Harta Yang Sia-Sia dan Obat Penyakit Kikir

Jumat, 26 September 2014
بسم الله الرحمن الرحيم

Harta Yang Sia-Sia

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Imam Muslim meriwayatkan dari Mutharrif, dari ayahnya, ia berkata, “Aku datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat Beliau membacakan ayat,
أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu,” (QS. At Takatsur: 1)
Beliau bersabda,
يَقُولُ ابْنُ آدَمَ: مَالِي، مَالِي، قَالَ: وَهَلْ لَكَ، يَا ابْنَ آدَمَ مِنْ مَالِكَ إِلَّا مَا أَكَلْتَ فَأَفْنَيْتَ، أَوْ لَبِسْتَ فَأَبْلَيْتَ، أَوْ تَصَدَّقْتَ فَأَمْضَيْتَ؟ "،
Anak Adam akan berkata, “Hartaku! Hartaku!” Lalu dikatakan, “Bukankah hartamu wahai anak Adam adalah yang kamu makan lalu habis, atau yang kamu pakai lalu usang, atau yang kamu sedekahkan, itulah yang kamu bawa?”
Saudaraku, banyak di antara kita yang kurang menyadari, bahwa pada hakikatnya harta yang kekal itu adalah harta yang kita sisihkan di jalan Allah. Itulah harta yang akan kita bawa ke akhirat, dan itulah harta yang kekal. Adapun harta yang kita kumpulkan untuk kepentingan dunia semata; tidak kita sisihkan di jalan Allah, maka harta itu akan kita tinggalkan betapa pun kita telah berusaha menjaganya. Coba pikirkan! Bukankah harta yang kita kumpulkan itu tidak kita bawa ke liang kubur. Dan coba pikirkan! Bukankah harta yang kita makan itu habis, yang kita pakai itu akan segera usang? Ya benar. Benarlah apa yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas.
Namun entah mengapa banyak manusia yang bakhil menyisihkan hartanya di jalan Allah. Adapun untuk kepentingan dunia, ia rela menyisihkannya meskipun dalam jumlah besar.
Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha menyebutkan, bahwa beberapa orang menyembelih kambing, lalu membagi-bagikannya kepada orang-orang miskin, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Apa yang tersisa darinya?” Ia menjawab, “Tidak tersisa selain pundaknya.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَقِيَ كُلُّهَا غَيْرَ كَتِفِهَا
“Semuanya tersisa (masih ada) selain pundaknya.” (HR. Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi dan Ash Shahiihah (2544))
Perhatikanlah pernyataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut! Beliau menyatakan bahwa semua yang disedekahkan itulah yang tersisa atau yang kekal selain yang ditahan, yaitu bagian pundaknya.
Obat penyakit kikir
Kikir adalah penyakit yang perlu diobati, karena jika tidak diobati, sifat buruk ini akan tetap menempel dalam diri kita sehingga kita berhak mendapat celaan Allah Azza wa Jalla.
Ada beberapa obat yang ampuh dalam mengobati penyakit kikir -bi idznillah-, di antaranya adalah dengan merenungi firman Allah Ta’ala dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di samping meminta kepada-Nya agar disebuhkan dari penyakit ini, seperti dengan doa berikut,
«اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الهَمِّ وَالحَزَنِ، وَالعَجْزِ وَالكَسَلِ، وَالبُخْلِ وَالجُبْنِ ، وَضَلَعِ الدَّيْنِ، وَغَلَبَةِ الرِّجَالِ»
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kekhawatiran di masa mendatang dan kesedihan, dari kelemahan dan kemalasan, dari kekikiran dan sifat pengecut, dari terlilit hutang dan ditindas orang.” (HR. Ahmad, Bukhari, Muslim, dan Tiga orang Ahli Hadits)
Berikut beberapa ayat dan hadits yang dapat mengobati penyakit ini jika direnungkan baik-baik.
Pertama, Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
وَمَا لَكُمْ أَلَّا تُنفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Dan mengapa kamu tidak menafkahkan (sebagian hartamu) pada jalan Allah, padahal Allah-lah yang mempusakai (mempunyai) langit dan bumi?“ (QS. Al Hadid: 10)
Kedua, ketahuilah! Bahwa orang yang dilindungi dari sifat kikir adalah orang-orang yang beruntung. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
وَأَنفِقُوا خَيْراً لِّأَنفُسِكُمْ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan infakkanlah yang baik untuk dirimu. Barang siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. At Taghabun: 16)
Ketiga, enggan berinfak menyebabkan seseorang menyesal di akhirat. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
وَأَنفِقُوا مِن مَّا رَزَقْنَاكُم مِّن قَبْلِ أَن يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلَا أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُن مِّنَ الصَّالِحِينَ
“Dan infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata, "Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?" (QS. Al Munafiqun: 10)
Keempat, orang yang kikir akan Allah mudahkan baginya jalan yang sukar. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَى (8) وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى (9) فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى (10) وَمَا يُغْنِي عَنْهُ مَالُهُ إِذَا تَرَدَّى (11)
“Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup,--Serta mendustakan pahala terbaik,--Maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.--Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa.” (QS. Al Lail: 8-11)
Kelima, Allah akan membalas secara secara sempurna bagi mereka yang mau berinfak. Dia berfirman,
وَمَا تُنفِقُواْ مِنْ خَيْرٍ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنتُمْ لاَ تُظْلَمُونَ
Dan apa saja harta yang baik yang kamu infakkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan sempurna sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan).” (QS. Al Baqarah: 272)
Keenam, Allah Subhaanahu wa Ta’ala akan melipatgandakan pahala orang yang berinfak. Dia berfirman,
مَن ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضاً حَسَناً فَيُضَاعِفَهُ لَهُ وَلَهُ أَجْرٌ كَرِيمٌ
“Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan Dia akan memperoleh pahala yang banyak.” (QS. Al Hadid: 11)
Ketujuh, Allah Subhaanahu wa Ta’ala akan mengganti infaknya. Dia berfirman,
وَمَا أَنفَقْتُم مِّن شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
“Dan apa saja yang kamu infakkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.” (QS. Saba’: 39)
Kedelapan, ciri orang-orang yang bertakwa yang berhak masuk surga adalah suka berinfak. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ (133) الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (134)
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,--(yaitu) orang-orang yang menginfakkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imran: 133-134)
Kesembilan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِيهِ إِلَّا مَلَكَانِ يَنْزِلَانِ فَيَقُولُ أَحَدُهُمَا اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا وَيَقُولُ الْآخَرُ اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا
Tidak ada pagi hari yang dilalui manusia, kecuali ada dua malaikat yang turun; yang satu berkata, “Ya Allah, berilah ganti kepada orang yang berinfak.” Yang satu lagi berkata, “Ya Allah, berilah kebinasaan bagi orang yang bakhil.” (HR. Bukhari)
Kesepuluh, Allah Subhaanahu wa Ta’ala mencintai orang yang berinfak. Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ تَعَالَى جَوَّادٌ يُحِبُّ الْجُوْدَ وَ يُحِبُّ مَعَالِيَ الْأَخْلاَقِ وَ يَكْرَهُ سَفْسَافَهَا
“Sesungguhnya Allah Ta’ala Mahapemberi. Dia suka sifat memberi, Dia mencintai akhlak yang mulia dan membenci akhlak yang rendah.” (HR. Baihaqi dalam Asy Syu’ab dan Abu Nu’aim dalam Al Hilyah, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 1744)
Kesebelas, harta yang ia simpan pada hakikatnya adalah harta ahli warisnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«أَيُّكُمْ مَالُ وَارِثِهِ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنْ مَالِهِ؟»
“Siapakah di antara kalian yang lebih mencintai harta ahli warisnya daripada hartanya?” Para sahabat menjawab, “Wahai Rasulullah, tidak ada seorang di antara kami melainkan hartanya lebih dicintainya (daripada harta ahli warisnya),” maka Beliau bersabda,
«فَإِنَّ مَالَهُ مَا قَدَّمَ، وَمَالُ وَارِثِهِ مَا أَخَّرَ»
“Sesungguhnya hartanya adalah yang ia infakkan, sedangkan harta ahli warisnya adalah yang ia simpan.” (HR. Bukhari)
Keduabelas, sifat kikir merupakan penyebab binasanya orang-orang terdahulu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«اتَّقُوا الظُّلْمَ، فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَاتَّقُوا الشُّحَّ، فَإِنَّ الشُّحَّ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، حَمَلَهُمْ عَلَى أَنْ سَفَكُوا دِمَاءَهُمْ وَاسْتَحَلُّوا مَحَارِمَهُمْ»
“Jauhilah kezaliman karena kezaliman adalah kegelapan pada hari kiamat, dan jauhilah kekikiran karena ia telah membinasakan orang-orang sebelummu; membuat mereka menumpahkan darah dan menganggap halal yang diharamkan.” (HR. Muslim)
Ketigabelas, Allah Subhaanahu wa Ta’ala akan memperbesar pahala sedekah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«مَنْ تَصَدَّقَ بِعَدْلِ تَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ، وَلاَ يَقْبَلُ اللَّهُ إِلَّا الطَّيِّبَ، وَإِنَّ اللَّهَ يَتَقَبَّلُهَا بِيَمِينِهِ، ثُمَّ يُرَبِّيهَا لِصَاحِبِهِ، كَمَا يُرَبِّي أَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ، حَتَّى تَكُونَ مِثْلَ الجَبَلِ»
“Barang siapa yang bersedekah seukuran kurma dari usaha yang baik, dan memang Allah hanya menerima yang baik saja, maka Allah akan menerimanya dengan tangan kanan-Nya, kemudian Dia mengembangkannya untuk pemiliknya sebagaimana salah seorang di antara kamu membesarkan anak kudanya sehingga banyak menjadi seperti bukit.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kisah-kisah kedermawanan
Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa Aisyah radhiyallahu 'anha pernah diberi Mu’awiyah harta senilai 180.000 dirham, lalu Aisyah meminta disiapkan mangkok, kemudian ia membagikannya kepada orang-orang. Ketika sore harinya, Aisyah berkata kepada pembantunya, “Siapkanlah kepadaku makanan untuk berbuka,” maka pembantunya menyiapkan roti dan minyak, dan berkata kepada Aisyah, “Mengapa kamu tidak membelikan daging satu dirham dari harta yang kamu bagi-bagikan hari ini?” Aisyah menjawab, “Kalau kamu mengingatkanku, tentu sudah aku lakukan.”
Demikian juga disebutkan dalam riwayat bahwa Abdullah bin ‘Amir pernah membeli rumah Khalid bin Uqbah bin Abi Mu’aith yang berada di pasar Makkah seharga 70.000 dirham. Di malam harinya, Abdullah mendengar tangis keluarga Khalid, ia pun menanyakan sebabnya, lalu diberitahukan bahwa mereka menangis karena rumah mereka yang dijual, Abdullah pun berkata kepada pembantunya, “Pergilah menemui mereka, dan beritahukan bahwa rumah dan dirham semuanya untuk mereka.”
Pada saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak bersiap-siap menghadapi Romawi sedangkan kaum muslim berada dalam kondisi kesulitan sehingga pasukan Beliau dikenal Jaisyul Usrah (pasukan dalam kondisi sulit), maka Utsman tampil dengan mengeluarkan sedekah sejumlah 10.000 dinar, 300 unta berikut alas dan pelananya, serta menyiapkan 50 ekor kuda.
Demikianlah keadaan generasi salaf dahulu berinfak, jauh sekali dengan infak yang kita keluarkan.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45, Mausu’ah Haditsiyyah Mushaghgharah (Markaz Nurul Islam Li abhatsil Qur’ani was Sunnah), Minhajul Muslim (Syaikh Abu Bakr Al Jaza’iri), dan lain-lain.

10 Sebab Masuk Surga

Senin, 22 September 2014
بسم الله الرحمن الرحيم
10 Sebab Masuk Surga
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini beberapa sebab yang memasukkan seseorang ke surga. Akan tetapi perlu diingat, bahwa surga hanya dimasuki oleh orang mukmin. Oleh karena itu, kalau sekiranya orang-orang kafir dan musyrik mengerjakan sebagian amal saleh, maka tidaklah bermanfaat amalnya dan tidak akan memasukkannya ke surga, karena Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. "Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az Zumar: 65)
إِنَّهُ مَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللّهُ عَلَيهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya adalah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.” (QS. Al Maa’idah: 72)
Amal saleh yang dilakukan orang-orang kafir hanya Allah balas di dunia, sehingga mereka datang ke akhirat tanpa membawa amal saleh karena telah diberikan balasan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«إِنَّ اللهَ لَا يَظْلِمُ مُؤْمِنًا حَسَنَةً، يُعْطَى بِهَا فِي الدُّنْيَا وَيُجْزَى بِهَا فِي الْآخِرَةِ، وَأَمَّا الْكَافِرُ فَيُطْعَمُ بِحَسَنَاتِ مَا عَمِلَ بِهَا لِلَّهِ فِي الدُّنْيَا، حَتَّى إِذَا أَفْضَى إِلَى الْآخِرَةِ، لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَةٌ يُجْزَى بِهَا»
“Sesungguhnya Allah tidak menzalimi kebaikan seorang mukmin, ia diberi balasan di dunia dan di akhirat karena perbuatan baiknya itu. Adapun orang kafir, maka ia diberi makan karena perbuatan baik yang ia lakukan karena Allah di dunia, sehingga ketika ia kembali ke akhirat, maka ia tidak memiliki kebaikan untuk diberikan balasan.” (HR. Muslim)
Maka bersyukurlah kepada Allah yang telah menjadikan kita sebagai orang-orang muslim, karena orang-orang non muslim ingin sekali di akhirat kalau sekiranya mereka menjadi orang-orang muslim. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
رُّبَمَا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُواْ لَوْ كَانُواْ مُسْلِمِينَ
“Orang-orang yang kafir itu seringkali (nanti di akhirat) menginginkan, kiranya mereka dahulu (di dunia) menjadi orang-orang Muslim.” (QS. Al Hijr: 2)
dan kita meminta kepada Allah Azza wa Jalla agar Dia mematikan kita di atas Islam, Allahumma aamin.
Dengan demikian, syarat diterimanya amal saleh adalah seseorang harus di atas agama Islam.
Jika seseorang berkata, “Semua agama adalah sama, intinya menuju Allah meskipun jalannya berbeda-beda. Sebagaimana di dunia, jika kita hendak pergi ke sebuah tempat, maka banyak jalan yang bisa dilalui untuk menuju ke arahnya.”
Jawab, “Jika di dunia, jalan menuju ke sebuah tempat memang banyak jalannya. Akan tetapi, jalan menuju Allah dan menuju surga-Nya hanya satu, karena Allah Tuhan kita dan sebagai pemilik surga tidak meridhai jalan-jalan yang ada selain Islam saja sebagaimana firman-Nya,
وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِيناً فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran: 85)
Oleh karena itu, semua jalan selain Islam, tidak diterima oleh Allah Subhaaanu wa Ta’ala, karena Dia yang menyatakan demikian. Famaa dzaa ba’dal haqqi illadh dhalaal.
Jalan Menuju Surga
Secara garis besar, bahwa jalan menuju surga adalah dengan taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
وَمَن يُطِعِ اللّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. An Nisaa’: 13)
Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى» ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَنْ يَأْبَى؟ قَالَ: «مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى»
“Setiap umatku akan masuk surga selain orang yang enggan (masuk surga).” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang enggan itu?” Beliau menjawab, “Orang yang taat kepadaku akan masuk surga dan orang yang mendurhakaiku dialah orang yang enggan (masuk surga).” (HR. Bukhari)
Oleh karena itu, orang-orang yang tidak mau melaksanakan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang wajib serta tidak mau menjauhi larangan Beliau yang haram pada hakikatnya tidak mau surga.
Saudaraku, di hadapan kita ada perintah-perintah yang wajib seperti shalat yang lima waktu, membayar zakat, berpuasa Ramadhan, berhaji ketika mampu, berbakti kepada kedua orang tua, menyambung tali silaturrahim, menutup aurat, dan sebagainya, maka laksanakanlah perintah-perintah tersebut agar kamu beruntung.
Demikian pula di hadapan kita ada larangan-larangan yang haram seperti syirk, mendatangi dukun dan peramal, durhaka kepada orang tua, berzina, menipu, berkata dusta, ingkar janji, khianat, dan sebagainya, maka jauhilah larangan-larangan tersebut agar kamu beruntung.
Beberapa amal saleh yang memasukkan ke surga
1.     Menjauhi syirk, beribadah hanya kepada Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan menyambung tali silaturrahim.
Dari Abu Ayyub, ia berkata, “Ada seorang laki-laki yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “tunjukkanlah kepadaku amal yang mendekatkanku ke surga dan menjauhkanku dari neraka?” Beliau menjawab,
«تَعْبُدُ اللهَ لَا تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا، وَتُقِيمُ الصَّلَاةَ، وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ، وَتَصِلُ ذَا رَحِمِكَ»
“Engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan menyambung hubungan kerabatmu.”
Ketika laki-laki ini telah pergi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika ia berpegang dengan apa yang diperintahkan itu, ia akan masuk surga.” (HR. Muslim)
2.     Menjaga semua shalat fardhu, dan menjaga shalat Subuh dan Ashar.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«مَنْ صَلَّى البَرْدَيْنِ دَخَلَ الجَنَّةَ»
“Barang siapa yang melaksanakan shalat Subuh dan Ashar, maka dia akan masuk surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)
3.     Berpuasa, mengiringi Jenazah, memberi makan orang miskin, dan menjenguk orang sakit.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda di hadapan para sahabat, “Siapakah di antara kalian yang hari ini berpuasa?” Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Saya.” Beliau bersabda lagi, “Siapakah di antara kalian yang mengiringi jenazah hari ini?” Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Saya.” Beliau bersabda lagi, “Siapakah di antara kalian yang memberi makan orang miskin hari ini?” Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Saya.” Beliau bersabda lagi, “Siapakah di antara kalian yang menjenguk orang sakit hari ini?” Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Saya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«مَا اجْتَمَعْنَ فِي امْرِئٍ، إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ»
“Tidaklah berkumpul semua ini dalam diri seseorang kecuali dia akan masuk surga.” (HR. Muslim)
4.     Mengihsha 99 nama Allah Ta’ala.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ لِلَّهِ تَعَالَى تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا مِائَةً غَيْرَ وَاحِدٍ مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الجَنَّةَ
"Sesungguhnya Allah Ta'ala memiliki sembilan puluh sembilan nama. Barang siapa yang mengihsha’nya, maka ia akan masuk surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Menurut Ibnul Qayyim, makna ihsha’ adalah menjumlahkan dan menghitungnya, memahami makna dan kandungannya, dan berdoa kepada Allah Ta'ala dengannya.
Menurut Imam Bukhari dan Imam Nawawi, bahwa maksudnya adalah menghapalnya.
Hadits di atas bukan berarti bahwa nama-nama Allah Ta’ala hanya terbatas sampai 99 nama.
5.     Menyebarkan salam, menyambung tali silaturrahim, shalat malam, dan memberi makan orang lain.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا أَيُّهَا اَلنَّاسُ! أَفْشُوا اَلسَّلَام, وَصِلُوا اَلْأَرْحَامَ, وَأَطْعِمُوا اَلطَّعَامَ, وَصَلُّوا بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ, تَدْخُلُوا اَلْجَنَّةَ بِسَلَامٍ
“Wahai manusia! Sebarkan salam, sambung tali silaturrahim, berikan makan kepada orang lain, shalatlah di waktu malam ketika orang tidur, niscaya kamu akan masuk surga dengan sejahtera.” (HR. Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi (1855))
6.     Menjawab ucapan muazin
Dari Umar bin Khathab radhiyallahu 'anhu ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا قَالَ الْمُؤَذِّنُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ فَقَالَ أَحَدُكُمْ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ ...ثُمَّ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مِنْ قَلْبِهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ
Apabila muazin mengucapkan Allahu akbar- Allahu akbar, lalu salah seorang di antara kamu mengucapkan, “Allahu akbar- Allahu akbar.” ...Kemudian ketika ia (muazin) mengucapkan, “Laailaahaillallah,” ia mengucapkan, “Laailaahaillallah,” (dengan ikhlas) dari hatinya, maka ia akan masuk surga.” (HR. Muslim)
Ketika muazin mengucapkan “Hayya ‘alash shalah” dan “Hayya ‘alal falah” jawabannya adalah Laa haula walaa quwwata illaa billah.
7.     Membaca dzikr setelah shalat dan sebelum tidur
Dari Abdullah bin ‘Amr, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda,
«خَصْلَتَانِ، أَوْ خَلَّتَانِ لَا يُحَافِظُ عَلَيْهِمَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ، هُمَا يَسِيرٌ، وَمَنْ يَعْمَلُ بِهِمَا قَلِيلٌ، يُسَبِّحُ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ عَشْرًا، وَيَحْمَدُ عَشْرًا، وَيُكَبِّرُ عَشْرًا، فَذَلِكَ خَمْسُونَ وَمِائَةٌ بِاللِّسَانِ، وَأَلْفٌ وَخَمْسُ مِائَةٍ فِي الْمِيزَانِ، وَيُكَبِّرُ أَرْبَعًا وَثَلَاثِينَ إِذَا أَخَذَ مَضْجَعَهُ، وَيَحْمَدُ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ، وَيُسَبِّحُ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ، فَذَلِكَ مِائَةٌ بِاللِّسَانِ، وَأَلْفٌ فِي الْمِيزَانِ»
“Dua perkara yang jika dijaga oleh seorang hamba yang muslim pasti akan masuk surga. Kedua perkara itu mudah, namun yang mengamalkannya sedikit, yaitu bertasbih 10 kali di akhir shalat, bertahmid 10 kali, dan bertakbir 10 kali. Itu semua menjadi 150 di lisan dan 1500 di timbangan. Dia juga bertakbir sebanyak 34 kali ketika di tempat tidur, bertahmid 33 kali, dan bertasbih 33 kali. Itu semua menjadi 100 di lisan dan 1000 di timbangan.” (HR. Abu Dawud, Nasa’i, dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al Albani)
8.     Membaca Sayyidul Istighfar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَالَ حِينَ يُصْبِحُ أَوْ حِينَ يُمْسِي: اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ خَلَقْتَنِي وَأَنَا عَبْدُكَ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ، أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، أَبُوءُ بِنِعْمَتِكَ، وَأَبُوءُ بِذَنْبِي فَاغْفِرْ لِي، إِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ، فَمَاتَ مِنْ يَوْمِهِ أَوْ مِنْ لَيْلَتِهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barang siapa yang ketika pagi hari atau sore hari mengucapkan, “Allahuumma anta Rabbiy...dst. (artinya: Ya Allah, Engkau adalah Tuhanku, tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau, Engkaulah yang menciptakan aku. Aku adalah hamba-Mu. Aku akan setia pada perjanjianku dengan-Mu semampuku. Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan yang kuperbuat. Aku mengakui nikmat-Mu kepadaku dan aku mengakui dosaku. Oleh karena itu, ampunilah aku. Sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa kecuali Engkau), lalu ia meninggal dunia pada hari itu atau pada malamnya, kecuali ia akan masuk surga.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan Hakim, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 6424)
9.       Menjaga kesucian diri
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اِضْمَنُوْا لِيْ سِتَّا مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَضْمَنْ لَكُمُ الْجَنَّةَ اُصْدُقُوْا إِذَا حَدَّثْتُمْ وَ أَوْفُوْا إِذَا وَعَدْتُمْ وَ أَدُّوْا إِذَا ائْتُمِنْتُمْ وَ احْفَظُوْا فُرُوْجَكُمْ وَ غَضُّواْ أَبْصَارَكُمْ وَ كُفُّوْا أَيْدِيَكُمْ
"Berjanjilah untukku untuk melakukan enam perkara, niscaya aku akan menjanjikan kamu surga; berkatalah yang benar ketika kamu berbicara, penuhilah janji ketika kamu berjanji, tunaikanlah amanah ketika kamu diamanahi, jagalah kehormatanmu, tundukkanlah pandanganmu, dan tahanlah tanganmu (dari melakukan tindakan yang diharamkan)." (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, Hakim dan Baihaqi dalam Asy Syu'ab, dan dihasankan oleh Al Albani dalam Shahihul Jaami' no. 1018).
10.    Menjadikan Laailaahaillallah sebagai ucapan terakhir sebelum meninggalnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ»
“Barang siapa yang akhir ucapannya Laailaahaillallah, maka ia akan masuk surga.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Hakim, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 6479).
Wallahu a'lam, wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji': Maktabatusy Syamilah 3.45, Kutubus Sittah, Tsalatsuuna sababan lidukhul jannah,dll.

Kaum Salaf dan Ketundukan Mereka Kepada Kebenaran

Kamis, 18 September 2014
بسم الله الرحمن الرحيم
Kaum Salaf dan Ketundukan Mereka Kepada Kebenaran
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini contoh keteladanan kaum Salaf dalam ketundukan mereka terhadap kebenaran, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma amin.
Keteladanan kaum salaf dalam ketundukan mereka terhadap kebenaran
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata, "Hampir saja kalian ditimpa hujan batu dari langit. Aku mengatakan, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda," tetapi kalian mengatakan, "Abu Bakar dan Umar berkata."
Adz Dzahabiy berkata, “Telah menceritakan kepada kami Al Laits, dari Uqail, dari Ibnu Syihab; Abu Idris Al Khaulani memberitahukan kepadanya, bahwa Yazid bin Umairah –salah seorang kawan Mu’adz bin Jabal- berkata, “Setiap kali Mu’adz duduk di majlis ia selalu berkata, “Allah Maha Bijaksana, Maha Adil, dan Mahaberkah nama-Nya. Binasalah orang-orang yang ragu-ragu. Kemudian Mu’adz membacakan sebuah hadits.” Lalu aku bertanya kepada Mu’adz, “Apa yang membuatku yakin bahwa seorang yang bijaksana bisa saja mengucapkan kata-kata yang sesat?” Mu’adz, “Baik. Jauhilah ucapan yang terkenal dari seorang yang bijaksana yang membuat orang-orang tercengang, tetapi janganlah hal itu membuatmu berpaling darinya, karena boleh jadi ia kembali dan mengikuti kebenaran yang didengarnya, karena kebenaran itu membawa cahaya.” (Siyar A’lamin Nubala 1/457).
Dari Abdurrahman bin Abdullah bin Mas’ud, dari ayahnya, ia berkata, “Abdullah bin Mas’ud pernah didatangi seseorang yang berkata, “Wahai Abu Abdurrahman, ajarilah aku kalimat yang mencakup dan bermanfaat.” Abdullah bin Mas’ud berkata, “Jangan engkau menyekutukan Allah dengan sesuatu, dan berjalanlah bersama Al Qur’an ke mana ia mengarah. Barang siapa yang datang kepadamu dengan membawa kebenaran, maka terimalah darinya meskipun ia orang jauh dan engkau benci, dan barang siapa yang datang kepadamu membawa kebatilan, maka tolaklah meskipun ia seorang yang engkau cintai dan dekat.” (Shifatush Shofwah 1/419).
Dari Abul Ahwash, dari Abdullah (bin Mas’ud), ia berkata, “Janganlah salah seorang di antara kamu bertaklid (asal mengikuti) kepada seseorang dalam agamanya; ketika orang lain beriman, ia pun beriman, dan ketika orang lain kufur, ia pun kufur. Jika kalian memang harus bertaklid, maka bertaklidlah kepada orang yang telah mati (generasi sahabat), karena orang yang hidup tidak aman dari fitnah (kesesatan).” (Shifatush Shofwah 1/421)
Dari Abdurrahman bin Yazid, ia berkata, “Abdullah (bin Mas’ud) berkata, “Janganlah kalian menjadi imma’ah.” Orang-orang yang hadir berkata, “Apa itu imma’ah?” Ia menjawab, “Aku ikuti orang-orang. Jika mereka mendapat petunjuk, aku ikut mendapat petunjuk, dan jika mereka sesat, aku ikut sesat. Ingatlah! Hendaklah seseorang di antara kamu menguatkan dirinya, yakni jika orang-orang kafir, dia tidak kafir.” (Shifatush Shofwah 1/421)
Imam Abu Hanifah pernah berkata, "Jika aku mengatakan sebuah perkataan yang menyelisihi kitab Allah Ta'ala dan berita dari Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku."
Imam malik pernah berkata, "Tidak ada seorang pun setelah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melainkan pendapatnya boleh diambil dan ditinggalkan selain Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam."
Imam Ahmad pernah berkata, "Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka dia berada di tepi jurang kebinasaan."
Adz Dzahabiy meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Hammam, ia berkata, “Aku mendengar Qatadah berkata, “Telah menceritakan kepada kami Mutharrif, ia berkata, “Kami pernah mendatangi Zaid bin Shuhan, ia berpesan, “Wahai hamba-hamba Allah! Milikilah sifat mulia dan berbuat baiklah, karena jalan para hamba menuju Allah ada dua, yaitu rasa takut dan berharap.”
Mutharrif berkata lagi, “Suatu hari aku mendatangi Beliau, ketika orang-orang menulis kepadanya yang isinya, “Sesungguhnya Allah Tuhan kita, Muhammad Nabi kita, dan Al Qur’an imam kita. Barang siapa yang sependapat dengan kami, kami akan membantunya, dan barang siapa yang tidak sependapat dengan kami, maka kami akan bertindak terhadapnya, kami akan memusuhinya, menjauhinya, dan seterusnya.”
Kemudian Beliau menyodorkan catatan itu kepada mereka satu persatu sambil berkata, “Apakah kamu mengakuinya wahai fulan?” dan seterusnya, hingga tiba giliranku ditanya, “Apakah kamu mengakuinya wahai anak muda?” Aku menjawab, “Tidak.” Zaid pun berkata, “Jangan kalian bersikap tergesa-gesa kepada anak muda ini!” Lalu ia berkata kepadaku, “Apa pendapatmu wahai fulan?” Aku menjawab, “Sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian dariku dalam kitab-Nya. Maka aku tidak akan menerima perjanjian selain perjanjian yang Allah ambil dariku.” Maka orang-orang pun menarik kembali pernyataan itu; dimana tidak ada seorang pun yang mengakuinya. Ketika itu jumlah mereka kurang lebih tiga puluh orang.” (Siyar A’lamin Nubala 4/193).
Ar Rabi’ berkata, “Aku mendengar Imam Syafi’i berkata, “Jika kalian temukan dalam kitabku hal yang menyelisihi Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka peganglah sunnah itu dan tinggalkanlah pendapatku.” (Siyar A’lamin Nubala 10/34)
Ar Rabi’ berkata, “Aku pernah mendengar Imam Syafi’i saat ada yang bertanya kepadanya, “Apakah engkau berpegang dengan hadits ini wahai Abu Abdillah?” Ia menjawab, “Jika aku meriwayatkan hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu aku tidak berpegang dengannya, maka aku jadikan kalian saksi, bahwa akalku telah hilang.” (Siyar A’lamin Nubala 10/34)
Al Humaidiy berkata, “Suatu hari Imam Syafi’i meriwayatkan sebuah hadits, lalu aku berkata, “Apakah engkau berpendapat dengannya?” Beliau menjawab, “Apakah kamu melihatku keluar dari gereja, atau aku memakiai sabuk (simbol Ahli Kitab) sehingga ketika aku mendengar hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam aku tidak berpendapat dengannya?” (Siyar A’lamin Nubala 10/34)
Ar Rabi’ berkata, “Aku mendengar Imam Syafi’i berkata, “langit mana yang akan menaungiku dan bumi mana yang akan memberiku tempat jika aku meriwayatkan hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu aku tidak berpendapat dengannya.” (Siyar A’lamin Nubala 10/35)
Adz Dzahabi berkata, “Dalam Musnad Asy Syafi’i ada riwayat secara sima’i (mendengar). Abu Hanifah bin Simak telah memberitahukan kepadaku, telah menceritakan kepadaku Ibnu Abi Dzi’ib dari Al Maqburi, dari Abu Syuraih, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قُتِلَ لَهُ قَتِيْلٌ فَهُوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ إِنْ أَحَبَّ أَخَذَ الْعَقْلَ وَإِنْ أَحَبَّ فَلَهُ الْقَوَدُ
“Barang siapa yang sanak familinya terbunuh, maka dia berhak memilih di antara dua pilihan yang terbaik; yaitu jika ia mau ia boleh mengambil diyat, dan jika ia mau ia boleh menuntut qishas.” (HR. Abu Dawud dengan lafaz yang mirip, demikian pula diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)
Lalu aku (Abu Hanifah bin Simak) berkata kepada Ibnu Abi Dzi’b, “Apakah kamu berpendapat dengan hadits ini?” Maka ia memukul dadaku dan berteriak keras, serta membuatku kesakitan sambil berkata, “Aku menyampaikan kepadamu hadits dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tetapi kamu malah berkata, “Apakah engkau berpendapat dengannya?” Jelas, aku harus berpendapat dengannya. Itu adalah wajib bagiku dan bagi orang yang mendengarnya. Sesungguhnya Allah telah memilih Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di tengah-tengah manusia, lalu Dia memberikan hidayah kepada mereka melalui Beliau. Oleh karena itu, semua manusia harus mengikutinya dengan penuh ketaatan dan ketundukan, tidak boleh bagi seorang muslim keluar dari itu.” (Siyar A’lamin Nubala 7/142)
Abu Bakar bin Iyasy rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Allah mengutus Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada penduduk bumi sedangkan mereka berada dalam kerusakan, maka Allah memperbaiki kondisi mereka dengan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, barang siapa yang mengajak untuk mengikuti selain petunjuk yang dibawa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia termasuk orang-orang yang mengadakan kerusakan.”
Umar bin Abdul ‘Aziz berkata, “Pendapat sudah tidak dianggap lagi ketika berhadapan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Al Khathib berkata, “Telah memberitakan kepada kami Al Jauhari, telah memberitakan kepada kami Al Marzabani, telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad bin Isa, telah menceritakan kepada kami Abul ‘Ainaa, ia berkata, “Saat Khalifah Al Mahdiy naik haji, maka ia masuk ke Masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak ada seorang pun yang hadir kecuali berdiri selain Ibnu Abi Dzi’b, lalu Al Musayyab bin Zuhair berkata, “Berdirilah! Ini adalah Amirul Mukminin.” Ibnu Abi Dzi’b berkata, “Manusia hanyalah berdiri ketika menghadap Allah Rabbul ‘alamin.” Maka Al Mahdiy berkata, “Tinggalkanlah dia. Sungguh, telah berdiri bulu kudukku karenanya.” (Siyar A’lamin Nubala 7/143)
Imam Syafi’i berkata, “Setiap orang yang membangkang dan menentangku ketika aku melakukan kebenaran, niscaya sirnalah kepercayaanku kepadanya. Tetapi barang siapa yang menerima kebenaran, maka aku menjadi segan terhadapnya dan aku benar-benar mencintainya.” (Siyar A’lamin Nubala 10/33)
Imam Syafi'i pernah berkata, "Kaum muslim sepakat, bahwa barang siapa yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya meninggalkannya karena pendapat seseorang."
Dari Hatim Al Asham, “Aku senang jika ada orang yang mendebatku ternyata dia benar, dan aku bersedih jika ada yang mendebatku ternyata ia salah.”  (Siyar A’lamin Nubala 11/487).
Rujuknya Imam Abul Hasan Al Asy’ari kepada madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah
Abu Bakr bin Faurak berkata, “Syaikh Abul Hasan bin Ismail radhiyallahu ‘anhu berpindah dari madzhab Mu’tazilah membela madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah dengan menopangnya menggunakan hujjah-hujjah akal. Oleh karenanya Beliau menyusun beberapa kitab tentangnya...” (Tabyin Kadzil Muftari hal. 127)
Ibnu Khillikan berkata, “Beliau (Abul Hasan Al Asy’ariy) adalah Ahli Ushul dan pembela madzhab Ahlussunnah...Awalnya Abul Hasan seorang Mu’tazilah, lalu bertobat dari berpendapat tentang adil dan dari pernyataan Al Qur’an sebagai makhluk di Masjid Jami’ Basrah pada hari Jum’at.” (Wafiyatul A’yaan 3/284).
Adz Dzahabiy berkata, “Telah berita kepada kami, bahwa Abul Hasan bertobat lalu naik mimbar dan berkata, “Sesungguhnya aku pernah mengatakan bahwa Al Qur’an adalah makhluk, dan bahwa Allah tidak dapat dilihat (di akhirat), dan bahwa keburukan adalah sekedar perbuatan (makhluk) bukan takdir, dan sesungguhnya aku bertobat dan menolak keyakinan kaum Mu’tazilah.” (Siyar A’lamin Nubala 15/89)
Wallahu a’lam shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahabihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45, Aina Nahnu Min Akhlaqis Salaf (Abdul Aziz Al Julail dan Bahauddin Aqil), Sifat Shalatin Nabi (M. Nashiruddin Al Albani), salafeia.wordress.com (pembahasan Al Athwar Ats Tsalatsah lil Imam Asy Asy’ari), dll.
 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger