Belajar Mudah Ilmu Tauhid (6)

Senin, 26 Mei 2014
بسم الله الرحمن الرحيم

Belajar Mudah Ilmu Tauhid (6)

(Wala’ dan Bara’, Hakikat Islam, Rukun Islam, Hakikat Iman, dan Rukun Iman)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut ini pembahasan tentang Wala’ dan Bara’, Hakikat Islam, Rukun Islam, Hakikat Iman, dan Rukun Iman yang kami terjemahkan dari kitab At Tauhid Al Muyassar karya Syaikh Abdullah bin Ahmad Al Huwail; semoga Allah menjadikan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamiin.
Definisi Wala’ dan Bara’ secara bahasa
Wala’ secara bahasa dari kata walayah yang artinya mahabbah (cinta).
Bara’ secara bahasa adalah masdar dari kata baraa yang artinya memutuskan. Disebut baral qalam artinya meruncingkan pena.
Definisi Wala’ dan Bara’ secara istilah
Wala artinya mencintai kaum muslimin, menolong mereka, memuliakan, menghormati, dan mendekat kepada mereka.
Bara’ artinya membenci kaum kafir, menjauhi mereka, dan tidak membela mereka.
Urgensi Wala’ dan Bara’
-       Wala’ dan Bara’ termasuk dasar-dasar akidah Islam.
-       Sebagai ikatan iman yang paling kuat.
-       Termasuk ajaran Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dan ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pembagian wala’
Wala’ terbagi dua:
Pertama, tawalli.
Kedua, muwalah.
Tentang Tawalli
Ada beberapa hal yang perlu diketahui tentang tawalli.
Arti Tawalli
Tawwali artinya menyukai syirk, pelakunya, menyukai kekafiran, dan pelakunya. Demikian juga membela orang-orang kafir untuk melawan kaum mukmin.
Hukum Tawalli
Tawalli merupakan kufur akbar dan membuat seseorang murtad dari Islam.
Dalil hukum tawalli
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ
“Barang siapa di antara kamu bertawalli kepada mereka, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.” (Terj. QS. Al Ma’idah: 51)
Tentang Muwalah
Ada beberapa hal yang perlu diketahui tentang muwalah.
Definisi Muwalah dan batasannya
Maksudnya adalah mencintai orang-orang kafir dan musyrik karena sebab dunia, namun tidak disertai pembelaan, sehingga tidak termasuk tawalli.
Hukum muwalah
Hukumnya haram dan termasuk dosa besar.
Dalil hukum muwalah
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاء تُلْقُونَ إِلَيْهِم بِالْمَوَدَّةِ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang;.” (Terj. QS. Al Mumtahanah: 1)
Fenomena berwala’ kepada orang-orang kafir
Di antara fenomena berwala’ kepada orang-orang kafir adalah:
1.    Menyerupai mereka dalam hal pakaian dan berbicara.
2.    Bersafar ke negeri mereka dengan tujuan tamasya dan bersenang-senang.
3.    Tinggal di negeri mereka dan tidak mau berpindah ke negeri kaum muslimin untuk membawa agama.
4.    Menggunakan kalender mereka, khususnya kalender yang menyebutkan upacara keagamaan dan hari raya mereka, seperti kalender masehi.
5.    Ikut serta dalam acara hari raya mereka atau membantu mereka mengadakannya, atau mengucapkan selamat terhadapnya, dan atau menghadiri pelaksanaannya.
6.    Memberi nama anak dengan nama-nama mereka.
Pembagian manusia dalam hal disikapi dengan wala’ dan bara’
Manusia dalam hal disikapi dengan wala dan bara’ terbagi menjadi tiga golongan:
Golongan pertama, orang-orang yang dicintai secara murni tanpa ada kebencian di sana.
Mereka ini adalah orang-orang mukmin yang bersih.
Golongan kedua, orang-orang yang dibenci dan dimusuhi dengan kebencian yang murni tanpa ada rasa cinta dan sikap wala’.
Mereka ini adalah orang-orang kafir yang jelas kekafirannya.
Golongan ketiga, orang-orang yang dicintai dari satu sisi dan dibenci dari sisi lain.
Mereka ini adalah orang-orang mukmin yang berbuat maksiat. Mereka dicintai karena ada keimanannya dan dibenci karena kemaksiatan yang mereka lakukan di bawah kufur dan syirk.
Hakikat Islam
Islam secara bahasa artinya tunduk dan menyerahkan diri.
Secara syara’ Islam artinya menyerahkan diri kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya, tunduk kepada-Nya dengan menaati-Nya, dan berlepas diri dari syirk dan para pelakunya.
Makna Islam secara umum dan khusus
Makna Islam secara umum adalah beribadah kepada Allah sesuai syariat-Nya sejak Allah mengutus para rasul sampai tegaknya hari Kiamat.
Makna Islam secara khusus tertuju kepada agama yang dibawa Nabi  Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Rukun (tiang penopang) Islam
Rukunnya ada lima:
1.    Bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah.
2.    Mendirikan shalat
3.    Menunaikan zakat
4.    Berpuasa Ramadhan
5.    Berhaji ke Baitullah bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke sana.
Rukun-rukun tersebut bisa dibagi lagi menjadi dua:
Pertama, rukun yang menjadi penopang bangunan. Ini disebut sebagai rukun asasi. Yang termasuk ke dalam rukun ini ada dua, yaitu: Dua kalimat syahadat dan shalat.
Kedua, rukun yang menyempurnakan bangunan tersebut. Ini disebut rukun tamam. Yang termasuk ke dalam rukun ini ada tiga, yaitu: menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan berhaji ke Baitullah.
Dalil rukun Islam
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ
"Islam dibangun di atas lima (dasar); bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan haji, dan puasa di bulan Ramadhan.  (Muttafaq ‘alaih)
Hakikat Iman
Arti iman secara bahasa adalah pembenaran dan pengakuan.
Menurut Ahlussunnah wal Jama’ah, iman adalah meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan, dan mengamalkan dengan anggota badan. Ia akan bertambah dengan ketaatan dan akan berkurang dengan kemaksiatan.
Rukun Iman
Rukun iman ada enam:
1.    Beriman kepada Allah
2.    Beriman kepada para malaikat-Nya.
3.    Beriman kepada kitab-kitab-Nya.
4.    Beriman kepada rasul-rasul-Nya.
5.    Beriman kepada hari akhir.
6.    Beriman kepada qadar yang baik dan yang buruk.
Berikut kandungan rukun-rukun tersebut:
Beriman kepada Allah
Beriman kepada Allah mencakup empat hal:
1.    Beriman kepada wujud Allah.
2.    Beriman kepada Rububiyyah-Nya (bahwa Dia yang mengatur, yang menguasai, dan memiliki alam semesta).
3.    Beriman kepada Uluhiyyah-Nya (keberhakan-Nya untuk disembah).
4.    Beriman kepada nama-nama dan sifat-Nya.
Beriman kepada para malaikat-Nya
Beriman kepada malaikat mencakup empat hal:
1.    Beriman kepada wujud mereka.
2.    Beriman kepada malaikat yang kita ketahui namanya, seperti Jibril. Sedangkan malaikat yang tidak kita ketahui namanya, maka kita imani secara garis besar.
3.    Beriman kepada sifat malaikat yang kita ketahui.
4.    Beriman kepada perbuatan mereka yang kita ketahui yang mereka lakukan atas perintah Allah.
Beriman kepada kitab-kitab Allah
Beriman kepada kitab-kitab Allah mencakup empat hal:
1.    Beriman bahwa kitab-kitab itu benar-benar turun dari sisi Allah.
2.    Beriman kepada kitab yang kita ketahui namanya, seperti Al Qur’an, Taurat, dan Injil. (Aadapun yang tidak kita ketahui namanya, maka kita beriman kepadanya secara garis besar-pent).
3.    Membenarkan beritanya yang shahih, seperti berita yang disampaikan Al Qur’an dan berita dari kitab-kitab terdahulu yang belum dirubah atau diselewengkan yang disahkan penukilannya dalam syariat kita.
4.    Mengamalkan hukum-hukum yang belum dimansukh disertai sikap ridha dan menerima, baik kita memahami hikmahnya atau tidak. Dan semua kitab-kitab terdahulu telah dimansukh oleh Al Qur’an.
Beriman kepada para rasul
Beriman kepada para rasul mencakup empat hal:
1.    Beriman bahwa risalah mereka betul-betul dari sisi Allah Ta’ala. Barang siapa yang kafir kepada salah seorang rasul, maka sama saja kafir kepada semua rasul.
2.    Beriman kepada rasul yang kita ketahui namanya, seperti Muhammad, Ibrahim, Musa, Isa, dan Nuh ‘alaihimus salam.  (adapun yang tidak kita ketahui namanya, maka kita beriman kepadanya secara garis besar).
3.    Membenarkan berita yang shahih dari mereka.
4.    Mengamalkan syariat rasul yang diutus kepada kita, yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau adalah penutup para nabi dan rasul yang diutus kepada semua manusia.
Beriman kepada hari Akhir
Beriman kepada hari akhir mencakup tiga hal:
1.    Beriman kepada adanya kebangkitan.
2.    Beriman kepada hisab (pemeriksaan amal) dan pembalasan.
3.    Beriman kepada surga dan neraka.
Termasuk ke dalam beriman kepada hari Akhir adaah beriman kepada semua yang akan terjadi setelah mati, seperti fitnah kubur, azab kubur, dan nikmat kubur.
Beriman kepada Qadar
Beriman kepada qadar mencakup empat hal:
1.    Beriman bahwa Allah mengetahui segala sesuatu baik secara garis besar maupun secara rinci.
2.    Beriman bahwa Allah mencatat semua itu dalam Lauh Mahfuzh.
3.    Beriman bahwa semua yang terjadi tidak lepas dari kehendak Allah Ta’ala.
4.    Beriman bahwa semua yang terwujud adalah makhluk ciptaan Allah Ta’ala, baik dzatnya, sifatnya, maupun gerakannya.
Dalil rukun iman yang enam
Allah Ta’ala berfirman,
لَّيْسَ الْبِرَّ أَن تُوَلُّواْ وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَـكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَالْمَلآئِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu adalah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi...dst.” (Terj. QS. Al Baqarah: 177)
إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan qadar.” (Terj. QS. Al Qamar: 49)
Dalam As Sunnah, disebutkan dalam hadits Jibril ketika ia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Beritahukan kepadaku tentang iman? Maka Beliau bersabda,
أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ.
“Kamu beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir, serta kamu beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.” (HR. Muslim)
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam.

Diterjemahkan dari kitab At Tauhid Al Muyassar oleh Marwan bin Musa

Risalah Taubat (5)

Jumat, 23 Mei 2014
بسم الله الرحمن الرحيم
Risalah Taubat (5)
(Diringkas dari kitab “Uriidu An Atuuba wa laakin” karya Syaikh M. bin Shalih Al Munajjid oleh Marwan bin Musa)
Þ      Masalah: “Apa yang harus dilakukan terhadap harta yang diperoleh dari keuntungan menjual rokok. Dan bagaimana jika harta tersebut bercampur dengan harta yang halal?”
Jawab: Siapa saja yang sebelumnya berjualan barang-barang haram seperti alat musik, CD haram, dan rokok, sedangkan ia mengetahui hukumnya, kemudian bertobat, maka hendaknya ia mengalihkan keuntungan perdagangan haram ini ke tempat-tempat sosial hanya untuk membersihkan saja, bukan sebagai sedekah, karena Allah baik dan hanya menerima yang baik-baik.
Dan jika harta haram ini bercampur dengan harta lainnya yang halal. Misalnya sebuah warung yang menjual rokok dan barang-barang mubah, maka ia perkirakan harta haram tersebut sesuai perkiraannya dan mengeluarkannya dari harta halal tersebut.
Kesimpulannya, siapa saja yang memiliki harta dari hal yang haram, lalu ia hendak bertobat darinya, maka:
-      Jika sebelumnya ia non muslim ketika mencari harta yang haram, maka ia tidak wajib mengeluarkan harta tersebut dari hartanya yang halal ketika sudah bertobat.
-      Jika sebelumnya ia seorang muslim ketika mencari harta yang haram dan mengetahui keharamannya, maka ketika ia bertobat, ia harus mengeluarkan harta haram itu dari hartanya yang halal.
Þ      Masalah: “Seseorang suka menerima suap, kemudian Allah memberinya hidayah, lalu apa yang harus dilakukan orang itu terhadap harta yang diperoleh dari suap tersebut?”
Jawab: Jika demikian, maka masalahnya tidak lepas dari ada dua keadaan di bawah ini:
-       Ia mengambil harta suap itu dari orang yang memiliki hak lagi terzalimi yang terpaksa harus menyuap agar haknya dapat diperoleh. Maka jika seperti ini, bagi orang yang bertobat dari perbuatan ini harus mengembalikan harta suap itu kepada pemiliknya, karena ini termasuk harta rampasan di samping adanya desakan kepada orang yang terzalimi untuk mengeluarkannya.
-       Ia menerima harta suap tersebut dari orang yang zalim yang sama halnya seperti dia. Misalnya orang lain menyuap dirinya agar memberikan sesuatu yang memang bukan miliknya. Maka dalam keadan seperti ini harta tersebut tidak dikembalikan kepadanya, akan tetapi orang yang bertobat darinya cukup dengan mengeluarkan harta itu untuk masalah-masalah sosial seperti menyantuni kaum fakir, dsb.
Þ      Masalah: “Saya pernah mengerjakan perbuatan haram dan mengambil upah terhadapnya. Sekarang saya bertobat, lalu apakah saya harus mengembalikan harta itu kepada orang yang memberikannya kepada saya dahulu?”
Jawab: Seorang yang mengerjakan perbuatan haram atau memberikan pelayanan haram kepada orang lain dan mengambil upah terhadapnya, maka ketika ia bertaubat, ia meninggalkan perbuatan itu dan tidak mengembalikan upahnya kepada orang yang memberikannya. Oleh karena itu, wanita pezina yang mengambil upah terhadap zinanya, tidak boleh mengembalikan upah itu kepada laki-laki yang menzinahinya. Wanita penyanyi yang mengambil upah terhadap nyanyiannya tidak boleh mengembalikan upahnya kepada pemilik pesta jika bertobat. Penjual minuman keras atau narkoba tidak boleh mengembalikan upahnya kepada orang yang menjualnya jika bertobat. Demikian juga orang yang memberikan persaksian palsu karena diminta, tidak boleh mengembalikan upahnya kepada orang yang memintanya bersaksi palsu.
Sebabnya adalah jika mengembalikan upahnya kepada orang-orang tersebut, bisa membantu mereka berbuat maksiat. Oleh karena itu, cukup hanya dengan melepaskan diri dari perbuatan itu. Inilah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan dikuatkan oleh murid Ibnul Qayyim sebagaimana dalam Al Madaarij (1/390).
Þ      Masalah: “Ada sesuatu yang membuatku gelisah, yaitu aku pernah melakukan perbuatan keji dengan seorang wanita. Lalu bagaimanakah cara aku bertobat dan bolehkah aku menikahinya untuk menutupi masalah itu?”
Dan bagaimana jika wanita yang dizinahinya hamil, apakah anak itu anaknya dan apakah ia berkewajiban mengirimkan nafkah kepadanya?”
Jawab, “Masalah ini sangat sering sekali dikemukakan, sehingga membuat seorang muslim harus lebih serius menata dirinya agar berada di atas tuntunan Al Qur’an dan As Sunnah. Termasuk ke dalam menata diri di atas tuntunan Al Qur’an dan As Sunnah adalah menutup segala celah yang bisa mengarah kepada zina, misalnya dengan menundukkan pandangan, menghindari khalwat (berdua-duaan) dengan wanita yang bukan mahram, tidak berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahramnya, memberlakukan hijab syar’i,  menjauhi ikhthilat (campur baur pria-wanita), tidak bersafar ke negeri-negeri kafir, memperhatikan secara serius rumah tangganya, segera menikah, dsb.
Kembali kepada masalah di atas, jika seseorang melakukan perbuatan keji (seperti zina), maka tidak lepas masalahnya dari dua keadaan:
-       Jika ia menzinahi wanita dengan pemaksaan, maka ia harus memberikan mahar mitsil kepada wanita yang dizinahinya, sebagai ganti terhadap madharrat yang ditimpakan kepadanya disertai dengan tobat nashuha kepada Allah dan dilaksanakan hukuman hudud jika beritanya sampai kepada imam.
-       Jika ia menzinahinya dengan kerelaan si wanita, maka ia hanya wajib bertobat dan anaknya tidak bisa dinasabkan kepadanya secara mutlak, demikian juga tidak wajib baginya menafkahinya karena anak itu lahir dari perzinaan. Oleh karena itu, anak itu dinasabkan ke ibunya, tidak bisa dinasabkan kepada laki-laki yang menzinahinya.
Demikian juga laki-laki yang bertobat dari zina ini tidak boleh menikahinya untuk menutupi masalah itu. Juga tidak boleh melakukan akad nikah dengan si wanita itu, ketika di perutnya masih ada janin hasil dari zina, meskipun janin itu berasal darinya, sebagaimana tidak boleh melakukan ‘akad nikah dengan si wanita, sedangkan ia tidak mengetahui apakah wanita yang dizinahinya itu hamil atau tidak.
Adapun jika laki-laki ini bertobat, demikian juga si wanita yang rela dizinahi ini bertobat dengan taubat nashuha, dan telah jelas rahim itu telah kosong dari janin dengan istibraa’[i], maka ketika ini ia boleh menikahinya dan memulai hidup baru.
Þ      Masalah: “Sesuatu yang tidak diinginkan terjadi, yaitu aku melakukan perbuatan keji, dan telah melakukan ‘akad nikah dengan wanita yang aku zinahi. Telah berlalu beberapa tahun pernikahanku, aku pun sekarang menyadari dan bertobat kepada Allah sebagaimana wanita yang aku zinahi juga bertobat, lantas apa yang harus aku lakukan?”
Jawab: Jika anda berdua bertaubat, maka anda harus mengulangi nikahnya dengan syarat-syarat syar’i yaitu dengan menghadirkan wali dan dua orang saksi. Dan hal itu tidak mesti dilakukan di mahkamah, bahkan kalaupun dilakukan di rumah pun sudah cukup.
Þ      Masalah: “Ada seorang wanita yang menikahi laki-laki saleh, wanita itu sebelumnya pernah melakukan hal-hal yang tidak diridhai Allah (misalnya zina), lalu apakah wanita ini perlu memberitahukan suaminya tentang perbuatannya di masa lalu?”
Jawab: “Wanita ini tidak perlu memberitahukan suaminya tentang perbuatannya yang dilakukan di masa lalu, ia cukup bertaubat kepada Allah dan menutupi aibnya dengan tirai Allah.
Adapun jika laki-laki saleh ini menikahi wanita gadis, namun setelah digauli ternyata bukan gadis, maka si laki-laki ini berhak mengambil mahar yang telah diberikannya dan berpisah dengannya. Namun jika laki-laki saleh ini melihat wanita itu sudah bertaubat lalu laki-laki ini menutupi aibnya dan melangsungkan pernikahan dengannya, maka Insya Allah ia akan mendapatkan pahala dari Allah Subhaanahu wa Ta'aala.
Þ      Masalah: “Apa yang harus dilakukan oleh orang yang bertobat dari homoseks?”
Jawab, “Yang wajib dilakukan oleh pelakunya dan orang yang dikenakan liwath adalah bertobat kepada Allah dengan sebenar-benarnya. Karena tidak diketahui berbagai macam bentuk azab yang Allah timpakan kepada kaum yang melakukannya disebabkan kejinya perbuatan itu. Lihat kaum Luth:
-      Mata mereka dijadikan buta.
-      Ditimpa oleh suara yang mengguntur.
-      Dibalikkan negeri mereka, bagian atas di bawah dan bagian bawah di atasnya.
-      Dihujani oleh batu dari tanah yang terbakar.
Oleh karena itu, had (hukuman) bagi pelaku liwath (homoseks) adalah dibunuh baik ia sudah menikah maupun belum.
Þ      Masalah: “Sekarang saya sudah bertobat kepada Allah, dan saya memiliki barang-barang haram seperti alat musik, kaset, dan video haram. Bolehkah saya menjualnya, apalagi harga jualnya bisa tinggi?”
Jawab: Tidak boleh menjual barang-barang haram dan hasilnya penjualannya adalah haram. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اِنَّ اللهَ اِذَا حَرَّمَ شَيْئًا حَرَّمَ ثَمَنَهُ
“Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan sesuatu, mengharamkan juga hasilnya.” (Shahih, HR. Abu Dawud)
Demikian juga, setiap barang yang anda ketahui akan digunakan untuk yang haram, tidak boleh menjual barang itu kepadanya. Karena Allah melarang tolong-menolong di atas dosa dan pelanggaran. Ketahuilah, kalau pun anda merasa rugi karena barang tersebut tidak dijual, maka barang yang di sisi Allah itu lebih baik dan lebih kekal. Dan Dia akan menggantinya dengan kemurahan-Nya.
Þ      Masalah: “Dahulu saya adalah orang yang tersesat. Saya menyebarkan pemikiran-pemikiran sekularisme, membuat tulisan, dan kisah-kisah sebagai penolakan terhadap agama dan menggunakan sya’ir yang saya kuasai untuk menyebarkan pemikiran serba boleh dan kemaksiatan. Kemudian Allah memberikan rahmat-Nya kepada saya, sehingga mengeluarkan saya dari kegelapan kepada cahaya, lalu bagaimanakah cara saya bertobat?”
Jawab: “Ini adalah karunia yang besar; diberikannya anda hidayah oleh-Nya, semoga Allah menjadikan anda tetap istiqamah dan teguh di atas agamanya. Selanjutnya, jika anda sebelumnya menggunakan lisan dan pena anda untuk memerangi Islam dan menyebarkan pemikiran dan keyakinan-keyakinan yang menyesatkan, maka anda harus:
-    Menyatakan terang-terangan tobat anda dan rujuknya anda dari pemikiran dahulu dengan berbagai sarana serta menjelaskan batilnya pemikiran dan keyakinan tersebut. Demikian juga menelusuri syubhat yang pernah disebarkannya kemudian membantah masing-masing syubhat tersebut. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala:
إِلاَّ الَّذِينَ تَابُواْ وَأَصْلَحُواْ وَبَيَّنُواْ فَأُوْلَـئِكَ أَتُوبُ عَلَيْهِمْ وَأَنَا التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
“Kecuali mereka yang telah bertobat dan Mengadakan perbaikan[ii] dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itulah Aku menerima taubatnya dan Akulah yang Maha menerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. Al Baqarah: 160)
-    Menggunakan lisan dan penanya untuk menyebarkan Islam, menggunakan kemampuannya untuk membela agama Allah, dan menerangkan yang benar kepada manusia, serta mendakwahkannya.
-    Menggunakan kemampuannya untuk membantah musuh-musuh Allah.
Ibrah (pelajaran)
Disebutkan dalam riwayat bahwa salah seorang yang saleh pernah berjalan di sebuah jalan, dilihatnya ada pintu dibuka dan dikeluarkannya seorang anak sambil berteriak menangis, ibunya yang berada di belakangnya mendorongnya untuk keluar, sehingga akhirnya anak itu berada di luar. Ibu itu pun mengunci pintu di hadapannya dan masuk kembali. Anak kecil itu kemudian pergi tidak jauh dan berhenti sambil berfikir, ia pun merasakan bahwa ia tidak memiliki tempat istirahat selain rumah tempat ia dikeluarkan dan merasakan bahwa tidak ada yang dapat menyamankannya selain ibunya. Lalu anak itu pulang dalam keadaan sedih, namun ditemuinya pintu itu tertutup, ia pun tidur dengan menaruh pipinya di palang pintu sambil mengalir air matanya membasahi pipi. Setelah beberapa lama ibunya keluar, dilihatnya anaknya dalam kondisi yang membuatnya kasihan, segeralah ibunya memeluk anaknya, mencium dan menangis karenanya, sambil berkata, “Anakku, ke mana saja kamu pergi, dan siapa yang melindungimu selainku. Bukankah ibu sudah mengatakan kepadamu, “Jangan mendurhakai perintah ibu dan jangan membuat ibu menghukummu.”
Setelah anda menyimak kisah ini, bandingkanlah dengan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berikut:
اَللهُ اَرْحَمُ بِعِبَادِهِ مِنْ هَذِهِ بِوَلَدِهَا
“Allah lebih sayang kepada hamba-hamba-Nya daripada sayangnya ini (seorang ibu) terhadap anaknya.” (HR. Muslim)
Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam juga pernah bersabda:
لَلَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ مِنْ رَجُلٍ حَمَلَ زَادَهُ وَمَزَادَهُ عَلَى بَعِيرٍ ثُمَّ سَارَ حَتَّى كَانَ بِفَلاَةٍ مِنَ الأَرْضِ فَأَدْرَكَتْهُ الْقَائِلَةُ فَنَزَلَ فَقَالَ تَحْتَ شَجَرَةٍ فَغَلَبَتْهُ عَيْنُهُ وَانْسَلَّ بَعِيرُهُ فَاسْتَيْقَظَ فَسَعَى شَرَفًا فَلَمْ يَرَ شَيْئًا ثُمَّ سَعَى شَرَفًا ثَانِيًا فَلَمْ يَرَ شَيْئًا ثُمَّ سَعَى شَرَفًا ثَالِثًا فَلَمْ يَرَ شَيْئًا فَأَقْبَلَ حَتَّى أَتَى مَكَانَهُ الَّذِى قَالَ فِيهِ فَبَيْنَمَا هُوَ قَاعِدٌ إِذْ جَاءَهُ بَعِيرُهُ يَمْشِى حَتَّى وَضَعَ خِطَامَهُ فِى يَدِهِ فَلَلَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ الْعَبْدِ مِنْ هَذَا حِينَ وَجَدَ بَعِيرَهُ عَلَى حَالِهِ » .
“Sungguh, Allah lebih senang dengan tobat hamba-Nya daripada seseorang yang membawa perbekalan dan wadah besar di atas unta, yang ketika berjalan di tengah padang pasir, tiba-tiba ia kelelahan. Orang itu kemudian turun dan istirahat siang di bawah sebuah pohon, tiba-tiba matanya terpejam (tidur) dan unta itu terlepas. Ketika bangun, ia cari-cari (unta itu) dari atas bukit, namun sama sekali tidak terlihat apa-apa. lalu dinaiki bukit yang lain, namun tidak terlihat apa-apa. Kemudian dinaikilah bukit ketiganya, namun tidak terlihat apa-apa. Ia pun kembali ke tempat semula. Ketika sedang duduk, tiba-tiba untanya kembali sampai-sampai kekangnya ditaruh .di tangannya. Dan Allah lebih senang (terhadap orang yang bertobat) daripada orang itu (yang kehilangan) menemukan kembali untanya. (HR. Muslim)
الحمد لله الذي بنعمته تتم الصالحات
Diringkas dari kitab Uridu an atuuba karya Syaikh M. Bin Shalih Al Mujjadi oleh Marwan bin Musa


[i] Ada yang mengatakan istibra’nya dengan satu kali haidh, sedangkan ulama yang lain berpendapat bahwa istibra’nya itu dengan tiga kali quruu’ jika haidh, atau tiga bulan jika tidak haidh atau dengan melahirkan jika ternyata hamil. Kecuali jika wanita itu budak, maka istibra’nya dengan satu kali haidh jika haidh, dan dengan melahirkan jika ternyata hamil.
Jika sesesorang nekad menikahi wanita yang dizinahi tanpa didahului dengan istibraa, sedangkan dia mengetahui bahwa pernikahan itu tidak boleh, maka pernikahannya tidak sah.
[ii] Mengadakan perbaikan berarti melakukan perbuatan-perbuatan yang baik untuk menghilangkan akibat-akibat yang jelek dari kesalahan-kesalahan yang dilakukan.
 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger