Manajemen Harta Yang Islami

Selasa, 29 Juli 2014
بسم الله الرحمن الرحيم

Manajemen Harta Yang Islami

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ القِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَ فَعَلَ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ، وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَ أَبْلَاهُ»
“Tidaklah bergeser dua kaki seorang hamba pada hari Kiamat sampai ia ditanya tentang umurnya; untuk apa ia habiskan. Tentang ilmunya, apa saja yang telah ia amalkan, tentang hartanya, dari mana ia peroleh dan ke mana ia keluarkan, dan tentang badannya untuk apa ia kuras tenaganya?” (HR. Tirmidzi, ia berkata, “Hadits hasan shahih.”)
Hadits ini merupakan prinsip penting dalam memenej harta, yaitu hendaknya ia perhatikan ke mana ia keluarkan. Di samping memperhatikan pula dari mana ia peroleh.
Seorang muslim yang baik tentu memperhatikan ke mana ia keluarkan hartanya, dia tidak ingin harta tersebut menjadi malapetaka bagi dirinya. Oleh karenanya, ia keluarkan hartanya untuk hal-hal yang bermaslahat bagi dirinya di dunia dan akhirat.
Untuk hal yang bermaslahat bagi dirinya di dunia misalnya ia keluarkan untuk kebutuhan dirinya dan keluarganya seperlunya dan secukupnya dengan tidak berlebihan, karena ia yakin semua itu akan ditinggalkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«مَا لِي وَلِلدُّنْيَا، مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِلَّا كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا»
“Apa urusanku dengan dunia. Aku di dunia ini hanyalah seperti seorang yang menaiki kendaraan lalu berteduh di sebuah pohon, kemudian berangkat lagi meninggalkannya.” (HR. Tirmidzi, ia berkata, “Hasan shahih”).
يَتْبَعُ المَيِّتَ ثَلاَثَةٌ، فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى مَعَهُ وَاحِدٌ: يَتْبَعُهُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ، فَيَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَيَبْقَى عَمَلُهُ
“Ada tiga yang akan mengantarkan seorang mayit; yang dua pulang kembali, sedangkan yang satu akan bersamanya; yang tiga itu adalah keluarganya, hartanya, dan amalnya. Keluarga dan hartanya akan kembali, dan yang akan tinggal menemaninya adalah amalnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Adapun untuk akhiratnya, misalnya ia keluarkan hak Allah Ta’ala di sana; ia keluarkan infak yang wajib dan yang sunahnya. Contoh infak yang wajib adalah zakat, menafkahi anak dan istri, kerabat (seperti orang tua) dan budak. Sedangkan yang sunah adalah semua jalur kebaikan, seperti untuk pembangunan masjid dan sekolah Islam, untuk para mujahid fi sabilillah, untuk kepentingan dakwah, untuk membantu para da’i menyebarkan Islam, untuk waqaf, untuk anak-anak yatim, janda, dan orang-orang miskin, untuk musafir yang kehabisan bekal, dan sebagainya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَ حَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ عِلْمًا نَشَرَهُ وَ وَلَدًا صَالِحًا تَرَكَهُ وَ مُصْحَفًا وَرَّثَهُ أَوْ مَسْجِدًا بَنَاهُ أَوْ بَيْتًا لِابْنِ السَّبِيْلِ بَنَاهُ أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ أَوْ صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ مَالِهِ فِي صِحَّتِهِ وَ حَيَاتِهِ تَلْحَقُهُ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ  
"Sesungguhnya di antara amalan dan kebaikan yang akan sampai kepada seorang mukmin setelah wafatnya adalah ilmu yang disebarkannya, anak saleh yang ditinggalkanya, mushaf Al Qur'an yang diwariskannya, masjid yang dibangunnya, rumah untuk Ibnussabil yang didirikannya, sungai yang dialirkannya, sedekah yang dikeluarkan dari hartanya di waktu sehat dan sewaktu hidupnya. Semua itu akan sampai kepadanya setelah meninggalnya." (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi, Shahihul Jaami' no. 2231)
Harta tidak membuat lupa dari mengingat Allah
Harta juga akan menjadi malapetaka atau musibah bagi seseorang ketika membuatnya lupa dari mengingat Allah; tidak sempat beribadah kepada-Nya atau membuatnya jatuh kepada kemaksiatan, wal ‘iyadz billah. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَن ذِكْرِ اللَّهِ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“Wahai orang-orang beriman! Janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (Terj. QS. Al Munafiqun: 9)
Oleh karena itu, barang siapa yang dibuat lalai oleh harta dan anaknya sampai tidak sempat mengingat Allah, tidak sempat mendatangi panggilan Allah (misalnya azan), tidak sempat beribadah kepada-Nya dan bersimpuh di hadapan-Nya, maka ketahuilah bahwa hartanya itu akan membawanya kepada kerugian.
Harta yang kekal
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
" يَقُولُ ابْنُ آدَمَ: مَالِي، مَالِي، قَالَ: وَهَلْ لَكَ، يَا ابْنَ آدَمَ مِنْ مَالِكَ إِلَّا مَا أَكَلْتَ فَأَفْنَيْتَ، أَوْ لَبِسْتَ فَأَبْلَيْتَ، أَوْ تَصَدَّقْتَ فَأَمْضَيْتَ؟
“Anak Adam akan berkata, “Hartaku, Hartaku!” Lalu dikatakan, “Wahai Anak Adam! Bukankah hartamu yang telah kamu makan lalu habis atau yang kamu pakai lalu usang, atau yang kamu sedekahkan. Itulah yang kamu bawa.” (HR. Muslim, Tirmidzi, dan Nasa’i)
Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan, bahwa beberapa orang menyembelih kambing, lalu membagikannya kepada orang-orang miskin, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Apa yang tersisa darinya?” Ia menjawab, “Tidak tersisa selain pundaknya.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«بَقِيَ كُلُّهَا غَيْرَ كَتِفِهَا»
“Semuanya tersisa (masih ada) selain pundaknya.” (HR. Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi dan Ash Shahiihah (2544))
Maksudnya, bahwa yang disedekahkan seseorang di jalan Allah adalah yang kekal pada hari Kiamat, dan tidak ada yang binasa selain yang ia pakai di dunia ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
مَا  نَقَصَ مَالُ عبْدٍ مِنْ صَدَقَةٍ
“Tidaklah berkurang harta seorang hamba karena bersedekah.” (HR. Tirmidzi dan lainnya, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 5809).
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu adalah orang Anshar yang paling banyak hartanya di Madinah berupa kebun kurma. Dan harta yang paling dicintainya adalah kebun Bairuha yang menghadap ke Masjid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa memasukinya dan meminum air yang baik di sana. Ketika turun ayat ini,
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” (Terj. QS. Ali Imran: 92)
Maka Abu Thalhah bangkit menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah Ta’ala telah menurunkan kepadamu ayat, “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” (Terj. QS. Ali Imran: 92) Dan harta yang paling aku cintai adalah kebun Bairuha, dan ia menjadi sedekah karena Allah Ta’ala; aku mengharap kebaikan dan simpanan-Nya di sisi Allah Ta’ala. Oleh karena itu, silahkan engkau wahai Rasulullah, arahkan ke mana saja yang Allah tunjukkan kepadamu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bakh (Wah). Itu adalah harta yang menguntungkan. Itu adalah harta yang menguntungkan. Aku telah dengar niatmu, dan menurutku sebaiknya engkau berikan kepada kerabat-kerabatmu.” Abu Thalhah berkata, “Aku akan lakukan wahai Rasulullah.” Maka Abu Thalhah membagikannya di antara kerabat dan anak-anak pamannya.”
Saudaraku, harta yang engkau sedekahkan di jalan Allah itulah yang kekal, adapun harta yang tidak engkau keluarkan untuk itu, maka engkau akan meninggalkannya.
Beberapa hadits yang disebutkan di atas adalah contoh memenej harta yang Islami. Termasuk pula yang disebutkan dalam hadits di bawah ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« بَيْنَا رَجُلٌ بِفَلاَةٍ مِنَ الأَرْضِ فَسَمِعَ صَوْتًا فِى سَحَابَةٍ اسْقِ حَدِيقَةَ فُلاَنٍ . فَتَنَحَّى ذَلِكَ السَّحَابُ فَأَفْرَغَ مَاءَهُ فِى حَرَّةٍ فَإِذَا شَرْجَةٌ مِنْ تِلْكَ الشِّرَاجِ قَدِ اسْتَوْعَبَتْ ذَلِكَ الْمَاءَ كُلَّهُ فَتَتَبَّعَ الْمَاءَ فَإِذَا رَجُلٌ قَائِمٌ فِى حَدِيقَتِهِ يُحَوِّلُ الْمَاءَ بِمِسْحَاتِهِ فَقَالَ لَهُ يَا عَبْدَ اللَّهِ مَا اسْمُكَ قَالَ فُلاَنٌ . لِلاِسْمِ الَّذِى سَمِعَ فِى السَّحَابَةِ فَقَالَ لَهُ يَا عَبْدَ اللَّهِ لِمَ تَسْأَلُنِى عَنِ اسْمِى فَقَالَ إِنِّى سَمِعْتُ صَوْتًا فِى السَّحَابِ الَّذِى هَذَا مَاؤُهُ يَقُولُ اسْقِ حَدِيقَةَ فُلاَنٍ لاِسْمِكَ فَمَا تَصْنَعُ فِيهَا قَالَ أَمَّا إِذَا قُلْتَ هَذَا فَإِنِّى أَنْظُرُ إِلَى مَا يَخْرُجُ مِنْهَا فَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثِهِ وَآكُلُ أَنَا وَعِيَالِى ثُلُثًا وَأَرُدُّ فِيهَا ثُلُثَهُ » .
“Ketika seseorang sedang berada di tanah lapang tiba-tiba ia mendengar suara di awan yang bunyinya, “Siramilah kebun si fulan.” Maka awan itu bergeser dan menurunkan airnya ke tanah berbatu hitam sehingga salah satu selokan di antara selokan yang ada penuh berisi air, maka ia menelusuri ke mana air mengalir, tiba-tiba ada seorang laki-laki yang berdiri di kebunnya yang memindahkan air dengan sekopnya, lalu ia berkata, “Wahai hamba Allah, siapa namamu?” Ia menjawab, “Fulan.” Sesuai nama yang didengarnya di awan. Lalu orang itu kembali bertanya, “Wahai hamba Allah, mengapa engkau bertanya tentang namaku?” Ia menjawab, “Sesungguhnya aku mendengar suara di awan yang di sinilah airnya (dialirkan) bunyinya, “Siramilah kebun si fulan,” menyebut namamu. Memangnya, apa yang engkau lakukan dengan kebunmu?” Ia menjawab, “Jika kamu bertanya begitu, maka sesungguhnya aku memperhatilkan hasil dari kebun ini, sepertiganya aku sedekahkan, sepertiga lagi aku makan bersama keluargaku, dan sepertiga lagi aku kembalikan ke kebun.” (HR. Muslim)
Harta yang sia-sia
Saudaraku, setelah engkau mengetahui bagaimana cara memenej harta yang Islami, maka ketahuilah, harta yang tidak engkau menej seperti itu dapat membuatnya sia-sia. Termasuk harta yang sia-sia adalah apa yang kami sebutkan di bawah ini:
  1. Harta yang diperoleh dari usaha yang haram, seperti yang diperoleh dari riba, judi, ghasb (merampas), menipu, dsb.
  2. Harta yang dzatnya adalah haram, seperti khamr (arak), patung, narkoba, dsb.
  3. Harta yang engkau keluarkan untuk kemaksiatan, seperti untuk mendatangi kafe-kafe atau klub-klub malam, untuk menyumbang festival kemaksiatan yang di sana kaum laki-laki dan wanita bercampur baur dan memamerkan aurat, dsb.
  4. Harta yang membuat seseorang lupa dari mengingat Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Dia berfirman, Bermegah-megahan telah melalaikan kamu,--Sampai kamu masuk ke dalam kubur.= Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu),” (Terj. QS. At Takaatsur: 1-8)
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa

Rezeki Yang Tidak Halal

Minggu, 27 Juli 2014
بسم الله الرحمن الرحيم

Rezeki Yang Tidak Halal

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ، لاَ يُبَالِي المَرْءُ مَا أَخَذَ مِنْهُ، أَمِنَ الحَلاَلِ أَمْ مِنَ الحَرَامِ»
“Akan datang kepada manusia zaman yang seseorang tidak peduli lagi terhadap hartanya; apakah diambil dari jalan yang halal atau yang haram?” (HR. Bukhari)
Apa yang disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar terjadi; dan saat inilah zamannya. Di zaman ini, seseorang tidak peduli lagi terhadap harta yang ia peroleh; apakah didapat dari jalan yang halal atau jalan yang haram? Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ القِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَ فَعَلَ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ، وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَ أَبْلَاهُ»
“Tidaklah bergeser dua kaki seorang hamba pada hari Kiamat sampai ia ditanya tentang umurnya; untuk apa ia habiskan. Tentang ilmunya, apa saja yang telah ia amalkan, tentang hartanya, dari mana ia peroleh dan ke mana ia keluarkan, dan tentang badannya untuk apa ia kuras tenaganya?” (HR. Tirmidzi, ia berkata, “Hadits hasan shahih.”)
Harta Haram Sumber Petaka Dunia-Akhirat
Ketahuilah saudaraku, bahwa harta yang haram meskipun secara lahiriah nikmat, tetapi ia merupakan petaka dan musibah bagi dunia dan akhiratmu. Di dunia hartamu tidak berkah, sedangkan di akhirat, nerakalah tempat bagi mereka yang mengkonsumsi harta yang haram. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ جَسَدٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ  
“Setiap jasad yang tumbuh dari yang haram, maka neraka yang lebih layak baginya.” (HR. Thabrani dalam Al Kabir, Abu Nu’aim dalam Al Hilyah, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 4519).
Al Manawi berkata, “Dalam hadits ini terdapat ancaman yang keras yang menunjukkan bahwa memakan harta manusia dengan jalan yang batil termasuk dosa-dosa besar.”
Adz Dzahabi berkata, “Termasuk di dalamnya pemungut cukai, pembegal, pencuri, pengkhianat, pelacur, dan orang yang meminjam sesuatu lalu mengingkarinya. Demikian pula orang yang curang dalam timbangan atau takaran, orang yang menemukan harta namun tidak mau mengumumkannya lalu ia memakannya padahal ia tidak memilikinya. Termasuk pula orang yang menjual sesuatu yang ada cacatnya, lalu menyembunyikannya, orang yang melakukan taruhan (judi), serta orang yang mengabarkan pembeli bahwa barang ini hendak dibeli dengan harga tinggi. Ini semua termasuk dosa-dosa besar.”
Contoh-contoh harta haram
Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, agar kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (Terj. QS. Al Baqarah: 188)
Syaikh Abdurrahman As Sa’diy berkata, “Termasuk ke dalam ayat ini adalah memakan harta yang diperoleh dari hasil merampas, mencuri, berkhianat dalam barang titipan atau barang pinjaman, atau semisalnya. Demikian pula harta yang diperoleh melalui akad yang haram, seperti akad riba dan judi secara mutlak, ini semua termasuk memakan harta secara batil, karena itu bukan termasuk akad yang mubah. Termasuk pula harta yang diperoleh dengan sebab menipu dalam jual-beli, sewa-menyewa, dan sebagainya. Demikian pula memakan gaji karyawan setelah mengangkatnya, atau mereka menerima upah terhadap suatu amal yang tidak mereka penuhi kewajibannya. Dan termasuk pula mengambil upah terhadap ibadah dan berbagai bentuk taqarrub yang tidak sah sampai dimaksudkan mencari keridhaan Allah Ta’ala[1], dan termasuk pula mengambil zakat, sedekah, waqaf, wasiat bagi orang yang tidak memiliki hak di dalamnya, atau memiliki hak tetapi mengambil melebihi haknya.”
Pengaruh Rezeki yang tidak halal bagi diri dan keluarga
Rezeki yang tidak halal berpengaruh negatif bagi diri dan keluarga, di antaranya adalah mendapat ancaman neraka (lihat hadits sebelumnya), menjadikan harta tidak berkah (lihat QS. Al Baqarah: 276, membuat doa tidak terkabul, dan berbagai pengaruh negatif lainnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ تَعَالَى طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّباً، وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِيْنَ فَقَالَ تَعَالَى : يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحاً وَقاَلَ تَعَالَى : يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ ياَ رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِّيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لَهُ .
"Sesungguhnya Allah Ta’ala baik, tidak menerima kecuali yang baik. Sesungguhnya Allah memerintahkan orang beriman sebagaimana Dia memerintahkan para rasul-Nya dengan firmannya, "Wahai Para Rasul, makanlah yang baik-baik dan beramal salehlah." Dia juga berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman makanlah yang baik-baik dari apa yang Kami rezekikan kepada kamu." Kemudian Beliau menyebutkan tentang seorang yang melakukan perjalanan jauh dalam keadaan berambut kusut dan berdebu. Dia memanjatkan kedua tangannya ke langit sambil berkata, "Ya Rabbi, Ya Rabbi,” padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan kebutuhannya dipenuhi dari sesuatu yang haram, maka bagaimana doanya akan dikabulkan?” (HR. Muslim).
Jujur dan amanah membawa keberkahan
Harta yang diperoleh dari jalan yang halal meskipun sedikit jauh lebih baik daripada harta yang banyak namun diperoleh dari jalan yang haram. Yang demikian adalah karena harta yang halal mendatangkan keberkahan dari Allah Azza wa Jalla sehingga membuat pemiliknya dapat mengatur hartanya dengan baik, menggunakannya untuk ketaatan, dan mendapatkan tambahan dari Allah Azza wa Jalla tanpa disangka-sangka. Allah berfirman,
وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجاً--وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.--Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.” (Terj. QS. Ath Thalaq: 2-3)
Di antara cara meraih keberkahan pada harta adalah dengan berlaku jujur apa adanya dan amanah dalam berjual-beli dengan orang lain. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
البَيِّعَانِ بِالخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا، - أَوْ قَالَ: حَتَّى يَتَفَرَّقَا - فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا، وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
“Dua orang penjual dan pembeli berhak khiyar (melanjutkan atau membatalkan jual beli) selama belum berpisah –atau Beliau bersabda, “Sampai keduanya berpisah”- . Jika keduanya jujur dan menerangkan apa adanya, maka akan diberkahi jual beli keduanya, tetapi jika menyembunyikan dan berdusta, maka akan dicabut keberkahan jual beli keduanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kiat menghindari harta haram
Banyak kiat untuk menghindari harta haram, di antaranya adalah dengan bekerja dan bertawakkal, yakin bahwa rezeki ditanggung Allah, dan bahwa di sana masih banyak jalan yang halal untuk meraih rezeki-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ رُوْحَ الْقُدُسِ نَفَثَ فِي رَوْعِيْ أَنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوْتَ حَتَّى تَسْتَكْمِلَ أَجَلُهَا وَ تَسْتَوْعِبَ رِزْقُهَا فَاتَّقُوا اللهَ وَ أَجْمِلُوْا فِي الطَّلَبِ وَ لاَ يَحْمِلَنَّ أَحَدَكُمُ اسْتِبْطَاءُ الرِّزْقِ أَنْ يَطْلُبَهُ بِمَعْصِيَةِ اللهِ فَإِنَّ اللهَ تَعَالَى لاَ يُنَالُ مَا عِنْدَهُ إِلاَّ بِطَاعَتِهِ  . 
“Sesungguhnya Ruhul Qudus (malaikat Jibril) membisikkan dalam hatiku, bahwa seorang jiwa tidak akan mati sampai sempurna ajalnya dan mendapat penuh rezekinya. Maka bertakwalah kepada Allah dan perbaguslah dalam mencarinya. Janganlah keterlambatan rezeki membuat salah seorang di antara kamu mencarinya dengan bermaksiat kepada Allah, karena apa yang ada di sisi Allah hanya bisa diraih dengan ketaatan kepada-Nya.” (HR. Abu Nu’aim dalam Al Hilyah, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 2085).
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa



[1] Para ulama berbeda pendapat tentang menerima upah terhadap sebuah ketaatan atau ibadah.
Ulama madzhab Hanafi berpendapat, bahwa Ijarah (menyewa dan memberi upah) terhadap ketataan sama seperti menyewa seseorang untuk shalat, berpuasa, berhaji, membacakan Al Qur’an dan menghadiahkan pahala kepadanya, atau untuk menjadi muazin, imam dan sebagainya. Hal ini adalah tidak boleh dan haram mengambil upah terhadapnya. Alasannya adalah sabda Rasulullah shalllahu ‘alaihi wa sallam, “Iqra’ul qur’an wa’maluu bihi walaa tajfu ‘anhu walaa taghlu fih walaa ta’kuluu bih walaa tastaktsiruu bih,” (artinya: Bacalah Al Qur’an, amalkanlah, jangan menjauh darinya, jangan melampaui batas terhadapnya, jangan makan dan memperbanyak harta dengannya) HR. Ahmad, Thabrani dalam Al Kabir, Abu Ya’la, Baihaqi dalam Asy Syu’ab, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 1168.
Demikian pula berdasarkan hadits Amr bin ‘Ash, Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda , “Dan jika engkau diangkat menjadi muazin, maka jangan ambil upah terhadap azan itu.”
Di samping itu, suatu ibadah ketika telah terjadi oleh pelaku, maka tidak boleh mengambil upah terhadapnya. Termasuk pula yang masyhur di Mesir, yaitu wasiat untuk khataman Al Qur’an dan membaca berbagai tasbih dengan upah tertentu; dengan tujuan menghadiahkan pahalanya kepada ruh orang yang berwasiat. Ini semua tidak boleh secara syara’, karena seorang pembaca Al Qur’an jika membaca karena harta, maka ia tidak akan memperoleh pahala, lalu sesuatu apa yang hendak ia hadiahkan kepada si mayit?
Para fuqaha (Ahli Fiqh) menyatakan, bahwa upah yang diambil dari ketaatan adalah haram, tetapi para fuqaha dari kalangan mutaakhirin mengecualikannya, yaitu jika ketaatan itu adalah mengajarkan Al Qur’an dan ilmu-ilmu syar’i, maka mereka memfatwakan bolehnya mengambil upah sebagai bentuk istihsan, terutama setelah putusnya hubungan dan sumbangan yang biasa berjalan kepada para pengajar itu seperti di zaman dulu dari orang-orang kaya dan dari Baitul Mal untuk menghilangkan kesempitan dan kesusahan, karena mereka (para pengajar) butuh kepada sesuatu yang bisa menopang kehidupan mereka dan orang-orang yang mereka tanggung. Jika mereka disibukkan dengan bercocok tanam, berdagang, dan memproduksi barang dapat menyia-nyiakan Al Qur’anul Karim dan syariat yang mulia karena sudah tidak ada lagi para pemikulnya. Oleh karena itu, diperbolehkan memberi mereka upah terhadap pengajaran yang mereka lakukan.
Ulama madzhab Hanbali berpendapat, tidak sahnya mengupah muazin, orang yang iqamat, mengajarkan Al Qur’an, fiqh, hadits, wakil dalam ibadah haji atau qadha. Karena hal itu merupakan bentuk ibadah untuk pelakunya dan haram mengambil upah terhadapnya. Mereka juga mengatakan, namun boleh menerima rezeki dari Baitul Mal atau waqaf terhadap anal yang manfaatnya berguna bagi orang lain, seperti menjabat sebagai hakim, pengajar Al Qur’an, hadits, fiqh, wakil dalam ibadah haji, menanggung persaksian dan menunaikannya, azan, dan sebagainya, karena itu termasuk maslahat. Bukan sebagai bayaran, bahkan sebagai rezeki untuk membantu ketaatan dan tidak mengeluarkannya dari lingkaran ibadah serta tidak merusak keikhlasannya selain seperti keberhakan orang yang berperang mendapatkan ghanimah dan salab (barang rampasan).
Ulama madzhab Maliki, madzhab Syafi’i, dan Ibnu Hazm berpendapat bolehnya mengambil upah terhadap pengajaran Al Qur’an dan mengajarkan ilmu, karena ia merupakan penyewaan terhadap suatu amal dengan pengorbanan yang sudah maklum. Ibnu Hazm berkata, “Mengupah diperbolehkan atas pengajaran Al Qur’an dan pengajaran ilmu baik setiap bulan atau sekaligus. Semua itu diperbolehkan, demikian pula atas ruqyah yang dilakukan, menyalin mushaf, dan menyalin kitab-kitab ilmu, karena tidak ada nash yang melarangnya, bahkan telah ada nash yang membolehkannya.” Madzhab ini didukung oleh hadits yang diriwayatkan Bukhari dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa beberapa orang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati sebuah kolam air, dan di sana ada seorang yang terkena sengatan, lalu seorang yang berada di sana menanyakan kepada para sahabat, “Apakah di antara kalian ada orang yang bisa meruqyah? Karena di kolam ada seorang yang terkena sengatan.” Maka salah seorang sahabat membacakan surat Al Fatihah dengan imbalan beberapa ekor kambing, lalu ia membawa kambing-kambing itu kepada sahabat-sahabat yang lain, namun mereka menolaknya dan berkata, “Engkau mengambil upah terhadap Kitabullah.” Mereka pun tiba di Madinah lalu berkata, “Wahai Rasulullah, ia telah mengambil upah terhadap Kitabullah.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ
“Sesungguhnya yang lebih berhak kamu ambil upahnya adalah Kitabullah.”
Dan sebagaimana para fuqaha berbeda pendapat tentang mengambil upah terhadap pembacaan kitabullah dan pengajarannya. Mereka juga berbeda pendapat tentang mengambil upah terhadap ibadah haji, azan, dan menjadi imam.
Abu Hanifah dan Ahmad berkata, “Hal itu tidak boleh sebagaimana asalnya, yaitu tidak boleh mengambil upah terhadap ketaatan.”
Malik berkata, “Karena boleh mengambil upah terhadap pengajaran Al Qur’an, maka boleh pula mengambil upah terhadap ibadah haji dan azan.”
Adapun mendapat upah karena menjadi imam, maka hal itu tidak boleh jika hanya sekedar imam saja. Tetapi jika ia tambahkan dengan azan, maka boleh, sehingga upah itu diberikan karena azan dan menetap di masjid; bukan karena shalat.
Imam Syafi’i berkata, “Boleh memberikan upah kepada seseorang terhadap ibadah haji, namun tidak boleh jika karena menjadi imam shalat fardhu. Dan boleh berdasarkan kesepakatan ulama memberikan upah karena mengajarkan matematika, menulis, bahasa, adab, hadits, membangun masjid dan sekolah.”
Menurut ulama madzhab Syafi’i, boleh memberikan upah karena memandikan mayit, mentalqinkannya, dan menguburkannya.”
Adapun Abu Hanifah berpendapat, bahwa tidak boleh memberikan upah kepada seseorang karena memandikan mayit, namun boleh karena menggali kubur dan membawa janazah.” (Lihat Fiqhussnnah karya Syaikh S. Sabiq pada pembahasan Al Ujrah ‘ath thaa’at)
Wallahu a’lam.

Kunci-Kunci Rezeki

Rabu, 23 Juli 2014
بسم الله الرحمن الرحيم

Kunci-Kunci Rezeki

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Kita semua yakin, bahwa Allah yang memberikan rezeki; tidak selain-Nya, Dia berfirman,
وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِي الأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللّهِ رِزْقُهَا
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya,” (Terj. QS. Huud: 6)
Oleh karenanya, kepada-Nya kita bergantung dan memohon rezeki.
Allah Azza wa Jalla juga memerintahkan kita untuk mencarinya dan tidak tinggal diam bermalas-malasan, Dia berfirman.
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيراً لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.” (Terj. QS. Al Jumu’ah: 6)
Berikut ini beberapa kunci untuk memperoleh rezeki dari-Nya.
Kunci-kunci Rezeki
Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman menyebutkan dakwah Nabi Nuh ‘alaihissalam kepada kaumnya,
فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّاراً-- يُرْسِلِ السَّمَاء عَلَيْكُم مِّدْرَاراً-- وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَل لَّكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَل لَّكُمْ أَنْهَاراً
Aku pun berkata, “Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun---Niscaya Dia akan mengirimkan hujan lebat kepadamu, membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun serta mengadakan (pula di dalamnya) sungai-sungai untukmu. (Terj. QS. Nuh: 10-11)
Dari ayat di atas dapat kita ketahui bahwa istighfar dan tobat adalah salah satu di antara kunci rezeki.
Selain istighfar dan taubat, yang termasuk ke dalam kunci rezeki juga adalah:
1.   Takwa (menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya).
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجاً-- وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar (solusi)---Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. (Terj. QS. Ath Thalaq: 2-3)
Dari ayat ini kita ketahui, bahwa takwa adalah salah satu pintu rezeki, sebaliknya maksiat adalah salah satu sebab terhalangnya mendapatkan rezeki.
2.   Tawakkal kepada Allah.
Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
Dan barang siapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. (Terj. QS. Ath Thalaq: 3)
Rasulullah shallalllahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَتَوَكَّلُوْنَ عَلىَ اللّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرُزِقْتُمْ كَمَا تُرْزَقُ الطَّيْرُ تَغْدُوْ خِمَاصًا وَتَرُوْحُ بِطَانًا
“Kalau sekiranya kamu bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, tentu kamu akan diberi rezeki sebagaimana burung diberi rezeki, berangkat pagi dalam keadaan lapar dan pulang sore dalam keadaan kenyang.” (HR. Tirmidzi, ia mengatakan, “Hadits hasan shahih.”)
Perlu diketahui bahwa Tawakkal itu tidaklah seperti yang dipahami oleh orang-orang yang jahil (tidak mengerti) terhadap Islam, yang mengartikan bahwa tawakkal adalah membuang jauh-jauh sebab dan tidak beramal serta ridha dan rela terhadap kerendahan. Bahkan tidak demikian. Tawakkal adalah sebuah ketaatan kepada Allah dengan menjalankan sebab. Oleh karena itu, seseorang tidaklah berharap untuk memperoleh sesuatu kecuali menjalankan sebab-sebabnya. Adapun tercapai atau tidaknya dia serahkan kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala sambil berharap agar yang dicita-citakannya tercapai, karena hanya Dia-lah yang mampu mendatangkan hasilnya. Betapa banyak orang yang menjalankan sebab, namun ternyata tidak memperoleh hasil apa-apa.
3.   Menyempatkan diri untuk beribadah
Misalnya mengerjakan amalan sunat setelah amalan yang wajib. Baik yang berupa ibadah lisan seperti dzikr, membaca Al Qur’an dan mengajarkannya maupun yang berupa perbuatan seperti shalat-shalat sunah dsb.
Rasulullah shallalllahu 'alaihi wa sallam bersabda:
يَقُوْلُ رَبُّكُمْ يَا ابْنَ آدَمَ تَفَرَّغْ لِعِبَادَتِيْ أَمْلَأُ قَلْبَكَ غِنًى وَأَمْلَأُ يَدَكَ رِزْقًا يَا ابْنَ آدَمَ لَا تُبَاعِدْ مِنِّيْ أَمْلَأُ قَلْبَكَ فَقْرًا وَأَمْلَأُ يَدَكَ شُغْلاً
Tuhanmu berfirman, “Wahai anak Adam! Sempatkanlah beribadah kepada-Ku, niscaya Aku akan penuhi hatimu dengan rasa cukup dan Aku akan memenuhi tanganmu dengan rezeki. Wahai anak Adam! Janganlah menjauh dari-Ku. Jika demikian, Aku akan memenuhi hatimu dengan kefakiran dan Aku akan memenuhi tangan-Mu dengan kesibukan.” (HR. Hakim, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihut Targhib wat Tarhib)
4.   Berhajji dan berumrah
Rasulullah shallalllahu 'alaihi wa sallam bersabda:
تَابِعُوْا بَيْنَ الْحَجِّ وَاْلعُمْرَةِ فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَالذُّنُوْبَ كَمَا يَنْفِي اْلكِيْرُ خَبَثَ الْحَدِيْدِ وَالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَلَيْسَ لِلْحَجَّةِ الْمَبْرُوْرَةِ ثَوَابٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ
“Sertakanlah hajji dengan umrah, karena keduanya menghilangkan kefakiran dan dosa-dosa. Sebagaimana kir menghilangkan kotoran besi, emas dan perak. Haji yang mabrur tidak ada balasannya selain surga.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban, Syaikh Al Albani menghasankannya dalam Shahihut Targhib wat Tarhib)
5.   Menyambung tali silaturrahim
Rasulullah shallalllahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أََحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ عَلَيْهِ فِي رِزْقِهِ, وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ, فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barang siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya maka sambunglah tali silaturrahim.” (HR. Bukhari(
Silaturrahim adalah sebuah istilah untuk sikap ihsan (berbuat baik) kepada kerabat yang memiliki hubungan baik karena nasab (keturunan) maupun karena ash-har (perkawinan), bersikap lemah lembut kepada mereka, memberikan kebaikan dan menghindarkan keburukan semampunya yang menimpa mereka, serta memperhatikan keadaan mereka baik agama maupun dunianya.
6.   Berinfak
Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
وَمَا أَنفَقْتُم مِّن شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
“Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dialah pemberi rezeki yang sebaik-baiknya. (Terj. QS. Saba’: 39)
Rasulullah shallalllahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
قَالَ اللَّهُ أَنْفِقْ يَا ابْنَ آدَمَ أُنْفِقْ عَلَيْكَ
Allah berfirman, “Berinfaklah wahai anak Adam! Niscaya Aku akan berinfak kepadamu.” (HR. Bukhari)
Juga bersabda,
مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِيْهِ إِلاَّ مَلَكَانِ يَنْزِلاَنِ ، فَيَقُوْلُ أَحَدَهُمَا : اللَّهُمَّ أَعطِ مُنْفِقاً خَلَفاً، وَيَقُولُ الآخَرُ : اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكاً تَلَفاً
“Tidak ada satu hari pun, di mana seorang hamba melalui pagi harinya kecuali dua malaikat turun, yang satu berkata, “Ya Allah, berilah ganti kepada orang yang berinfak”, sedangkan malaikat yang satu lagi berkata, “Ya Allah, timpakanlah kebinasaan kepada orang yang bakhil.” (Muttafaq 'alaih)
Dan bersabda:
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ
“Sedekah tidaklah mengurangi harta, dan Allah tidaklah menambahkan hamba-Nya yang sering memaafkan kecuali kemuliaan. Dan seseorang tidaklah bertawadhu’ karena Allah, kecuali Allah akan meninggikannya.” (HR. Muslim)
7.   Berbuat baik kepada kaum dhuafa (kaum fakir-miskin)
Rasulullah shallalllahu 'alaihi wa sallam bersabda:
هَلْ تُنْصَرُونَ وَتُرْزَقُونَ إِلاَّ بِضُعَفَائِكُمْ
“Bukankah kamu dibela dan diberi rezeki karena (berbuat ihsan) kepada kaum dhuafa kamu.” (HR. Bukhari)
8.   Hijrah
Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
وَمَن يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللّهِ يَجِدْ فِي الأَرْضِ مُرَاغَماً كَثِيراً وَسَعَةً
“Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak.” (Terj. QS. An Nisaa’: 100)
Hijrah secara syara’ artinya meninggalkan sesuatu yang dibenci Allah menunju hal yang dicintai Allah dan diridhai-Nya. Rasulullah shallalllahu 'alaihi wa sallam bersabda:
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ ، وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ »
“Orang muslim adalah orang yang bisa menjaga lisan dan tangannya dari mengganggu muslim lainnya. Dan orang yang berhijrah adalah orang yang berhijrah dari perbuatan yang dilarang Allah.” (HR. Bukhari)
Termasuk ke dalam hijrah adalah berhijrah dari negeri kafir (negeri tempat merajalelanya kesyirkkan atau syi’ar-syi’ar kekufuran) dan  dirinya tidak mampu menjalankan ajaran-ajaran Islam di sana, menuju negeri Islam (negeri di mana syi’ar Islam tampak seperti azan, shalat berjama’ah, shalat Jum’at dan shalat hari raya). Kecuali jika ia tidak mampu berhijrah atau ia berniat berdakwah di sana, maka tidak mengapa tinggal di negeri kafir.
9.   Bersyukur terhadap nikmat Allah
Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (Terj. QS. Ibrahim: 7)
Bersyukur kepada Allah adalah dengan mengakui nikmat yang didapatkan berasal dari-Nya, memuji-Nya, dan menggunakan nikmat itu untuk ketaatan kepada-Nya.
10.         Membantu penuntul ilmu syar’i.
Dalam Sunan At Tirmidzi dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
كَانَ أَخَوَانِ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْتِى النَّبِيَّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْآخَرُ يَحْتَرِفُ، فَشَكَا الْمُحْتَرِفُ أَخَاهُ إِلىَ النَّبِيِّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: لَعَلَّكَ تُرْزَقُ بِهِ
Ada dua orang bersaudara di zaman Rasulullah shallalllahu 'alaihi wa sallam, yang satu datang kepada Nabi shallalllahu 'alaihi wa sallam (untuk belajar), sedangkan yang satunya lagi bekerja. Maka orang yang bekerja ini mengeluhkan kepada Nabi shallalllahu 'alaihi wa sallam tentang saudaranya. Beliau pun bersabda, “Mungkin saja kamu diberi rezeki karenanya.” (Hadits ini dishahihkan oleh Al Albani).
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraaji’: Tafsir Al Qur’anil ‘Azhim (Ibnu Katsir), Mafaatiihur rizq (Dr. Fadhl Ilaahiy), Minhaajul Muslim (Abu Bakar Al Jaza’iri), Subulus Salam (Imam Ash Shan’ani), dll.
 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger