Akhlak Hilm (Santun)

Senin, 29 Desember 2014
بسم الله الرحمن الرحيم
Akhlak Hilm (Santun)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini pembahasan tentang akhlak hilm (santun).  Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Pengantar
Setelah Thufail bin ‘Amr Ad Dausiy masuk Islam, ia meminta izin kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk pergi mendakwahi sukunya “Daus” kepada agama Islam, lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengizinkannya. Tetapi mereka (kaumnya) tidak mau mengikuti ajakan Thufail, maka ia kembali kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata, “Sesungguhnya Daus telah durhaka dan enggan. Maka doakanlah keburukan atas mereka.” Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menghadap kiblat dan mengangkat kedua tangannya, lalu para sahabat berkata, “Mereka (suku Daus) akan binasa. Karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam akan mendoakan kecelakaan atas mereka, sedangkan doa Beliau mustajab. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa dengan berkata, “Ya Allah, berilah petunjuk kepada Daus dan datangkanlah mereka.” (Muttafaq ‘alaih) Maka Thufail kembali kepada sukunya dan mengajak mereka untuk yang kedua kalinya kepada Islam, mereka pun semua masuk Islam. Demikianlah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau adalah seorang yang santun; mendoakan kebaikan bagi mereka dan tidak mendoakan keburukan.
**************
Pada suatu malam, khalifah Umar bin Abdul ‘Aziz keluar untuk memantau keadaan rakyatnya. Ketika itu Beliau ditemani oleh seorang pengawal, maka keduanya masuk masjid. Saat itu suasana masjid gelap, lalu Umar terpeleset menimpa seorang laki-laki yang sedang tidur, maka orang itu mengangkat kepalanya dan berkata kepada Umar, “Apakah kamu sudah gila?” Umar menjawab, “Tidak.” Pengawalnya pun hendak memukul laki-laki itu, namun Umar berkata kepadanya, “Jangan kamu lakukan. Dia hanyalah bertanya kepadaku, “Apakah kamu sudah gila?” Lalu aku menjawab “Tidak”.
Ada seorang sahabat yang terkenal dengan sikapnya yang santun, ia adalah Ahnaf bin Qais. Disebutkan, bahwa ada seorang yang mencaci-makinya, namun ia tidak membalasnya dan terus berjalan, lalu orang yang mencaci-makinya mengikutinya dari belakang sambil mencaci-makinya. Saat Ahnaf bin Qais hampir tiba di kampungnya, maka Ahnaf bin Qais berkata, “Jika masih ada unek-unek yang hendak engkau sampaikan, maka sampaikanlah sebelum ada orang yang mendengarnya, sehingga ia akan menyakitimu.”
Disebutkan pula, bahwa ada segolongan orang yang mengirimkan seseorang untuk mendatangi Ahnaf dengan maksud mencaci-makinya, namun Ahnaf diam saja dan tidak membalas, lalu orang itu terus mencaci-makinya hingga tiba waktu makan siang, maka Ahnaf berkata kepadanya, “Wahai fulan! Makan siang kita telah tiba, ayo ikut bersamaku (untuk makan) kalau kamu mau.: Maka orang yang mencaci-makinya menjadi malu dan pergi.
Apa akhlak hilm (santun) itu?
Hilm (santun) artinya mengendalikan jiwa, menahan marah, dan menjauhi sikap itu serta membalas keburukan dengan kebaikan. Akhlak ini bukanlah berarti seseorang ridha dengan kehinaan atau menerima kerendahan. Akhlak ini hanyalah sikap tidak memperhatikan cacian manusia dan kurang mempedulikan cacian dan hinaan mereka.
Santunnya Allah
Santun adalah salah satu sifat Allah. Allah Subhaanahu wa Ta'aala adalah Al Halim (Maha Penyantun), Dia menyaksikan kemaksiatan mereka yang bermaksiat terhadap  perintah-Nya, namun Dia memberikan kesempatan kepada mereka untuk bertobat dan tidak segera menyiksa. Dia berfirman,
وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ غَفُوْرٌ حَلِيْمٌ
“Ketahuilah, bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (Al Baqarah: 235)
Santunnya para Nabi
Santun merupakan salah satu akhlak di antara akhlak para nabi. Allah Ta’ala berfirman tentang Nabi Ibrahim ‘alaihis salam,
إِنَّ إِبْرَاهِيْمَ لَأَوَّاهٌ حَلِيْمٌ
Sesungguhnya Ibrahim orang yang sangat lembut hatinya lagi sangat santun.” (QS. At Taubah: 114)
Dia juga berfirman tentang Isma’il,
فَبشَّرْنَاهُ بِغُلاَمٍ حَلِيْمٍ
Maka Kami berikan kabar gembira kepadanya dengan seorang anak yang sangat santun.” (QS. Ash Shaaffaat: 101)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga adalah manusia yang paling santun. Beliau tidak sempit dadanya karena kekeliruan yang dilakukan sebagian kaum muslimin, bahkan Beliau mengajarkan para sahabatnya untuk mengendalikan jiwa dan menahan marah.
Keutamaan sikap santun
1.     Santun adalah sifat yang dicintai Allah ‘Azza wa Jalla.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada salah seorang sahabat,
إِنَّ فِيْكَ خَصْلَتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللهُ: الْحِلْمُ وَالْاَنَاةُ
“Sesungguhnya pada dirimu ada dua sifat yang dicintai Allah; santun dan perlahan-lahan.” (HR. Muslim)
2.     Santun merupakan sarana untuk memperoleh keridhaan Allah dan surga-Nya.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ دَعَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُءُوسِ الْخَلَائِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ اللَّهُ مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ مَا شَاءَ
“Barang siapa yang menahan marahnya, padahal dia mampu mewujudkannya, maka Allah ‘Azza wa Jalla akan memanggilnya di hadapan seluruh makhluk-Nya pada hari Kiamat, lalu memberikan pilihan kepadanya untuk memilih bidadari yang ia mau.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dihasankan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 6518)
3.     Santun adalah bukti kuatnya azam pelakunya dan mampu menahan emosi.
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالصُّرْعَةِ ، إِنَّمَا  الشَّدِيْدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Orang yang kuat bukanlah orang yang kuat bergulat. Orang yang kuat adalah orang yang menguasai dirinya ketika marah.” (HR. Muslim)
4.     Santun adalah sarana untuk mengalahkan musuh, menaklukkan setan, serta menjadikan musuh sebagai kawan.
Allah Ta’ala berfirman,
ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ
Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS. Fushshilat: 34)
5.     Santun merupakan sarana untuk meraih kecintaan manusia dan penghormatan mereka.
6.     Santun menjauhkan pelakunya dari jatuh ke dalam kesalahan dalam bersikap dan tidak memberikan kesempatan kepada setan untuk mengusai dirinya.
Marah
Lawan dari santun adalah marah. Marah artinya mewujudkan rasa marahnya dan tidak sanggup mengendalikan jiwa.
Pernah ada seorang yang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta wasiat, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berulang kali mengatakan,
لاَ تَغْضَبْ
“Jangan kamu marah.” (HR. Bukhari)
Marah terbagi dua; marah yang terpuji dan marah yang tercela.
Marah yang terpuji adalah marah yang timbul karena dilanggarnya salah satu larangan Allah. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam seorang panutan dan teladan terbaik, tidak pernah marah selamanya kecuali jika larangan Allah dilanggar.
Marah yang tercela adalah marah yang dilakukan bukan karena Allah atau sebabnya adalah karena sesuatu yang ringan, dimana seseorang tidak mampu menguasai dirinya, yang biasanya berakhir kepada hal yang tidak terpuji. Di antara marah yang tercela adalah seorang marah pada suatu keadaan yang sesungguhnya ia mampu membalas keburukan itu dengan sikap santun dan mengendalikan jiwa.
Di antara keadaan yang memungkinkan dihadapi dengan sikap santun dan pengendalian diri adalah seperti yang dikisahkan berikut, bahwa ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam duduk dengan para sahabatnya, maka ada seorang yang mencaci-maki Abu Bakar, tetapi Abu Bakar diam, kemudian orang itu mencaci-maki lagi, namun Abu Bakar tetap diam, lalu untuk yang ketiga kalinya ia mencaci-maki lagi, maka Abu Bakar pun membalasnya, maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bangun (dari majlis) ketika Abu Bakar membela diri, lalu Abu Bakar berkata kepada Beliau, “Apakah engkau marah kepadaku wahai Rasulullah?” Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan, bahwa salah satu malaikat dari langit turun mendustakan ucapannya, tetapi ketika engkau membalas, maka setan akhirnya yang duduk, dan aku tidak mau duduk di majlis yang di sana setan ikut duduk (HR. Abu Dawud dan dihasankan oleh Al Albani dalam Shahih Abi Dawud dan dalam Ash Shahiihah 2376)
Mengobati marah
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan beberapa sarana untuk mengobati marah. Di antaranya:
1.     Diam.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْكُتْ
“Apabila salah seorang di antara kamu marah, maka hendaknya ia diam.” (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 693)
2.     Mengucapkan A’udzu billahi minasy syaithanirrajim (artinya: aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk).
Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ قَالَ: أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ، ذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُ
“Kalau sekiranya ia mengucapkan A’udzu billahi minasy syaithanirrajim tentu akan hilang marahnya.” (HR. Bukhari)
3.     Merubah posisi sebelumnya.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ وَإِلَّا فَلْيَضْطَجِعْ
“Apabila salah seorang di antara kamu marah, sedangka dia dalam keadaan berdiri, maka hendaknya ia duduk. Jika marahnya hilang, (maka sudah cukup). Jika belum, maka hendaknya ia berbaring (berbaring di atas rusuknya atau bersandar).” (HR. Abu Dawud dan Ahmad, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 694)
4.     Melatih jiwa untuk bersikap santun.
Santun merupakan sarana terpenting dalam mengobati marah. Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan hal itu, Dia berfirman,
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
“Jadilah kamu pemaaf, suruhlah orang lain berbuat ma’ruf dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (QS. Al A’raaf: 199).
Dia juga menyifati hamba-hamba (pilihan)-Nya, Dia berfirman,
وَإِذَا مَا غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ
“Dan apabila mereka marah mereka memberi maaf.” (QS. Asy Syuuraa: 37)
Wallahu a'lam, wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji': http://islam.aljayyash.net/, Maktabah Syamilah versi 3.45, Modul Akhlak kelas 8 (Penulis), dll.

Waktu-Waktu Yang Dilarang Melakukan Shalat

Minggu, 28 Desember 2014
بسم الله الرحمن الرحيم
Waktu-Waktu Yang Dilarang Melakukan Shalat
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini pembahasan waktu-waktu yang dilarang melakukan shalat. Semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma amin.
Waktu-waktu yang dilarang melakukan shalat
Telah ada hadits-hadits yang melarang melakukan shalat pada waktu-waktu ini, yaitu: (1) setelah shalat Subuh sampai terbit matahari, (2) ketika matahari baru terbit sampai setinggi satu tombak, (3) ketika matahari berada di tengah langit sampai condong ke barat, (4) setelah shalat Ashar sampai tenggelam matahari, dan (5) ketika matahari mau tenggelam hingga tenggelam. Hal ini berdasarkan hadits-hadits berikut:
لَا صَلَاةَ بَعْدَ صَلَاةِ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ، وَلَا صَلَاةَ بَعْدَ صَلَاةِ الْفَجْرِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ
“Tidak ada shalat setelah shalat Ashar sampai matahari tenggelam, dan tidak ada shalat setelah shalat Fajar sampai matahari terbit.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Amr bin ‘Anbasah radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Nabi Allah, ajarkanlah kepadaku pengetahuan yang Allah ajarkan kepadamu yang tidak aku ketahui! Beritahukanlah kepadaku tentang shalat!”
Maka Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَلِّ صَلَاةَ الصُّبْحِ، ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلَاةِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ حَتَّى تَرْتَفِعَ، فَإِنَّهَا تَطْلُعُ حِينَ تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِينَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ، ثُمَّ صَلِّ فَإِنَّ الصَّلَاةَ مَشْهُودَةٌ مَحْضُورَةٌ حَتَّى يَسْتَقِلَّ الظِّلُّ بِالرُّمْحِ، ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلَاةِ، فَإِنَّ حِينَئِذٍ تُسْجَرُ جَهَنَّمُ، فَإِذَا أَقْبَلَ الْفَيْءُ فَصَلِّ، فَإِنَّ الصَّلَاةَ مَشْهُودَةٌ مَحْضُورَةٌ حَتَّى تُصَلِّيَ الْعَصْرَ، ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلَاةِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ، فَإِنَّهَا تَغْرُبُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِينَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ
“Lakukanlah shalat Subuh kemudian berhentilah (tidak melakukan shalat) sampai matahari terbit dan naik. Hal itu, karena matahari terbit di antara dua tanduk setan[i]. Pada saat itu orang-orang kafir sujud kepadanya. Selanjutnya, lakukanlah shalat! Karena shalat itu disaksikan dan dihadiri (para malaikat) sampai tiba bayangan hanya pada tombak (tidak ada bayangan sama sekali di bumi karena posisi matahari berada di tengah langit). Ketika itu, tahanlah dari melakukan shalat, karena pada saat itu neraka Jahannam sedang dinyalakan. Saat bayangan telah muncul (tanda waktu Zhuhur), maka shalatlah, karena shalat itu disaksikan dan dihadiri para malaikat sampai kamu shalat Ashar. Selanjutnya berhentilah dari melakukan shalat sampai matahari tenggelam, karena ia tenggelam antara dua tanduk setan dan pada saat itu orang-orang kafir sujud kepadanya.” (HR. Ahmad dan Muslim. Dalam riwayat Abu Dawud dari hadits Amr bin Anbasah dengan lafaz “وَتَرْتَفِعُ قِيسَ رُمْحٍ أَوْ رُمْحَيْنِ” (artinya: dan matahari naik setinggi satu atau dua tombak)).
Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu berkata,
ثَلَاثُ سَاعَاتٍ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّيَ فِيهِنَّ، أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيهِنَّ مَوْتَانَا: «حِينَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ، وَحِينَ يَقُومُ قَائِمُ الظَّهِيرَةِ حَتَّى تَمِيلَ الشَّمْسُ، وَحِينَ تَضَيَّفُ الشَّمْسُ لِلْغُرُوبِ حَتَّى تَغْرُبَ»
“Ada tiga waktu yang Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam melarang kami melakukan shalat pada waktu itu atau menguburkan orang-orang yang mati di antara kami ketika itu, yaitu: (1) ketika matahari baru terbit sampai naik, (2) ketika matahari berada di tengah-tengah hingga bergeser, dan (3) ketika matahari mau tenggelam hingga tenggelam.” (HR. Jamaah Ahli Hadits selain Bukhari)
Faedah:
Menurut perkiraan, bahwa jarak antara terbitnya matahari hingga setinggi satu tombak kurang lebih 15-20 menit sehingga setelahnya boleh dilakukan shalat syuruq (setelah matahari terbit yang merupakan awal waktu Dhuha).
Jarak antara matahari berada di tengah-tengah hingga bergeser ke barat kurang lebih 5 menit, sedangkan jarak antara matahari mau tenggelam hingga tenggelam kurang lebih 15-20 menit. Wallahu a’lam.
Pendapat para fuqaha (Ahli Fiqh) tentang shalat setelah shalat Subuh dan setelah shalat Ashar
Jumhur ulama berpendapat bolehnya mengqadha shalat (fardhu) yang terlewat setelah shalat Subuh dan Ashar. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ نَسِيَ صَلَاةً فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا
“Barang siapa yang lupa menjalankan shalat, maka hendaklah ia mengerjakannya ketika ingat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Adapun melakukan shalat sunah (setelah shalat Subuh atau Ashar), maka telah dimakruhkan oleh sejumlah sahabat, di antaranya Ali, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Abu Hurairah, dan Ibnu Umar. Bahkan Umar memukul orang yang melakukan shalat sunah dua rakaat setelah shalat Ashar di hadapan para sahabat tanpa ada seorang pun dari mereka yang mengingkari sebagaimana Khalid bin Al Walid juga melakukan hal yang sama. Pendapat yang menyatakan makruhnya juga dipegang oleh Tabi’in, di antaranya Al Hasan dan Sa’id bin Al Musayyib. Sedangkan dari kalangan imam madzhab yang memakruhkannya adalah Abu Hanifah dan Malik.
Namun Syafi’i berpendapat bolehnya melakukan shalat sunah (setelah shalat Subuh atau Ashar) jika shalat sunah tersebut memiliki sebab seperti shalat Tahiyyatul Masjid dan shalat sunah wudhu. Beliau berdalih dengan shalat sunah (rawatib) Zhuhur yang pernah dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah shalat Ashar.
Menurut penyusun Fiqhussunnah, bahwa pendapat Syafi’i merupakan pendapat yang lebih dekat kepada kebenaran.
Adapun ulama madzhab Hanbali, maka mereka berpendapat haramnya melakukan shalat sunah setelah shalat Subuh atau Ashar meskipun mempunyai sebab selain dua rakaat thawaf. Hal ini berdasarkan hadits Jubair bin Muth’im, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ، لَا تَمْنَعُوا أَحَدًا طَافَ بِهَذَا البَيْتِ، وَصَلَّى أَيَّةَ سَاعَةٍ شَاءَ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ»
“Wahai Bani Abdu Manaf! Janganlah kalian menghalangi seseorang berthawaf di rumah ini dan melakukan shalat pada waktu kapan saja baik malam maupun siang.” (HR. Para pemilik kitab Sunan, dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Tirmidzi)
Pendapat para fuqaha (Ahli Fiqh) tentang shalat ketika matahari baru terbit, ketika matahari mau tenggelam, dan ketika matahari berada di tengah langit
Ulama madzhab Hanafi berpendapat tidak sahnya shalat secara mutlak pada waktu-waktu tersebut baik shalat fardhu atau wajib maupun sunah, baik sifatnya qadha maupun adaa’ (bukan qadha). Namun mereka mengecualikan untuk (shalat) Ashar dan shalat Jenazah, jika ternyata bertepatan pada waktu-waktu tersebut, maka boleh dilakukan tanpa makruh, demikian pula sujud tilawah; jika dibacakan ayat-ayatnya pada waktu-waktu tersebut, dipersilahkan melakukan sujud.
Adapun Abu Yusuf mengecualikan (membolehkan) melakukan shalat sunah pada hari Jum’at meskipun matahari berada di tengah langit. Sedangkan ulama madzhab Syafi’i berpendapat, makruhnya shalat sunah yang tidak memiliki sebab pada waktu-waktu tersebut. Sedangkan shalat fardhu secara mutlak, shalat sunah yang memiliki sebab, shalat sunah ketika matahari berada di tengah langit pada hari Jum’at, shalat sunah di tanah haram Mekkah. Ini semua mubah tanpa makruh.
Adapun ulama madzhab Maliki, maka mereka berpendapat haramnya shalat sunah ketika matahari terbit dan tenggelam meskipun mempunyai sebab, demikian pula shalat sunah yang dinadzarkan, sujud tilawah, shalat jenazah kecuali jika dikhawatirkan jenazahnya sudah berubah maka boleh. Dan mereka membolehkan shalat yang fardhu ‘ain baik yang adaa’ (bukan qadha) maupun qadha’ pada dua waktu itu, sebagaimana mereka membolehkan shalat secara mutlak baik fardhu maupun sunah ketika matahari berada di tengah langit.
Al Baji dalam Syarh Muwaththa berkata, “Dalam Al Mabsuth disebutkan, dari Ibnu Wahb, bahwa Malik pernah ditanya tentang shalat di tengah hari, maka ia menjawab, “Saya mendapatkan orang-orang melakukan shalat pada hari Jum’at di tengah hari. Memang ada hadits-hadits yang melarang shalat ketika itu (matahari di tengah langit), namun aku tidak melarangnya karena aku melihat orang-orang (para sahabat) melakukannya, namun aku tidak menyukainya karena adanya larangan.”
Adapun ulama madzhab Hanbali, maka mereka berpendapat tidak sahnya shalat sunah secara mutlak pada waktu yang tiga tersebut baik ada sebabnya maupun tidak, baik di Mekkah maupun di luar Mekkah, baik pada hari Jum’at maupun pada hari selainnya selain Tahiyyatul Masjid pada hari Jum’at. Mereka membolehkannya tanpa memakruhkannya baik ketika matahari di tengah-tengah maupun ketika khatib sedang berkhutbah, namun menurut mereka haram melakukan shalat Jenazah pada waktu-waktu itu kecuali jika dikhawatirkan jasadnya berubah, maka boleh tanpa makruh. Mereka juga membolehkan mengqadha shalat yang terlewat, shalat yang dinadzarkan, dua rakaat thawaf meskipun sunah pada tiga waktu ini.
Penyusun Fiqhussunnah berkata, “Kami sebutan pendapat para imam di sini karena kuatnya dalil mereka masing-masing.” Wallahu a’lam.
Shalat sunah setelah terbit fajar dan sebelum ditunaikan shalat Subuh
Dari Yasar maula Ibnu Umar, ia berkata, “Ibnu Umar pernah melihatku shalat setelah terbit fajar, maka ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar menemui kami ketika kami melakukan shalat di waktu ini, lalu Beliau bersabda, “Hendaknya yang hadir menyampaikan yang tidak hadir, yaitu tidak ada shalat setelah (tiba) Subuh selain dua rakaat.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Hadits ini meskipun dhaif namun memiliki jalur-jalur yang satu sama lain saling menguatkan, sehingga bisa dipakai hujjah tentang makruhnya melakukan shalat sunah setelah terbit fajar melebihi dua rakaat. Demikianlah yang dinyatakan Syaukani.
Al Hasan, Syafi’i, dan Ibnu Hazm berpendapat bolehnya melakukan shalat sunah secara mutlak tanpa makruh sama sekali. Namun Malik membatasi hanya bagi orang yang terlewatkan shalat malam karena udzur, lalu ia menyebutkan alasannya, yaitu sampai berita kepadanya, bahwa Abdullah bin Abbas, Al Qasim bin Muhammad, Abdullah bin ‘Amir bin Rabi’ah melakukan shaat witir setelah terbit fajar, dan Abdullah bin Mas’ud berkata, “Aku tidak peduli untuk tetap shalat witir meskipun shalat Subuh telah ditegakkan.”
Dari Yahya bin Sa’id ia berkata, “Ubadah bin Ash Shamit pernah mengimami suatu kaum, lalu suatu hari ia keluar untuk shalat Subuh, kemudian muazin melakukan iqamat shalat Subuh, lalu Ubadah menyuruhnya berhenti sampai ia melakukan shalat witir, kemudian ia shalat Subuh mengimami mereka.”
Dari Sa’id bin Jubair, bahwa Ibnu Abbas pernah tidur lalu bangun, kemudian ia berkata kepada pembantunya, “Lihatlah apa yang dilakukan orang-orang,” ketika itu matanya telah buta, lalu pembantunya pergi kemudian kembali dan berkata, “Orang-orang telah selesai shalat Subuh,” maka Ibnu Abbas bangun lalu berwitir kemudian melakukan shalat Subuh.
Melakukan shalat sunah ketika iqamat telah dikumandangkan
Ketika iqamat telah ditegakkan, maka makruh hukumnya menyibukkan diri dengan shalat sunah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«إِذَا أُقِيمَتِ الصَّلَاةُ فَلَا صَلَاةَ إِلَّا الْمَكْتُوبَةُ»
“Apabila iqamat sudah dikumandangkan, maka tidak ada lagi shalat selain shalat fardhu.” (HR. Ahmad, Muslim, dan para pemilik kitab Sunan)
Dari Abdullah bin Sirjis, ia berkata, “Ada seorang yang masuk ke masjid sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat Subuh, lalu ia shalat dulu dua rakaat di pojok masjid kemudian masuk shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan salam, maka Beliau bersabda, “Wahai fulan! Shalat (Subuh) mana yang kamu anggap? Shalatmu ketika sendiri atau shalatmu ketika bersama kami?” (HR. Muslim, Abu Dawud, dan Nasa’i)
Pengingkaran yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tanpa menyuruh orang itu mengulangi shalatnya menunjukkan sahnya shalat tersebut meskipun makruh. Dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Aku pernah shalat, namun muazin sudah mulai iqamat, maka Nabi Allah shallallahu ‘alaihi wa sallam menarikku dan bersabda, “Apakah kamu shalat Subuh empat rakaat?” (HR. Baihaqi, Thabrani, Abu Dawud Ath Thayalisi, Abu Ya’la, dan Hakim ia berkata, “Hadits tersebut sesuai syarat Bukhari dan Muslim.”)
Dari Abu Musa Al Asy’ariy radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat seorang shalat (sunah) dua rakaat Subuh ketika muazin sudah iqamat, maka Beliau memegang pundaknya dan bersabda, “Bukankah shalat ini sebelum dilakukan ini (iqamat)?” (HR. Thabrani, Al Iraqi berkata, “Isnadnya jayyid.”)
Abu Bakr Al Jazairiy berkata, “Tidak boleh memulai melakukan shalat sunah ketika shalat fardhu telah diiqamatkan. Jika ternyata sudah iqamat, namun ia sedang melakukan shalat sunah, maka hendaknya ia putuskan jika rakaatnya belum sampai bangun dari ruku. Jika sudah, maka ia sempurnakan secara ringan.” (Minhajul Muslim hal. 185)
Wallahu a'lam, wa shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam, wa akhiru da’wana anil hamdulillahi Rabbil ’alamin.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhussunnah (S. Sabiq), Minhajul Muslim (Abu Bakr Al Jaza’iriy), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.


[i] Imam Nawawi berkata, “Setan mendekatkan kepalanya kepada matahari pada waktu-waktu itu agar orang-orang kafir yang bersujud kepada matahari seakan seperti bersujud kepadanya dalam gambaran. Ketika itulah, setan dan para pengikutnya tampak mempunyai kekuatan dan mampu mengelabui orang-orang yang shalat dalam shalatnya, maka dimakruhkan shalat pada saat ini untuk menjaga shalat itu sebagaimana dimakruhkan shalat di tempat-tempat yang ditempati setan.”

Belajar Mudah Ilmu Tauhid (12)

Jumat, 26 Desember 2014
بسم الله الرحمن الرحيم

Belajar Mudah Ilmu Tauhid (12)

(Thiyarah, Tanjim, dan Istisqa’ bil Anwa)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut ini pembahasan tentang Thiyarah, Tanjim, dan Istisqa’ bil Anwa’ yang kami terjemahkan dari kitab At Tauhid Al Muyassar karya Syaikh Abdullah bin Ahmad Al Huwail; semoga Allah menjadikan penerjemahan kitab tersebut ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamiin.
KAJIAN TENTANG THIYARAH
Ta’rif (definisi) Thiyarah
Thiyarah secara bahasa diambil dari kata tathayyur yang artinya merasa optimis atau pesimis terhadap sesuatu. Adapun secara istilah, thiyarah/tathayyur adalah merasa sial karena sesuatu yang dilihatnya atau sesuatu yang didengarnya atau sesuatu yang diketahuinya.
Hukum Tathayyur
Tathayyur dapat menafikan tauhid. Hal ini dipandang dari dua sisi, yaitu:
1.     Orang yang bertathayyur memutuskan tawakkalnya kepada Allah dan bergantung kepada selain Allah.
2.     Sikap Tathayyur merupakan bentuk bergantung kepada sesuatu yang tidak ada hakikatnya, bahkan hanya sekedar bayangan dan khayalan.
Dalil terlarangnya Tathayyur
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
أَلا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِندَ اللّهُ وَلَـكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ
“Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al A’raaf: 131)
Juga berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ، وَلاَ هَامَةَ وَلاَ صَفَرَ
“Tidak ada penyakit menular sendiri, tidak ada kesialan, tidak ada burung hantu yang membawa sial, dan tidak ada bulan Shafar yang membawa sial.” (Muttafaq ‘alaih)
الطِّيَرَةُ شِرْكٌ
“Thiyarah itu syirk.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Keadaan orang yang bertathayyur
Pelaku Tathayyur tidak lepas dari dua keadaan, yaitu: (1) Dia tertahan dari melanjutkan keinginannya, mengikuti thiyarahnya itu, dan tidak jadi berbuat. Ini merupakan bentuk tathayyur yang paling parah. (2) Dia lanjutkan keinginannya, akan tetapi dalam hatinya ada perasaan cemas, gelisah, dan rasa kekhawatiran tertimpa tathayyurnya itu. Ini termasuk tathayyur, namun lebih ringan daripada yang pertama.
Kedua hal ini mengurangi tauhid seseorang dan merugikan seorang hamba.
Obat agar tidak tertimpa perasaan thiyarah dalam hatinya
Yaitu seseorang berkata,
اللَّهُمَّ لَا يَأْتِي بِالْحَسَنَاتِ إِلَّا أَنْتَ، وَلَا يَدْفَعُ السَّيِّئَاتِ إِلَّا أَنْتَ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِكَ
“Ya Allah, tidak ada yang dapat mendatangkan kebaikan kecuali Engkau, dan tidak ada yang dapat menolak keburukan selain Engkau, dan tidak ada daya dan upaya melainkan dengan pertolongan-Mu.” (HR. Abu Dawud)
اللهُمَّ لَا خَيْرَ إِلَّا خَيْرُكَ، وَلَا طَيْرَ إِلَّا طَيْرُكَ، وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ
“Ya Allah, tidak ada kebaikan selain kebaikan-Mu, dan tidak ada kesialan kecuali yang Engkau tetapkan, dan tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau.” (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Al Albani)
Kemudian ia melakukan hal-hal berikut,
1.     Mengetahui bahaya thiyarah.
2.     Melawan jiwanya.
3.     Beriman kepada qadha Allah dan qadar-Nya.
4.     Bersangka baik kepada Allah.
5.     Meminta pilihan kepada Allah.
Batasan thiyarah yang terlarang
Beliau bersabda,
إِنَّمَا الطِّيَرَةُ مَا أَمْضَاكَ، أَوْ رَدَّكَ
“Thiyarah itu adalah sesuatu yang membuatmu melanjutkan keinginan atau menolaknya.” (HR. Ahmad, (namun hadits ini dinyatakan isnadnya dha’if oleh pentahqiq Musnad Ahmad-pent)).
Al Fa’lul Hasan (Optimis atau merasa bernasib baik)
Maksudnya adalah kalimat yang baik yang didengar seseorang, lalu ia merasa senang terhadapnya. Contoh: seseorang ingin safar, lalu ia mendengar seseorang berkata, “Wahai orang yang selamat,” maka ia merasa senang dengan kalimat tersebut.
Hal ini hukumnya boleh. Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَيُعْجِبُنِى الْفَأْلُ
“Dan aku senang dengan fa’l (merasa bernasib baik dengan sesuatu).” (Muttafaq ‘alaih)
Perbedaan antara Thiyarah dan Fa’l
Thiyarah adalah bentuk bersangka buruk kepada Allah dan mengalihkan salah satu hak-Nya kepada selain-Nya, serta bergantungnya hati kepada makhluk yang tidak bisa memberikan manfaat dan menimpakan bahaya.
Adapun Fa’l, maka ia merupakan bentuk bersangka baik kepada Allah, dan tidak menolak keinginan.
KAJIAN TENTANG TANJIM
Ta’rif (definisi) Tanjim
Tanjim secara bahasa adalah bentuk masdar (kata kerja yang dibendakan) dari kata najjama yang artinya mempelajari ilmu nujum atau meyakini adanya pengaruh pada bintang.
Macam-macam ilmu nujum
Ilmu nujum terbagi dua, yaitu:
1.     Ilmu Ahkam dan Ta’tsir (terkait dengan hukum dan pengaruh)
2.     Ilmu Asbab dan Taisir (terkait dengan sebab dan perjalanan bintang)
Ilmu Ahkam dan Ta’tsir terbagi tiga, yaitu:
Pertama, meyakini bahwa bintang-bintang sebagai pelaku dan dapat memberikan pengaruh –yakni yang menciptakan berbagai kejadian di muka bumi dan menciptakan berbagai keburukan-. Ini adalah syirk akbar.
Kedua, menjadikannya sebagai sebab untuk mengaku mengetahui yang gaib. Hal ini termasuk kufur akbar.
Ketiga, meyakini bahwa bintang merupakan sebab terjadinya kebaikan dan keburukan, namun yang melakukan adalah Allah. Ini juga haram dan termasuk syirk asghar (kecil).
Ilmu Asbab dan Taisir terbagi dua, yaitu:
Pertama, menjadikan perjalanan bintang untuk maslahat agama. Hal ini diharapkan sekali. Contoh: memanfaatkan bintang-bintang untuk mengetahui arah kiblat.
Kedua,  memanfaatkan bintang untuk maslahat agama. Hal ini terbagi dua: (1) memanfaatkannya sebagai petunjuk arah. Hal ini adalah boleh. (2) memanfaatkannya untuk mengetahui musim-musim. Hal ini menurut pendapat yang shahih adalah tidak makruh.
Faedah:
Hikmah penciptaan bintang
Hikmah diciptakannya bintang ada tiga, yaitu:
1.     Penghias langit.
2.     Pelempar setan-setan.
3.     Tanda penunjuk arah.
KAJIAN TENTANG ISTISQA’ BIL ANWA’
Maksud Istisqa’ bil Anwa
Istisqa maksudnya adalah meminta turunnya hujan.
Anwaa’ adalah bentuk jamak dari kata nau’, yaitu tempat posisi bintang-bintang yang berjumlah 28 posisi.
Adapun maksud Istisqa’ bil Anwa adalah menisbatkan turunnya hujan kepada bintang-bintang.
Macam-macam Istisqa’ bil Anwa’
Istisqa’ bil Anwa’ ada tiga macam, yaitu:
Pertama, sebagai syirk akbar, yaitu dalam dua keadaan berikut:
1.     Berdoa kepada bintang agar menurunkan hujan kepadanya. Misalnya seseorang berkata, “Wahai bintang anu! Berilah kami hujan. Wahai bintang anu! Tolonglah kami, dsb.”
2.     Menisbatkan turunnya hujan kepada bintang-bintang tersebut dengan menganggap bahwa bintang-bintang itulah yang melakukannya sendiri bukan Allah meskipun ia tidak berdoa kepada bintang-bintang itu.
Kedua, sebagai syirk asghar (kecil), yaitu ketika menjadikan bintang-bintang itu sebagai sebab saja.
Ketiga, hukumnya boleh, yaitu ketika menjadikan bintang-bintang itu sekedar tanda dan penunjuk; bukan sebagai sebab apalagi menganggapnya memiliki pengaruh sendiri.
Dalil haramnya Istisqa’ bil Anwa’
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَتَجْعَلُونَ رِزْقَكُمْ أَنَّكُمْ تُكَذِّبُونَ
“Kamu menjadikan rezki (yang Allah berikan) dengan mendustakan Allah.” (QS. Al Waqi’ah: 82)
Mujahid berkata, “Maksudnya adalah pernyataan mereka tentang bintang, “Kita dihujani karena bintang ini dan bintang itu.”
Demikian pula berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tahukah kalian apa yang difirmankan Tuhan kalian?”
Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.”
Beliau bersabda, “Dia berfirman, “Pada pagi hari ini di antara hamba-hamba-Ku ada yang beriman kepada-Ku dan ada yang kufur. Adapun orang yang berkata, “Kita mendapatkan hujan karena karunia Allah dan rahmat-Nya,” maka orang itu beriman kepada-Ku dan kufur kepada bintang, sedangkan orang yang berkata, “Kita mendapatkan hujan karena bintang ini dan bintang itu,” maka orang ini kufur kepada-Ku dan beriman kepada bintang.” (Muttafaq ‘alaih)
Bersambung...
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam.
Diterjemahkan dari kitab At Tauhid Al Muyassar oleh Marwan bin Musa
 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger