimu,” maka Beliau pun melepaskannya, lalu orang itu mendatangi kawan-kawannya dan berkata, “Aku datang kepada kalian dari sisi orang yang paling baik.”
Fawaid:
1. Keberanian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tingginya keyakinan dan tawakkal Beliau kepada Allah Azza wa Jalla.
2. Cintanya Rasul shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya terhadap jihad fi sabilillah.
3. Penjagaan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
4. Mulianya akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, santunnya Beliau, dan senangnya Beliau terhadap sikap memaafkan orang lain.
5. Membalas keburukan dengan kebaikan.
6. Pemuliaan para sahabat radhiyallahu ‘anhum terhadap Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Bersambung…
Marwan bin Musa
Maraji': Tathriz Riyadh Ash Shalihin (Syaikh Faishal bin Abdul Aziz An Najdiy), Syarh Riyadh Ash Shalihin (Muhammad bin Shalih Al Utsaimin),  Bahjatun Nazhirin (Salim bin ’Ied Al Hilaliy), Al Maktabatusy Syamilah versi 3.45, dll.

Fiqih Darah Wanita (6)

Minggu, 24 April 2016
بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫حكم استعمال حبة منع الحمل‬‎
Fiqih Darah Wanita (6)
(PENGGUNAAN ALAT PENCEGAH ATAU PERANGSANG HAID, PENCEGAH KEHAMILAN DAN PENGGUGUR KANDUNGAN)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan fiqih darah kebiasaan wanita yang kami ringkas dari Risalah fid dima’ ath thabi’iyyah karya Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin rahimahullah, semoga Allah menjadikan rngkasan ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
PENGGUNAAN ALAT PENCEGAH ATAU PERANGSANG HAID, PENCEGAH KEHAMILAN DAN PENGGUGUR KANDUNGAN
Pencegah Haid
Diperbolehkan bagi wanita menggunakan alat pencegah haid, tetapi dengan dua syarat:
[a]. Tidak dikhawatirkan membahayakan dirinya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta 'ala,
وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ  
"Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS. Al-Baqarah : 195)
 [b]. Dengan izin suami, apabila penggunaan alat tersebut mempunyai kaitan denganya. Contohnya, si istri dalam keadaan beriddah dari suami yang masih berkewajiban memberi makan kepadanya, menggunakan alat pencegah haid agar lebih lama masa iddahnya dan bertambah nafkah yang diberikan kepadanya, maka hukumnya tidak boleh, kecuali dengan izin suami.
Demikian pula jika terbukti bahwa pencegah haid dapat mencegah kehamilan, maka harus dengan seizin suami.
Meskipun secara hukum boleh, namun lebih utama tidak menggunakan alat pencegah haid kecuali jika dianggap perlu. Karena membiarkan sesuatu secara alami akan lebih menjamin terpeliharanya kesehatan dan keselamatan.
Perangsang Haid
Diperbolehkan juga penggunaan alat perangsang haid, dengan dua syarat:
[a]. Tidak menggunakan alat tersebut dengan tujuan menghindarkan diri dari suatu kewajiban. Misalnya, seorang wanita menggunakan alat perangsang haid pada saat menjelang Ramadhan dengan tujuan agar tidak berpuasa, atau tidak shalat, dan tujuan negatif lainnya.
[b]. Dengan izin suami. Hal itu, karena terjadinya haid akan mengurangi kenikmatan hubungan suami-istri. Maka tidak boleh bagi si istri menggunakan alat yang dapat menghalangi hak suami kecuali dengan restunya. Dan jika si istri dalam keadaan talak, maka tindakan tersebut akan mempercepat gugurya hak rujuk bagi sang suami jika ia masih berhak rujuk.
Pencegah Kehamilan
Ada dua macam penggunaan alat pencegah kehamilan:
[a]. Penggunaan alat yang dapat mencegah kehamilan untuk selamanya. Hal ini tidak boleh hukumnya, sebab dapat menghentikan kehamilan yang mengakibatkan berkurangnya jumlah keturunan. Dan hal ini bertentangan dengan anjuran Nabi shallallahu alaihi wasalam untuk memperbanyak jumlah umat Islam, selain itu bisa saja anak-anaknya yang ada semuanya meninggal dunia sehingga ia pun hidup menjanda seorang diri tanpa anak.
[b]. Penggunaan alat yang dapat mencegah kehamilan sementara. Contohnya, seorang wanita yang sering hamil dan hal itu terasa berat baginya, sehingga ia ingin mengatur jarak kehamilannya menjadi dua tahun sekali. Maka penggunaan alat ini diperbolehkan dengan syarat: izin suami, dan alat tersebut tidak membahayakan dirinya. Dalilnya, bahwa para sahabat pernah melakukan 'azl terhadap istri mereka pada zaman Nabi shallallahu alaihi wasalam untuk menghindari kehamilan dan Nabi shallallahu alaihi wasalam tidak melarangnya. 'Azl yaitu tindakan -pada saat bersenggama- dengan menumpahkan sperma di luar farji (vagina) si istri.
Penggugur Kandungan
Adapun penggunaan alat penggugur kandungan, ada dua macam:
[a]. Penggunaan alat penggugur kandungan yang bertujuan membinasakan janin. Jika janin sudah mendapatkan ruh, maka tindakan ini tidak syak lagi adalah haram, karena termasuk membunuh jiwa yang diharamkan tanpa dasar yang benar. Membunuh jiwa yang dihormati haram hukumnya menurut Al Qur'an, As Sunnah, dan ijma' kaum Muslimin.
Namun, jika janin belum mendapatkan ruh, maka para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Sebagian ulama membolehkan, sebagian lagi melarang. Ada pula yang mengatakan boleh sebelum berbentuk darah, artinya sebelum berumur 40 hari. Ada pula yang membolehkan jika janin belum berbentuk manusia.
Pendapat yang lebih hati-hati adalah tidak boleh melakukan tindakan menggugurkan kandungan, kecuali jika ada kepentingan Misalnya, seorang ibu dalam keadaan sakit dan tidak mampu lagi mempertahankan kehamilannya, dan sebagainya. Dalam kondisi seperti ini, ia boleh menggugurkan kandungannya, kecuali jika janin tersebut diperkirakan telah berbentuk manusia maka tidak boleh. Wallallahu a'lam.
[b]. Penggunaan alat penggugur kandungan yang tidak bertujuan membinasakan janin. Misalnya, sebagai upaya mempercepat proses kelahiran pada wanita hamil yang sudah habis masa kehamilannya dan sudah waktunya melahirkan. Maka hal ini boleh hukumnya, dengan syarat tidak membahayakan bagi si ibu maupun anaknya dan tidak memerlukan operasi. Kalau pun memerlukan operasi, maka dalam masalah ini ada empat hal:
Pertama, jika ibu dan bayi yang dikandungnya dalam keadaan hidup, maka tidak boleh dilakukan operasi kecuali dalam keadaan darurat, seperti sulit bagi si ibu untuk melahirkan sehingga perlu dioperasi. Hal itu, karena tubuh adalah amanah Allah yang dititipkan kepada manusia, maka tidak boleh memperlakukannya dengan cara yang mengkhawatirkan kecuali untuk maslahat yang besar. Selain itu, mungkin dikiranya bahwa operasi ini tidak berbahaya, tetapi temyata malah membahayakan.
Kedua, jika ibu dan bayi yang dikandungnya dalam keadaan meninggal, maka tidak boleh dilakukan operasi untuk mengeluarkan bayinya. Sebab, hal ini tindakan sia-sia.
Ketiga, jika si ibu hidup, sedangkan bayi yang dikandungnya meninggal. Maka boleh dilakukan operasi untuk mengeluarkan bayinya, kecuali jika dikhawatirkan membahayakan si ibu. Sebab, menurut pengalaman-Wallallahu a'lam - bayi yang meninggal dalam kandungan hampir tidak dapat dikeluarkan kecuali dengan operasi. Kalapun dibiarkan terus dalam kandungan, dapat mencegah kehamilan si ibu pada masa mendatang dan merepotkannya pula, selain itu si ibu akan tetap hidup tidak bersuami jika ia dalam keadaan menunggu iddah dari suami sebelumnya.
Ketiga, jika si ibu meninggal, sedangkan bayi yang dikandungnya hidup. Dalam kondisi ini, jika bayi yang dikandung diperkirakan tidak ada harapan untuk hidup, maka tidak boleh dilakukan operasi. Namun, jika ada harapan untuk hidup, seperti sebagian tubuhnya sudah keluar, maka boleh dilakukan pembedahan terhadap perut ibunya untuk mengeluarkan bayi tersebut. Tetapi, jika sebagian tubuh bayi belum ada yang keluar, maka ada yang berpendapat bahwa tidak boleh melakukan pembedahan terhadap perut ibu untuk mengeluarkan bayi yang dikandungnya, karena hal itu merupakan tindakan penyiksaan. Yang benar, boleh dilakukan pembedahan terhadap perut si ibu untuk mengeluarkan bayinya jika tidak ada cara lain. Dan pendapat inilah yang menjadi pilihan Ibnu Hubairah. Dikatakan dalam kitab Al Inshaf, "Pendapat ini yang lebih utama".
Apalagi pada zaman sekarang ini, operasi bukanlah merupakan tindakan penyiksaan. Karena, setelah perut dibedah, ia dijahit kembali. Di samping itu, kehormatan orang yang masih hidup lebih besar daripada orang yang sudah meninggal. Demikian juga menyelamatkan jiwa orang yang terpelihara dari kebinasaan adalah wajib hukumnya dan bayi yang dikandung adalah manusia yang terpelihara, maka wajib diselamatkan.Wallahu a'lam.
Perhatian:
Dalam hal diperbolehkannya menggunakan alat penggugur kandungan sebagaimana di atas (untuk mempercepat proses kelahiran), harus ada izin dari pihak pemilik kandungan, yaitu suami.
PENUTUP
Permasalahan ini bagai samudera tidak bertepi. Namun, orang yang mengerti tentu dapat mengembalikan permasalahan cabang kepada pokok dan kaidah umumnya serta dapat mengkiaskan segala sesuatu dengan yang semisalnya.
Semoga Allah Subhaanahu wa Ta'aala menunjukkan kita dan kaum Muslimin kepada jalan-Nya yang lurus, melimpahkan inayah-Nya, dan menjaga kita dengan bimbingan-Nya dari kesalahan. Sungguh, Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia. Shalawat dan salam semoga tetap dilimpahkan Allah kepada Nabi kita Muhammad, juga kepada keluarga dan para sahabatnya. Segala puji bagi Allah, dengan nikmat-Nya tercapailah segala kebaikan.
Selesai ringkasan Risalah Fi Dima Ath Thabiiyyah (tentang darah kebiasaan wanita) karya Syaikh Ibnu Utsaimin oleh seorang hamba yang mengharapkan rahmat dan ampunan Rabbnya, Marwan bin Musa.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam, wal hamdulillahi Rabbil alamin.

Fiqih Darah Wanita (5)

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫احكام الحيض والنفاس والاستحاضة‬‎
Fiqih Darah Wanita (5)
(DARAH NIFAS)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan fiqih darah kebiasaan wanita yang kami ringkas dari Risalah fid dima’ ath thabi’iyyah karya Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin rahimahullah, semoga Allah menjadikan rngkasan ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
DARAH NIFAS
Makna Nifas
Nifas adalah darah yang keluar dari rahim disebabkan melahirkan, baik bersamaan dengan kelahiran itu, sesudahnya atau sebelumnya (2 atau 3 hari) yang disertai dengan rasa sakit.
Para ulama berbeda pendapat tentang apakah masa nifas itu ada batas minimal dan maksimalnya. Menurut Syaikh Taqiyuddin dalam risalahnya tentang istilah-istilah yang dijadikan kaitan hukum oleh syari'at, halaman 37, "Nifas tidak ada batas minimal maupun maksimalnya. Jika ada seorang wanita mendapatkan darah lebih dari 40, 60 atau 70 hari dan berhenti, maka itu adalah nifas. Namun jika berlanjut terus maka itu darah kotor, dan jika demikian yang terjadi maka batasnya 40 hari, karena hal itu merupakan batas umum sebagaimana dinyatakan oleh banyak hadits."
Atas dasar ini, jika darah nifasnya melebihi 40 hari, padahal menurut kebiasaannya sudah berhenti setelah masa itu atau tampak tanda-tanda akan berhenti dalam waktu dekat, hendaklah si wanita menunggu sampai berhenti. Jika tidak, maka ia mandi ketika sempurna 40 hari karena selama itulah masa nifas pada umumnya. Kecuali, kalau bertepatan dengan masa haidnya maka tetap menunggu sampai habis masa haidnya. Jika berhenti setelah masa (40 hari) itu, maka hendaklah hal tersebut dijadikan sebagai patokan kebiasaannya untuk dia pergunakan pada masa mendatang.
Namun jika darahnya terus menerus keluar berarti ia istihadhah. Dalam hal ini, hendaklah ia kembali kepada hukum-hukum wanita mustahadhah (terkena darah istihadhah) yang telah dijelaskan pada pasal sebelumnya. Adapun jika si wanita telah suci dengan berhentinya darah berarti ia dalam keadaan suci, meskipun sebelum 40 hari. Untuk itu hendaklah ia mandi, shalat, berpuasa dan boleh digauli oleh suaminya. Kecuali, jika berhentinya darah itu kurang dari satu hari, maka hal itu tidak dihukumi suci. Demikianlah yang  disebutkan dalam kitab Al Mughni.
Nifas tidak dapat ditetapkan, kecuali jika si wanita melahirkan bayi yang sudah berbentuk manusia. Seandainya ia mengalami keguguran dan janinnya belum jelas berbentuk manusia maka darah yang keluar itu bukanlah darah nifas, tetapi dihukumi sebagai darah penyakit. Oleh karena itu yang berlaku baginya adalah hukum wanita mustahadhah (terkena darah istihadhah).
Minimal masa kehamilan sehingga janin berbentuk manusia adalah 80 hari dihitung dari mulai hamil, dan pada umumnya 90 hari. Menurut Al-Majd Ibnu Taimiyah, sebagaimana dinukil dalam kitab Syarhul Iqna', "Apabila seorang wanita mendapati darah yang disertai rasa sakit sebelum masa (minimal) itu, maka tidak perlu dianggap (sebagai nifas). Namun jika sesudahnya, maka ia tidak shalat dan tidak puasa. Kemudian, apabila sesudah kelahiran ternyata tidak sesuai dengan kenyataan maka ia segera kembali mengerjakan kewajiban; tetapi kalau tidak ternyata demikian, tetap berlaku hukum menurut kenyataan sehingga tidak perlu kembali mengerjakan kewajiban."
Hukum-Hukum Nifas
Hukum-hukum nifas pada prinsipnya sama dengan hukum-hukum haid, kecuali dalam beberapa hal berikut ini:
a. Iddah.
Dihitung dengan terjadinya talak, bukan dengan nifas. Sebab, jika talak jatuh sebelum isteri melahirkan, iddahnya akan habis karena melahirkan bukan karena nifas. Sedangkan jika talak jatuh setelah melahirkan, maka ia menunggu sampai haid lagi, sebagaimana telah dijelaskan.
b. Masa ila'.
Masa haid termasuk hitungan masa ila', sedangkan masa nifas tidak. Ila' yaitu jika seorang suami bersumpah tidak akan menggauli istrinya selama-lamanya, atau selama lebih dari empat bulan. Apabila dia bersumpah demikian dan si istri menuntut suami menggaulinya, maka suami diberi masa empat bulan dari waktu bersumpah. Setelah sempurna masa tersebut, suami diharuskan menggauli isterinya, atau menceraikan atas permintaan istri. Dalam masa ila' selama empat bulan, jika si wanita mengalami nifas, maka tidak dihitung terhadap sang suami, dan ditambahkan di atas empat bulan tadi selama masa nifas. Berbeda halnya dengan haid, masa haid tetap dihitung terhadap sang suami.
c. Baligh.
Masa baligh terjadi dengan haid, bukan dengan nifas. Hal itu, karena seorang wanita tidak mungkin bisa hamil sebelum haid, maka masa baligh seorang wanita terjadi dengan datangnya haid yang mendahului kehamilan.
d. Darah haid.
Jika berhenti lalu kembali keluar tetapi masih dalam waktu biasanya, maka darah itu diyakini darah haid. Misalnya, seorang wanita yang biasanya haid delapan hari, tetapi setelah empat hari, haidnya berhenti selama dua hari, kemudian datang lagi pada hari ketujuh dan kedelapan; maka tidak diragukan lagi bahwa darah yang kembali datang itu adalah darah haid.
Adapun darah nifas, jika berhenti sebelum empat puluh hari kemudian keluar lagi pada hari keempat puluh, maka darah itu diragukan. Karena itu wajib bagi si wanita shalat dan puasa fardhu yang sudah ditentukan waktunya pada waktunya dan dilarang baginya apa yang dilarang bagi wanita haid, kecuali hal-hal yang wajib. Dan setelah suci, ia harus mengqadha' apa yang diperbuatnya selama keluar darah yang diragukan, yaitu yang wajib diqadha' wanita haid. Inilah pendapat yang masyhur menunut para fuqaha' dari Madzhab Hanbali.
Namun yang benar, jika darah itu kembali keluar pada masa yang dimungkinkan masih sebagai nifas maka termasuk nifas. Jika tidak, maka darah haid. Kecuali jika darah itu keluar terus menerus maka merupakan istihadhah. Pendapat ini mendekati keterangan yang disebutkan dalam kitab AI Mughni' bahwa Imam Malik berkata, "Apabila seorang wanita mendapati darah setelah dua atau tiga hari, yakni sejak berhentinya, maka itu termasuk nifas. Jika tidak, berarti darah haid."
Pendapat ini sesuai dengan yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Allah Subhaanahu wa Ta’ala tidak pernah mewajibkan seseorang berpuasa ataupun thawaf dua kali, kecuali jika ada kesalahan dalam tindakan pertama yang tidak dapat ditutupi kecuali dengan mengqadha'. Adapun jika seseorang dapat mengerjakan kewajiban sesuai dengan kemampuannya maka ia telah terbebas dari tanggungannya. Sebagaimana firman Allah
{لاَ يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا
"Artinya: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupan. " (QS. Al-Baqarah: 286)
Dalam haid, jika si wanita suci sebelum masa kebiasaannya, maka suami boleh dan tidak terlarang menggaulinya. Adapun dalam nifas, jika ia suci sebelum empat puluh hari maka suami tidak boleh menggaulinya, menurut yang masyhur dalam madzhab Hanbali. Namun yang benar, menurut pendapat kebanyakan ulama, suami tidak dilarang menggaulinya. Sebab tidak ada dalil syar'i yang menunjukkan bahwa hal itu dilarang, kecuali riwayat yang disebutkan Imam Ahmad dari Utsman bin Abu Al-Ash bahwa istrinya datang kepadanya sebelum empat puluh hari, lalu ia berkata, "Jangan kamu dekati aku!"
Ucapan Utsman tersebut tidak berarti suami dilarang menggauli istrinya karena hal itu mungkin saja merupakan sikap hati-hati Ustman, yakni hawatir kalau isterinya belum suci benar, atau takut dapat mengakibatkan pendarahan disebabkan senggama atau sebab lainnya. Wallahu a 'lam.
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam, wal hamdulillahi Rabbil alamin.
Marwan bin Musa

Fiqih Darah Wanita (4)

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫احكام الحيض والنفاس والاستحاضة‬‎
Fiqih Darah Wanita (4)
(DARAH ISTIHADHAH)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan fiqih darah kebiasaan wanita yang kami ringkas dari Risalah fid dima’ ath thabi’iyyah karya Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin rahimahullah, semoga Allah menjadikan rngkasan ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
DARAH ISTIHADHAH
Makna Istihadhah
Istihadhah adalah keluarnya darah terus menerus pada seorang wanita tanpa berhenti sama sekali atau berhenti sebentar seperti sehari atau dua hari dalam sebulan.
Dalil kondisi pertama, yakni keluarnya darah terus menerus tanpa berhenti sama sekali adalah hadits Aisyah radhiyallahu anha, bahwa Fatimah binti Abu Hubaisy berkata kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam,
يَا رَسُوْلَ اللهِ ، إِنِّيْ لاَ اَطْهُرُ وفي رواية أُسْتَحَاضُ فَلاَ أَطْهُرُ
"Wahai Rasulullah! Sungguh, aku ini tidak pernah suci." Dalam riwayat lain disebutkan, “Aku mengalami istihadhah, sehingga tidak pernah suci." (HR. Bukhari)
Dalil kondisi kedua, yakni darah tidak berhenti kecuali sebentar adalah hadits Hamnah binti Jahsy ketika datang kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah! Sungguh, aku sedang mengalami istihadhah yang deras sekali." (Hadits riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi, ia menshahihkannya. Disebutkan pula bahwa hadits ini menurut Imam Ahmad adalah Shahih, sedangkan menurut Imam Bukhari adalah hasan).
Kondisi Wanita Mustahadhah
Ada tiga kondisi bagi wanita mustahadhah, yaitu:
[a]. Sebelum mengalami istihadhah, ia mempunyai haid yang jelas waktunya. Dalam kondisi ini, hendaklah ia berpedoman kepada jadwal haidnya yang telah diketahui sebelumnya. Maka pada masa itu dihitung sebagai haid dan berlaku baginya hukum-hukum haid. Adapun selain masa tersebut merupakan istihadhah yang berlaku baginya hukum-hukum istihadhah.
Hal ini berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu anha bahwa Fatimah binti Abi Hubaisy bertanya kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam,
أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ أَبِى حُبَيْشٍ سَأَلَتِ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم قَالَتْ : إِنِّى أُسْتَحَاضُ فَلاَ أَطْهُرُ ، أَفَأَدَعُ الصَّلاَةَ ؟ فَقَالَ :« لاَ ، إِنَّ ذَلِكَ عِرْقٌ ، وَلَكِنْ دَعِى الصَّلاَةَ قَدْرَ الأَيَّامِ الَّتِى كُنْتِ تَحِيضِينَ فِيهَا ، ثُمَّ اغْتَسِلِى وَصَلِّى » . 
"Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku mengalami istihadhah sehingga tidak pernah suci, apakah aku meninggalkan shalat?" Beliau menjawab, “Tidak, itu adalah darah penyakit. Namun tinggalkan shalat sebanyak hari yang biasa kamu haid, kemudian mandilah dan lakukanlah shalat." (HR. Bukhari)
Demikian pula berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda keapda Ummu Habibah binti Jahsy,
« امْكُثِى قَدْرَ مَا كَانَتْ تَحْبِسُكِ حَيْضَتُكِ ثُمَّ اغْتَسِلِى وَصَلِّى » . 
"Diamlah selama masa haid yang biasa menghalangimu, lalu mandilah dan lakukan shalat."
[b]. Tidak mempunyai haid yang jelas waktunya sebelum mengalami istihadhah, karena istihadhah tersebut terus menerus terjadi padanya dari saat pertama kali ia mendapati darah. Dalam kondisi ini, hendaklah ia melakukan tamyiz (pembedaan), jika darahnya berwarna hitam, atau kental, atau berbau maka yang terjadi adalah haid dan berlaku baginya hukum-hukum haid. Dan jika tidak demikian, yang terjadi adalah istihadhah dan berlaku baginya hukum-hukum istihadhah. Hal ini berdasrkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam kepada Fatimah binti Abu Hubaisy,
إِذَا كَانَ دَمُ الْحَيْضَةِ فَإِنَّهُ أَسْوَدُ يُعْرَفُ ، فَإِذَا كَانَ ذَلِكَ فَامْسُكِيْ عَنِ الصَّلاَة ِفَإِذاَ كَانَ الْآخَرُ فَتَوَضَّئِ وَصَلِّي فَإِنَّمَا هُوَ عِرْقٌ
"Darah haid, maka berwarna hitam yang sudah dikenal. Jika demikian maka tinggalkan shalat. Tetapi jika selainnya maka berwudhulah dan lakukan shalat karena itu darah penyakit‌.” (HR. Abu Dawud, Nasai, dan dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibbandan Hakim).
Hadits ini, meskipun perlu ditinjau lagi dari segi sanad dan matannya, tetapi telah diamalkan oleh para ulama rahimahumullah. Dan hal itu lebih utama daripada dikembalikan kepada kebiasaan kaum wanita pada umumnya.
Contoh: Seorang wanita melihat darah di awal ia melihat darah, dan darah itu terus keluar, tetapi selama sepuluh hari warnanya hitam, selebihnya merah. Atau selama sepuluh hari darahnya kental, selebihnya tidak kental, atau selama sepuluh hari berbau haidh, selebihnya tidak, maka pada saat darah itu berwarna hitam, atau kental, atau berbau adalah darah haidh, selain itu bukan darah haidh.
[c].Tidak mempunyai haid yang jelas waktunya dan tidak bisa dibedakan secara tepat darahnya. Misalnya, jika istihadhah yang dialaminya terjadi terus menerus dari saat pertama kali melihat darah, sementara darahnya satu sifat saja atau berubah-ubah dan tidak mungkin dianggap sebagai darah haid. Dalam kondisi ini, hendaklah ia mengambil kebiasaan kaum wanita pada umumya. Maka masa haidnya adalah enam atau tujuh hari pada setiap bulan dihitung mulai dari saat pertama kali mendapatkan darah. Sedangkan selebihnya merupakan istihadhah.
Misalnya, seorang wanita saat pertama kali melihat darah pada tanggal 5 dan darah itu keluar terus menerus tanpa dapat dibedakan secara tepat mana yang darah haid, baik melalui warna ataupun dengan cara lain. Maka haidnya pada setiap bulan dihitung selama enam atau tujuh hari dimulai dari tangal 5 tersebut. Hal ini berdasarkan hadits Hammah binti Jahsy radhiyallahu anha bahwa ia berkata kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, "Wahai Rasulullah! sungguh aku sedang mengalami istihadhah yang deras sekali. Bagaimana pendapatmu tentangnya karena ia telah mengahalangiku untuk melaksanakan shalat dan berpuasa?”Beliau bersabda, "Aku beritahukan kepadamu (untuk menggunakan) kapas dengan meletakkannya pada farji, karena hal itu dapat menyerap darah‌." Hamnah berkata, “Darahnya lebih banyak dari itu." Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pun bersabda, "Ini hanyalah salah satu usikan setan. Maka hitunglah haidmu 6 atau 7 hari menurut ilmu Allah Taala, lalu mandilah sampai kamu merasa telah bersih dan suci, kemudian shalatlah selama 24 atau 23 hari dan berpuasalah‌.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi. Menurut Ahmad dan Tirmidzi hadits ini shahih sedang menurut Bukhari hasan]
Sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, “6 atau 7 hari‌” tersebut bukan untuk memberikan pilihan, tapi agar si wanita berijtihad dengan cara memperhatikan mana yang lebih mendekati kondisinya dari wanita lain yang lebih mirip kondisi fisiknya, lebih dekat usia dan hubungan kekeluargaannya serta memperhatikan mana yang lebih mendekati haid dari keadaan darahnya dan pertimbangan-pertimbangan lainnya. Jika kondisi yang lebih mendekati selama 6 hari, maka dia hitung masa haidnya 6 hari; tetapi jika kondisi yang lebih mendekati selama 7 hari, maka dia hitung masa haidnya 7 hari.
Keadaan Wanita Yang Mirip Mustahadhah
Kadangkala seorang wanita, karena sesuatu sebab, mengalami pendarahan pada farjinya, seperti karena operasi pada rahim atau sekitarnya. Hal ini ada dua macam:
Pertama, diketahui bahwa si wanita tidak mungkin haid lagi setelah operasi, seperti operasi pengangkatan atau penutupan rahim yang mengakibatkan darah tidak bisa keluar lagi darinya, maka tidak berlaku baginya hukum-hukum mustahadhah. Namun hukumnya adalah hukum wanita yang mendapati cairan kuning, atau keruh, atau basah setelah masa suci. Oleh karenanya, ia tidak boleh meninggalkan shalat atau puasa dan boleh digauli. Tidak wajib baginya mandi karena keluarnya darah, tetapi ia harus membersihkan darah tersebut ketika hendak shalat dan melekatkan kain atau semisalnya (seperti pembalut wanita) pada farjinya untuk menahan keluarnya darah, kemudian berwudhu untuk shalat. Janganlah ia berwudhu untuk shalat kecuali telah masuk waktunya, jika shalat itu telah tertentu waktunya seperti shalat lima waktu; jika tidak ditentukan waktunya maka ia berwudhu ketika hendak mengerjakannya seperti shalat sunat yang mutlak.
Kedua, tidak diketahui bahwa si wanita tidak bisa haid setelah operasi, yakni diperkirakan masih bisa haid lagi. Maka berlaku baginya hukum mustahadhah. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada Fatimah binti Abi Hubaisy,
« إِنَّمَا ذَلِكَ عِرْقٌ وَلَيْسَ بِالْحَيْضَةِ ، فَإِذَا أَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَاتْرُكِى الصَّلاَةَ ،
"Itu hanyalah darah penyakit, bukan haid. Jika datang haid, maka tinggalkan shalat."
Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, "Jika datang haid...dst." menunjukkan bahwa hukum mustahadhah berlaku bagi wanita yang berkemungkinan haid, yang bisa datang atau berhenti.
Adapun wanita yang tidak berkemungkinan haid maka darah yang keluar pada prinsipnya, dihukumi sebagai darah penyakit.
Hukum-Hukum Istihadhah
Hukum-hukum haid yang penting telah dijelaskan. Adapun hukum-hukum istihadhah seperti halnya hukum-hukum tuhr (keadaan suci). Tidak ada perbedaan antara wanita mustahdhah dan wanita suci, kecuali dalam hal berikut ini:
[a]. Wanita mustahadhah wajib berwudhu setiap kali hendak shalat. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada Fatimah binti Abu Hubaisy,
ثُمَّ تَوَضَّئِي لِكُلِّ صَلَاةٍ
"Kemudian berwudhulah kamu setiap kali hendak shalat." (HR. Bukhari dalam Bab Membersihkan Darah)
Hal ini memberikan pemahaman bahwa wanita mustahadhah tidak berwudhu untuk shalat yang telah tertentu waktunya kecuali jika telah masuk waktunya. Sedangkan shalat yang tidak tertentu waktunya, maka ia berwudhu pada saat hendak melakukannya.
[b]. Ketika hendak berwudhu, ia membersihkan sisa-sisa darah dan melekatkan kain dengan kapas (atau pembalut wanita) pada farjinya untuk mencegah keluarnya darah. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada Hamnah,
أنْعَتُ لَكَ الْكُرْسُفَ فَإِنَّهُ يُذْهِبُ الدَّمَ ، قَالَتْ : فَإِنْهُ أَكْثَرُ مِنْ ذَلِكَ ، قَالَ : فَاتَّخِذِيْ ثَوْباً قَالَتْ : هُوَ أَكْثَرُ مِنْ ذَلِكَ . قَالَ : فَتَلَجَّمِيْ
"Aku beritahukan kepadamu (untuk menggunakan) kapas, karena hal itu dapat menyerap darah." Hamnah berkata, “Darahnya lebih banyak dari itu." Beliau bersabda, "Gunakanlah kain!" Hamnah berkata, "Darahnya masih banyak pula." Beliau pun bersabda, "Maka pakailah penahan!"
Kalaupun masih ada darah yang keluar setelah tindakan tersebut, maka tidak apa-apa hukumnya. Karena sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada Fatimah binti Abu Hubaisy,
اِجْتَنِبِي الصَّلاَةَ أَيَّامَ حَيْضِكِ ثُمَّ اغْتَسِلِيْ وَتَوَضَّئِيْ لِكُلِّ صَلاَةٍ ، ثُمَّ صَلِّي، وَإِنْ قَطَرَ الدَّمُ عَلَى الْحَصِيْرِ
"Tinggalkan shalat selama hari-hari haidmu, kemudian mandilah dan berwudhulah untuk setiap kali shalat, lalu shalatlah meskipun darah menetes di atas alas. " (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
[c]. Jima' (senggama). Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehannya pada kondisi jika ditinggalkan tidak dikhawatirkan menyebabkan zina. Yang benar adalah boleh secara mutlak Karena ada banyak wanita mencapai sepuluh atau lebih, mengalami istihadhah pada zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, namun Allah dan Rasul-Nya tidak melarang jima' dengan mereka. Firman Allah Ta 'ala,
 فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ
... Hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid ... " (QS. Al-Baqarah: 222)
 Ayat ini menunjukkan bahwa di luar keadaan haid, suami tidak wajib menjauhkan diri dari istri.
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam, wal hamdulillahi Rabbil alamin.

Marwan bin Musa
 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger