Bersyukurlah kepada Allah!

Kamis, 29 Maret 2012
بسم الله الرحمن الرحيم
Bersyukurlah Kepada Allah!
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ، مُعَافًى فِي جَسَدِهِ، عِنْدَهُ قُوْتُ يَوْمِهِ، فَكَأنَّمَا حِيْزَتْ لَهُ الدُّنْيَا بِحَذَافِيْرِهَا
"Barang siapa yang pada pagi harinya aman, sehat badannya, dan pada sisinya ada makanan untuk hari itu, maka seakan-akan dunia beserta segala isinya diberikan kepadanya." (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah, dan dihasankan oleh Al Albani)
Dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menerangkan kepada kita, bahwa barang siapa yang keadaannya aman, badannya sehat, dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan-akan dunia beserta isinya telah diberikan kepadanya. Dari sini kita mengetahui besarnya nikmat keamanan, besarnya nikmat kesehatan, dan besarnya nikmat memiliki bahan pangan. Dan saat ini kita tengah merasakannya.
Bayangkan jika nikmat keamanan dicabut dari kita seperti yang dirasakan saudara-saudara kita di beberapa negara yang hari-harinya penuh dengan perang dan pertumpahan darah, tentu kita tidak akan merasakan ketenangan dalam hidup.
Bayangkan pula jika nikmat kesehatan itu dicabut dari kita, badan kita demam, kepala kita pusing, fisik kita lemah, tentu nikmatnya hidup menjadi berkurang.
Dan bayangkan pula jika nikmat memiliki bahan pangan dan kecukupan dicabut dari kita sehingga kita merasakan kelaparan dan kekurangan seperti yang dialami saudara-saudara kita kaum muslim di Somalia dan negeri lainnya, tentu nikmatnya hidup menjadi kurang terasa. Maka bersyukurlah kepada Allah Azza wa Jalla atas semua nikmat itu; nikmat keamanan, nikmat kesehatan, dan nikmat kecukupan…
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ, ورُزِقَ كَفَافًا, وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ"
"Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, diberi rezeki yang cukup dan diberikan oleh Allah sifat qana'ah (rasa cukup) terhadap pemberian-Nya." (HR. Tirmidzi, dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)
Apa itu syukur?
Syukur adalah sebuah kata yang penuh dengan kebaikan. Ia akan menjaga nikmat itu, mengembangkannya dan menambahkannya. Syukur maksudnya mengakui bahwa semua nikmat yang kita rasakan berasal dari Allah Subhaanahu wa Ta'ala, Dia berfirman,
وَمَا بِكُم مِّن نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللّهِ
"Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)," (An Nahl: 53)
Oleh karena itu, janganlah kita sandarkan nikmat-nikmat itu kepada selain-Nya, seperti menyandarkan kekayaan karena kepandaian kita dalam berbisnis, menyandarkan kesuksesan karena kehebatan kita, menyandarkan turunnya hujan karena bintang ini dan bintang itu, tahun ini dan tahun itu, dan lain sebagainya. Dan termasuk tidak bersyukur adalah apa yang dilakukan sebagian orang yang tinggal di pelosok berupa mempersembahkan sesaji ke laut atau ke tempat lainnya ketika mereka mendapatkan kemakmuran dan mendapatkan hasil panen yang banyak dari tanaman mereka. Ini merupakan syirk dan sikap kufur nikmat yang besar.
Demikian juga tidak termasuk bersyukur kepada Allah, ketika kita membanggakan nikmat-nikmat itu di hadapan hamba-hamba-Nya sambil menyombongkan diri.
Syukur juga adalah menyebut nama pemberi nikmat dan memuji-Nya, yaitu Allah Azza wa Jalla. Oleh karena itu, setelah Allah Subhaanahu wa Ta'ala menyebutkan nikmat-Nya yang paling besar, yaitu diutus-Nya Rasul kepada kita dan diturunkan kitab-Nya agar kita tidak tersesat dan dapat berbahagia di dunia dan akhirat, maka Dia menyuruh kita menyebut nama-Nya, Dia berfirman,
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُواْ لِي وَلاَ تَكْفُرُونِ
"Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku." (Terj. QS. Al Baqarah: 152)
Dengan demikian, hendaknya kita mengingat dan menyebut nama Allah serta memuji-Nya ketika mendapatkan nikmat. Kita sandarkan nikmat itu kepada-Nya sambil memuji-Nya.
Di antara cara bersyukur
Dan termasuk cara bersyukur pula di samping memuji-Nya adalah dengan melakukan sujud syukur. Imam Abu Dawud dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Bakrah,
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ «إِذَا جَاءَهُ أَمْرُ سُرُورٍ أَوْ بُشِّرَ بِهِ خَرَّ سَاجِدًا شَاكِرًا لِلَّهِ»
Dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa Beliau apabila mendapatkan sesuatu yang menggembirakan atau diberikan kabar gembira, maka Beliau tersungkur sujud kepada Allah. (Dihasankan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami' no. 4701)
Demikian juga dengan menampakkan bekas nikmat itu pada diri kita. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ يُحِبَّ أَنْ يَرَى أَثَرَ نِعْمَتِهِ عَلَى عَبْدِهِ
"Sesungguhnya Allah suka melihat bekas nikmat-Nya kepada hamba-Nya." (HR. Tirmidzi dan Hakim, dihasankan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami' no. 1887)
Berterima kasih kepada manusia atas kebaikan mereka termasuk syukur
Perlu diketahui, bahwa termasuk bersyukur pula kepada Allah adalah berterima kasih kepada manusia atas kebaikan mereka. Rasululah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
اَلتَّحَدُّثُ بِنِعْمَةِ اللهِ شُكْرٌ وَ تَرْكُهَا كُفْرٌ وَ مَنْ لاَ يَشْكُرُ الْقَلِيْلَ لاَ يَشْكُرُ الْكَثِيْرَ وَ مَنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ لاَ يَشْكُرُ اللهَ وَ الْجَمَاعَةُ بَرَكَةٌ وَ الْفُرْقَةُ عَذَابٌ
“Menyebut-nyebut nikmat Allah adalah bersyukur, meninggalkannya adalah kufur. Barang siapa tidak bersyukur terhadap yang sedikit, maka dia tidak akan bersyukur kepada yang banyak. Barang siapa yang tidak berterima kasih kepada manusia, maka dia tidak bersyukur kepada Allah. Berjamaah adalah berkah, sedangkan berpecah adalah azab.” (HR. Baihaqi dalam Asy Syu’ab, dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jaami’ no. 3014)
Di antara bentuk berterima kasih kepada manusia adalah membalasnya, mendoakannya, menyebutnya, dan memujinya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَتَى إِلَيْكُمْ مَعْرُوفًا فَكَافِئُوهُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فَادْعُوا لَهُ
“Barang siapa yang memberikan hal yang baik kepada kamu maka balaslah setimpal dengannya, jika kamu tidak dapat membalasnya, maka doakanlah untuknya.” (HR. Thabrani, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jaami’ no. 5937)
مَنْ أُبْلِيَ بَلَاءً فَذَكَرَهُ، فَقَدْ شَكَرَهُ، وَإِنْ كَتَمَهُ فَقَدْ كَفَرَهُ
"Barang siapa yang diberi sebuah nikmat, lalu ia menyebut orang yang memberi, maka ia telah bersyukur kepadanya dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka ia telah kufur." (HR. Abu Dawud dan Adh Dhiyaa', dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami' no. 5933)
Bagian dari syukur yang tidak terpisahkan
Termasuk syukur kepada Allah Ta'ala di samping mengakui nikmat itu berasal dari-Nya dan memuji-Nya adalah mengerjakan perintah-perintah Allah yang memberi nikmat dan menjauhi larangan-Nya.
Nikmat yang Allah berikan kepada kita begitu banyak. Jika sekiranya, kita mau menghitungnya satu-persatu, niscaya kita tidak akan sanggup menghitungnya. Maka sudah sepantasnya kita bersyukur kepada-Nya dengan menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Di antara perintah-Nya adalah beribadah hanya kepada-Nya, mendirikan shalat yang lima waktu dan melaksanakannya dengan berjamaah, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, berbakti kepada orang tua, bersedekah, berbuat baik kepada orang lain dan tetangga, menyambung tali silaturrahim, memberikan santunan kepada kerabat, orang miskin, ibnus sabil (musafir yang kehabisan bekal), dan anak yatim, berkata jujur, memenuhi janji, menunaikan amanah, dan menjalankan perintah-perintah Allah lainnya.
Sedangkan di antara larangan-Nya adalah syirk, meninggalkan shalat, durhaka kepada orang tua, memakan riba, berzina, memutuskan tali silaturrahim, enggan memberikan santunan (bakhil), berkata dusta, ingkar janji, tidak amanah dan sebagainya.
Jika kita belum melaksanakan perintah Allah dan belum menjauhi larangan-Nya, maka berarti kita belum bersyukur.
Saudaraku, inginkah nikmat-nikmat yang kita rasakan ini dipelihara oleh Allah dan ditambah-Nya, dan tidak dicabut-Nya nikmat itu dari kita?
"Bersyukur," itulah caranya. Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman,
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
"Dan (ingatlah juga), ketika Tuhanmu memaklumkan, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (QS. Ibrahim: 7)
Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا رَأَيْتَ اللهَ تَعَالَى يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا مَا يَحِبُّ وَ هُوَ مُقِيْمٌ عَلَى مَعَاصِيْهِ فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِنْهُ اسْتِدْرَاجٌ
"Jika engkau melihat Allah Ta'ala memberikan kesenangan dunia kepada seorang hamba yang ia sukai, sedangkan ia tetap di atas kemaksiatannya, maka hal itu adalah istidraj (penangguhan azab) dari-Nya." (HR. Ahmad, Thabrani dalam Al Kabir, dan Baihaqi dalam Asy Syu'ab, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami' no. 561)
Saudaraku, termasuk syukur juga adalah kita menggunakan nikmat-nikmat yang Allah berikan kepada kita untuk ketataan kepada-Nya, bukan untuk kemaksiatan.
Oleh karena itu, sudahkah kita sisihkan harta kita untuk disedekahkan; untuk membantu saudara kita yang kekurangan, untuk membantu mujahid fii sabilillah, untuk pembangunan masjid dan madrasah, dan proyek-proyek kebaikan lainnya. Sudahkah kita gunakan kendaraan kita untuk membantu saudara kita, dan untuk menghadiri majlis ilmu, dan sudahkah kita gunakan kenikmatan lainnya untuk ketataan kepada-Nya?
Saudaraku, termasuk tidak bersyukur jika nikmat-nikmat itu kita gunakan untuk bermaksiat kepada Allah, seperti menggunakan kendaraan kita ke diskotik, ke tempat-tempat hiburan (maksiat), dan ke tempat-tempat kemaksiatan lainnya. Demikian juga termasuk tidak bersyukur apa yang dilakukan oleh sebagian kaum wanita yang melepas jilbabnya dan menampilkan keindahan tubuhnya di hadapan masyarakat, karena hal itu sama saja menggunakan nikmat itu untuk maksiat kepada-Nya. Suaminya yang meridhai istrinya melakukan demikian adalah dayyuts yang diancam Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam tidak masuk surga, dan orang tua yang membiarkan puterinya berbuat seperti itu adalah orang tua yang buruk yang membiarkan puterinya celaka.
Balasan bagi orang yang bersyukur
Banyak keutamaan yang akan diperoleh bagi orang yang bersyukur. Di antaranya:
  1. Mendapatkan keridhaan Allah.
Allah Ta'ala berfirman, "Dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu." (Terj. QS. Az Zumar: 7)
  1. Allah akan menjaga nikmat itu dan menambahkannya.
Dalil terhadap masalah ini adalah surat Ibrahim ayat 7 yang telah disebutkan sebelumnya.
  1. Allah akan memberikan keberkahan kepadanya.
Disebutkan dalam hadits riwayat Muslim, bahwa ada seorang sedang berada di tanah lapang tiba-tiba ia mendengar suara di awan yang bunyinya, “Siramilah kebun si fulan.” Maka awan itu bergeser dan menurunkan airnya ke tanah berbatu hitam sehingga salah satu selokan di antara selokan yang ada penuh berisi air, maka ia menelusuri ke mana air mengalir, tiba-tiba ada seorang laki-laki yang berdiri di kebunnya yang memindahkan air dengan sekopnya, lalu ia berkata, “Wahai hamba Allah, siapa namamu?” Ia menjawab, “Fulan.” Sesuai nama yang didengarnya di awan. Lalu orang itu kembali bertanya, “Wahai hamba Allah, mengapa engkau bertanya tentang namaku?” Ia menjawab, “Sesungguhnya aku mendengar suara di awan yang di sinilah airnya (dialirkan) bunyinya, “Siramilah kebun si fulan,” menyebut namamu. Memangnya, apa yang engkau lakukan dengan kebunmu?” Ia menjawab, “Jika kamu bertanya begitu, maka sesungguhnya aku memperhatilkan hasil dari kebun ini, sepertiganya aku sedekahkan, sepertiga lagi aku makan bersama keluargaku, dan sepertiga lagi aku kembalikan ke kebun.”
Wallahu a'lam, wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa

Fiqh Hibah (3)

Selasa, 27 Maret 2012

بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqh Hibah (3)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini lanjutan pembahasan tentang hibah, semoga Allah Subhaanahu wa Ta'ala menjadikannya ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamiin.
Menarik hibah
Jumhur ulama berpendapat haramnya menarik kembali hibah meskipun antara saudara atau suami-isteri, kecuali hibah bapak kepada anaknya[i], maka dalam hal ini si bapak boleh menarik hibahnya berdasarkan hadits riwayat para pemilik kitab sunan dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَا يَحِلُّ لِرَجُلٍ أَنْ يُعْطِيَ عَطِيَّةً أَوْ يَهَبَ هِبَةً فَيَرْجِعَ فِيهَا إِلَّا الْوَالِدَ فِيمَا يُعْطِي وَلَدَهُ، وَمَثَلُ الَّذِي يُعْطِي الْعَطِيَّةَ، ثُمَّ يَرْجِعُ فِيهَا كَمَثَلِ الْكَلْبِ يَأْكُلُ فَإِذَا شَبِعَ قَاءَ، ثُمَّ عَادَ فِي قَيْئِهِ
"Tidak halal bagi seseorang memberikan suatu pemberian atau hibah, lalu ia menarik lagi kecuali bagi bapak[ii] kepada anaknya[iii], dan perumpamaan orang yang memberikan kemudian menarik kembali seperti anjing yang makan, ketika kenyang ia muntahkan lalu ia memakan muntahnya." (HR. Abu Dawud, Nasa'I, Ibnu Majah, Tirmidzi, ia berkata, "Hasan shahih", dan dishahihkan oleh Al Albani)
Hal ini lebih dalam sekali tentang keharamannya.
Dalam sebuah riwayat dari Ibnu Abbas disebutkan:
" لَيْسَ لَنَا مَثَلُ السُّوءِ العَائِدُ فِي هِبَتِهِ كَالكَلْبِ يَعُودُ فِي قَيْئِه "
"Kami tidak memiliki perumpamaan yang buruk. Orang yang menarik kembali hibahnya seperti anjing yang menarik kembali muntahnya." (HR. Tirmidzi dan Nasa'i, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani)
Dibolehkan juga menarik kembali hibah jika si penghibah bermaksud dengan memberinya itu agar diberi ganti atau balasan namun ternyata orang yang diberi hibah tidak melakukannya. Inilah yang dirajihkan oleh Ibnul Qayyim dalam I'laamul Muwaqqi'iin, ia berkata, "Pemberi hibah yang tidak berhak menarik lagi adalah orang yang menghibahkan secara suka rela semata, tidak ada tujuan dibalas. Penghibah yang berhak menarik adalah orang yang menghibahkan agar diganti dan dibalas namun ternyata yang diberi hibah tidak melakukannya, sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam semuanya dipakai dan tidak boleh mempertentangkan satu sama lain."
Sebagaimana bapak boleh menarik hibahnya, ia juga boleh mengambil dan memiliki harta anaknya selama tidak memadharratkannya dan anak tidak membutuhkannya. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah,
إِنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلْتُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ، وَإِنَّ أَوْلَادَكُمْ مِنْ كَسْبِكُم
“Sesungguhnya makanan yang terbaik buat kalian adalah yang berasal dari usaha kalian, dan anak termasuk usaha kalian.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah, dan dihasankan oleh Tirmidzi)
Hadits ini pun memiliki syahid yang jika dikumpulkan menunjukkan bahwa bapak berhak mengambil, memiliki dan memakan  harta anaknya selama tidak memadharratkan anak dan tidak berkaitan dengan kebutuhannya. Bahkan dalam hadits yang lain disebutkan bahwa ketika seorang anak membawa bapaknya ke hadapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menagih hutangnya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أَنْتَ وَمَالُكَ لِأَبِيْكَ
“Kamu dan hartamu untuk bapakmu.” (HR. Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani)
Hadits ini menunjukkan bolehnya harta anaknya seperti halnya harta dirinya. Oleh karena itu, anak harus melayani bapaknya serta mencukupi kebutuhannya. Dan dalam mengambil harta anaknya seorang bapak jangan sampai memadharratkan anaknya atau terkait dengan keperluannya, berdasarkan hadits “Laa dharar wa laa dhirra.” (artinya: Tidak ada bahaya dan saling menimpakan bahaya).
Oleh karena itu, seorang anak tidak berhak menagih hutang kepada bapaknya dan sebagainya berdasarkan hadits di atas, yaitu “Anta wa maaluka li abiika.”
Di samping itu, Allah Subhaanahu wa Ta'aala juga memerintahkan berbuat baik kepada orang tua. Dan termasuk berbuat baik kepada kedua orang tua adalah tidak menagih hutangnya kepadanya.
Berbeda jika yang ditagih nafkah yang menjadi kewajiban bapak, maka anak berhak menagihnya karena perlunya menjaga jiwa jika ternyata anak tidak mampu bekerja. Dan berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Hind istri Abu Sufyan,
خُذِيْ مَا يَكْفِيْكِ وَوَلَدِكِ بِالْمَعْرُوْفِ
"Ambillah yang cukup bagimu dan anakmu secara ma'ruf."
Hadiah yang tidak boleh ditolak
عَنْ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " ثَلَاثٌ لَا تُرَدُّ: الوَسَائِدُ، وَالدُّهْنُ، وَاللَّبَنُ "
Dari Ibnu Umar ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Ada tiga yang tidak boleh ditolak; bantal, minyak wangi dan susu." (HR. Tirmidzi, dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ عُرِضَ عَلَيْهِ رَيْحَانٌ فَلَا يَرُدُّهُ، فَإِنَّهُ خَفِيفُ الْمَحْمِلِ طَيِّبُ الرِّيحِ»
Dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barang siapa yang ditawarkan wewangian, maka janganlah menolaknya, karena ia ringan dibawa dan wangi." (HR. Muslim)
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لاَيَرُدُّ الطِّيْبَ
Dari Anas, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam biasa tidak menolak minyak wangi.
Pujian untuk pemberi hadiah dan doa untuknya
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ لَمْ يَشْكُرِ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرِ اللَّهَ»
Dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barang siapa yang tidak berterima kasih kepada manusia, maka ia tidak berterima kasih kepada Allah." (HR. Ahmad dan Tirmidzi, dinyatakan shahih lighairih oleh Syaikh Al Abani)
عَنْ جَابِرٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَنْ أُعْطِيَ عَطَاءً فَوَجَدَ فَلْيَجْزِ بِهِ، وَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيُثْنِ، فَإِنَّ مَنْ أَثْنَى فَقَدْ شَكَرَ، وَمَنْ كَتَمَ فَقَدْ كَفَرَ، وَمَنْ تَحَلَّى بِمَا لَمْ يُعْطَهُ كَانَ كَلَابِسِ ثَوْبَيْ زُورٍ»
Dari Jabir dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau bersabda, "Barang siapa yang diberi suatu pemberian, lalu ia mampu maka balaslah. Jika ia tidak memperoleh sesuatu, maka pujilah, karena memuji termasuk berterima kasih. Siapa saja yang menyembunyikan, maka ia telah kufur nikmat, dan barang siapa yang berhias dengan sesuatu yang tidak diberikan kepadanya, maka ia seperti orang yang memakai dua pakaian kedustaan." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dinyatakan hasan oleh Syaikh Al Albani)
عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَنْ صُنِعَ إِلَيْهِ مَعْرُوفٌ فَقَالَ لِفَاعِلِهِ: جَزَاكَ اللَّهُ خَيْرًا فَقَدْ أَبْلَغَ فِي الثَّنَاءِ "
Dari Usamah bin Zaid ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barang siapa yang diberikan kebaikan oleh seorang, lalu ia berkata kepada orang yang memberinya, "Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan." Maka ia telah melakukan pujian yang dalam." (HR. Tirmidzi, dan dinyatakan shahih oleh Al Albani)
عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: لَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المَدِينَةَ أَتَاهُ المُهَاجِرُونَ فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا رَأَيْنَا قَوْمًا أَبْذَلَ مِنْ كَثِيرٍ وَلَا أَحْسَنَ مُوَاسَاةً مِنْ قَلِيلٍ مِنْ قَوْمٍ نَزَلْنَا بَيْنَ أَظْهُرِهِمْ لَقَدْ كَفَوْنَا المُؤْنَةَ وَأَشْرَكُونَا فِي المَهْنَإِ حَتَّى لَقَدْ خِفْنَا أَنْ يَذْهَبُوا بِالأَجْرِ كُلِّهِ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا مَا دَعَوْتُمُ اللَّهَ لَهُمْ وَأَثْنَيْتُمْ عَلَيْهِمْ»
Dari Anas ia berkata: Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tiba di Madinah, kaum muhajrin mendatangi Beliau dan berkata, "Wahai Rasulullah, kami tidak pernah melihat kaum yang paling banyak memberi harta, paling baik memberikan bantuan meskipun kurang mampu daripada kaum yang kami singgahi. Mereka telah mencukupi kami dengan pemberian dan menyertakan kami dalam kecukupan sampai-sampai kami khawatir mereka membawa semua pahala?" Beliau bersabda, "Tidak, selama kamu mendoakan mereka dan memuji mereka." (HR. Tirmidzi, dan dinyatakan shahih oleh Al Albani)
Hibah yang tidak sah
Dan tidak sah hibah yang dikaitkan dengan syarat yang akan datang. misalnya mengatakan, “Jika tercapai hal ini, aku akan hibahkan untukmu barang itu.” [iv]
Hibah juga tidak sah jika mu’aqqat (ada jangka waktu). Misalnya mengatakan, “Saya hibahkan barang ini kepadamu selama sebulan atau setahun,” karena hibah itu penyerahan kepemilikan barang, dan tidak menerima jangka waktu. Akan tetapi jika dengan syarat wafatnya pemberi hibah, maka tidak mengapa. Misalnya mengatakan, “Jika aku mati, aku berikan kepadamu barang ini atau itu” dan hal ini menjadi wasiat yang hukumnya sama seperti itu.
Kesimpulan dan Faedah
1.     Memberikan sesuatu kepada kerabat kita lebih utama dan lebih besar pahalanya.
1.     Seorang yang menghibahkan hartanya boleh berapa saja ia suka, tetapi sebaiknya jangan melebihi 1/3 dari hartanya, hal itu karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang sesesorang berwasiat dari hartanya melebihi 1/3, sedangkan hibah tidak ada bedanya dengan wasiat dalam hal bisa merugikan ahli waris. Bedanya hanyalah bahwa hibah itu diberikan selagi masih hidup, sedangkan wasiat diberikan setelah meninggal.
2.     Jika seorang ayah melebihkan sebagian anaknya dalam pemberian di saat sakit yang membawa kepada kematiannya, maka tidak sah kecuali diizinkan oleh ahli waris yang lain.
3.     kita dilarang menarik kembali pemberian kita (kecuali jika kita memberikan sesuatu kepada anak kita).
4.     Jika orang yang diberikan hadiah mengembalikan kepada yang memberi hadiah, maka tidak mengapa orang yang memberi hadiah menerimanya.
5.     Jika seorang memiliki kedudukan (dihormati) di tengah-tengah masyarakat, lalu datang orang meminta bantuan melalui kedudukannya itu maka tidak halal baginya menerima hadiah dari orang yang dibantu itu. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ شَفَعَ لِأَحَدٍ شَفَاعَةً، فَأَهْدَى لَهُ هَدِيَّةً فَقَبِلَهَا، فَقَدْ أَتَى بَابًا عَظِيمًا مِنَ الرِّبَا
"Barang siapa yang memberikan bantuan kepada seseorang (dengan kedudukannya), lalu ada yang memberinya hadiah, kemudian ia menerimanya, maka ia telah mendatangi salah satu pintu besar riba." (HR. Ahmad dan Abu Dawud, dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)
Pernah seseorang datang kepada Al Hasan bin Sahl untuk meminta syafaat(bantuan)nya dalam suatu keperluannya, lalu Al Hasan memenuhinya, kemudian orang itu datang kepadanya ingin berterima kasih, lalu Al Hasan        bin Sahl berkata, "Atas dasar apa engkau berterima kasih kepada kami, padahal kami memandang bahwa kedudukan itu punya zakat sebagaimana harta juga punya hak untuk dizakatkan?" (Al Aadabusy Syar'iyyah oleh Ibnu Muflih 2/176).
6.     Jika kita hendak memberikan sesuatu kepada anak kita, maka kita harus berikan juga kepada anak kita yang lain. Haram hukumnya jika kita memberikan sesuatu kepada sebagian anak kita, sedangkan anak kita yang lain tidak diberikan, kecuali jika bertujuan membantu anaknya yang lain yang kurang mampu (misalnya anaknya yang lain sakit atau punya hutang) maka tidak mengapa diberikan kepadanya, dengan syarat jika anaknya yang lain sama seperti itu, maka akan diberikan juga. Termasuk ke dalam hal ini adalah imbalan kepada anaknya yang bisa menghapal Al Qur’an.
7.     Sah hukumnya menghibahkan hutang untuk orang yang menanggungnya, sehingga hibah ini dianggap sebagai pembebasan hutangnya.
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Fiqhul Muyassar Fii Dhau'il Kitab was Sunnah (beberapa ulama), Fiqhus Sunnah (Sayyid Sabiq), Al Mulakhkhash Al Fiqhiy (Shalih Al Fauzan), Al Maktabatusy Syamilah beberapa versi, dll.


[i] Imam Malik berkata, "Ia (bapak) berhak menarik kembali dalam hibah yang diberikan kecuali jika telah berubah hibah itu dari keadaan awalnya. Jika sudah berubah maka ia  tidak boleh menariknya." Abu Hanifah berkata, "Bapak tidak berhak menarik kembali dalam hibah yang diberikan kepada anaknya dan kepada salah seorang dzawil arhaam, namun ia boleh menarik kembali dalam  hibah kepada ajaanib (bukan kerabat)." Namun pendapat ini tidak kuat karena menyelisihi hadits-hadits.
[ii] Menurut kebanyakan ulama bahwa ibu sama seperti bapak.
[iii] Baik anak itu dewasa atau masih kecil.
[iv] Penyusun kitab Al Fiqhul Muyassar berpendapat, bahwa sah hukumnya hibah yang mu'allaq (digantungkan), misalnya mengatakan, "Jika musafir datang atau hujan turun, maka saya akan hibahkan sesuatu ini kepadamu." Wallahu a'lam.

Fiqh Hibah (2)


بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqh Hibah (2)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini lanjutan pembahasan tentang hibah, semoga Allah Subhaanahu wa Ta'ala menjadikannya ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamiin.
Tabarru' (memberi secara suka rela) dengan semua harta
Madzhab jumhur ulama adalah bahwa seseorang berhak menghibahkan semua miliknya kepada orang lain. Namun Muhammad bin Al Hasan dan sebagian peneliti dari madzhab Hanafi berpendapat, tidak sah memberikan semua harta meskipun untuk jalur-jalur kebaikan, bahkan mereka menganggap bahwa orang yang melakukan hal itu merupakan orang dungu yang wajib dihajr (dicegah). Masalah ini juga telah dibahas oleh penyusun Ar Raudhah An Nadiyyah, ia berkata,
"Barang siapa yang siap bersabar untuk miskin dan miliknya menjadi sedikit, maka tidak mengapa menyedekahkan sebagian besar hartanya atau semuanya. Namun barang siapa yang membuatnya meminta-minta kepada manusia ketika ia butuh, maka tidak boleh baginya menyedekahkan semua harta atau dengan sebagian besar hartanya. Inilah cara menjama' (menggabung) antara hadits-hadits yang menunjukkan bahwa lebih dari 1/3 tidaklah disyari'atkan dengan dalil-dalil yang menunjukkan disyari'atkan bersedekah lebih dari 1/3."
Membalas hadiah
Dianjurkan membalas secara sama dalam hadiah, meskipun dari orang yang berkedudukan tinggi kepada orang yang berkedudukan rendah. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Ahmad, Bukhari, Abu Dawud dan Tirmidzi dari Aisyah radhiyallahu 'anha ia berkata:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْبَلُ الْهَدِيَّةَ وَيُثِيْبُ عَلَيْهَا
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menerima hadiah dan membalasnya[1]."
Sedangkan dalam lafaz Ibnu Abi Syaibah disebutkan:
وَيُثِيْبُ مَا هُوَ خَيْرٌ مِنْهَا
"Dan membalas dengan yang lebih baik daripadanya."
Hal ini dilakukan agar membalas sesuatu yang baik dengan yang semisalnya dan agar tidak ada lagi nikmat (jasa) orang lain atas dirinya. Al Khaththabiy berkata, "Di antara ulama ada yang menjadikan masalah hadiah menjadi tiga tingkatan;
1.       Hibah seseorang kepada orang yang berada di bawahnya seperti pelayan dan semisalnya sebagai pemuliaan terhadapnya dan pelembutan untuknya. Hal itu tidak menghendaki adanya ganti atau balasan.
2.       Hibah anak kecil kepada orang dewasa, di mana ia meminta pemberian dan manfaat, maka membalasnya wajib.
3.       Hibah seorang teman sebaya kepada teman sebayanya. Yang lebih kuat di dalamnya adalah rasa cinta dan mengakrabkan. Ada yang berpendapat bahwa untuk hal ini berlaku "membalas". Adapun jika memberikan hibah dan mensyaratkan adanya balasan, maka balasan itu mesti.
Haramnya melebihkan sebagian anak dalam pemberian dan berbakti
Tidak halal bagi seseorang melebihkan sebagian anaknya dalam pemberian, karena yang demikian dapat menanamkam permusuhan dan memutuskan hubungan yang diperintahkan Allah Ta'ala untuk disambung. Hal ini telah dipegang oleh Imam Ahmad[2], Ishaq, Ats Tsauriy, Thawus dan ulama madzhab Maliki. Mereka mengatakan, "Sesungguhnya melebihkan sebagian anak merupakan perkara batil dan zalim yang wajib dibatalkan bagi pelakunya."
Imam Bukhari juga telah menegaskan hal ini. Para ulama berdalih terhadap hal ini dengan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
سَوُّوْا بَيْنَ أَوْلاَدِكُمْ فِي الْعَطِيَّةِ . وَلَوْ كُنْتُ مُفَضِّلاً أَحَدًا لَفَضَّلْتُ النِّسَاءَ
"Samakanlah antara anak-anak kalian dalam pemberian. Kalau seandainya boleh ada seorang yang hendak saya lebihkan, tentu saya akan melebihkan kaum wanita." (HR. Thabrani, Baihaqi dan Sa'id bin Manshur, dihasankan oleh Al Haafizh Ibnu hajar isnadnya dalam Al Fat-h)
عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ، قَالَ أَنْحَلَنِي: أَبِي نُحْلًا، قَالَ إِسْمَاعِيلُ بْنُ سَالِمٍ: مِنْ بَيْنِ الْقَوْمِ نِحْلَةً غُلَامًا لَهُ، قَالَ: فَقَالَتْ لَهُ: أُمِّي عَمْرَةُ بِنْتُ رَوَاحَةَ ائْتِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَشْهِدْهُ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَشْهَدَهُ، فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ لَهُ: إِنِّي نَحَلْتُ ابْنِي النُّعْمَانَ نُحْلًا وَإِنَّ عَمْرَةَ سَأَلَتْنِي أَنْ أُشْهِدَكَ عَلَى ذَلِكَ، قَالَ: فَقَالَ: «أَلَكَ وَلَدٌ سِوَاهُ؟» قَالَ: قُلْتُ: نَعَمْ، قَالَ: «فَكُلَّهُمْ أَعْطَيْتَ مِثْلَ مَا أَعْطَيْتَ النُّعْمَانَ؟» قَالَ: لَا، قَالَ: فَقَالَ: بَعْضُ هَؤُلَاءِ الْمُحَدِّثِينَ، " هَذَا جَوْرٌ وَقَالَ بَعْضُهُمْ: «هَذَا تَلْجِئَةٌ فَأَشْهِدْ عَلَى هَذَا غَيْرِي» قَالَ مُغِيرَةُ: فِي حَدِيثِهِ «أَلَيْسَ يَسُرُّكَ أَنْ يَكُونُوا لَكَ فِي الْبِرِّ وَاللُّطْفِ سَوَاءٌ» قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: «فَأَشْهِدْ عَلَى هَذَا غَيْرِي»
Dari Asy Sya'biy dari Nu'man bin Basyir ia berkata, Bapakku memberiku suatu pemberian –Isma'il bin Salim dari kalangan kaum itu berkata-, "Ia memberikan kepadanya seorang budak. Ibuku, yaitu 'Amrah binti Rawahah berkata kepadanya, "Datangilah Rasulullah dan angkatlah Beliau sebagai saksi," maka ia datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mengangkat Beliau sebagai saksi dan memberitahukan hal itu, ia berkata kepada Beliau, "Sesungguhnya saya memberikan kepada puteraku Nu'man suatu pemberian, dan sesungguhnya si 'Amrah memintaku untuk menjadikan engkau sebagai saksi atasnya." Lalu Beliau bertanya, "Apakah kamu memiliki anak selainnya?" Basyir berkata: Aku menjawab, "Ya," lalu Beliau bertanya, "Apakah semuanya kamu berikan seperti yang kamu berikan kepada Nu'man?" ia menjawab, "Tidak." Maka Beliau bersabda –sebagian ahli hadits menyebutkan jawaban Beliau, yaitu-, "Ini adalah kezaliman," sedangkan yang lain menyebutkan, "Ini adalah pemberian terpaksa (sepihak), maka carilah saksi selainku terhadapnya." Mughirah dalam haditsnya berkata, "Bukankah kamu senang jika mereka sama-sama dalam berbakti dan berbuat baik kepadamu?" Ia menjawab, "Ya." Beliau bersabda lagi, "Kalau begitu ambillah saksi selainku." (Hadits ini dinyatakan shahih oleh Syaikh Al Albani)
Ibnul Qayyim berkata, "Hadits ini termasuk perincian keadilan yang diperintahkan Allah dalam kitab-Nya, dan dengannya langit dan bumi dapat tegak, sekaligus syari'at dapat berdiri di atasnya. Ia sangat sejalan dengan Al Qur'an dari semua qiyas yang ada di permukaan bumi, dilalah(kandungan)nya cukup jelas dan sangat kokoh."
Namun ulama madzhab Hanafi, Imam Syafi'i, Malik dan jumhur ulama berpendapat bahwa penyamarataan antara anak-anak adalah hal yang dianjurkan, melebikan adalah hal yang makruh. Jika ternyata dilakukan, maka tetap diberlakukan. Mereka menjawab hadits Nu'man tersebut dengan sepuluh jawaban sebagaimana disebutkan Al Haafizh dalam Al Fat-h namun semuanya terbantahkan. Imam Syaukani juga menyebutkan dalam Nailul Awthaar dan Syaikh Sayyid Saabiq juga menyebutkan dalam Fiqhus Sunnah dengan beberapa tambahan penting, yang singkatnya:
1.     Bahwa harta yang diberikan kepada Nu'man itu adalah semua harta bapaknya, sebagaimana diceritakan oleh Ibnu Abdil Bar. Namun pendapat ini terbantahkan, bahwa kebanyakan jalur-jalur hadits menegaskan bahwa yang diberikan itu hanya sebagiannya sebagaimana dalam hadits di atas bahwa harta yang diberikan itu adalah seorang budak, dan sebagaimana dalam lafaz Muslim "Tashaddaqa 'alayya abii biba'dhi maalih," (Bapakku menyedekahkan kepadaku sebagian hartanya).
2.     Pemberian yang disebutkan itu tidak jadi, Basyir hanyalah datang bermusyawarah dengan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hal itu, Lalu Beliau menyarankan untuk tidak melakukannya, maka ia pun tidak jadi melakukan sebagaimana diceritakan Ath Thabariy. Namun pendapat ini dibantah, bahwa perintah Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menarik kembali menunjukkan bahwa awalnya memang sudah jadi. Juga berdasarkan kata-kata 'Amrah, "saya tidak ridha sampai engkau mengangkat saksi…dst."
3.     Nu'man adalah anak tertua, dan ia belum menerima hibah sehingga bagi bapaknya boleh menarik kembali sebagaimana disebutkan Ath Thahaawiy.  Al Haafizh berkata, "Namun ia menyelisihi yang ada pada kebanyakan jalur-jalur hadits khususnya kata-kata, "Tariklah kembali." Hal ini menunjukkan telah terjadi penerimaan. Bahkan riwayat-riwayat saling mendukung bahwa Nu'man masih kecil, bapaknyalah yang memegangnya karena ia masih kecil, lalu ia diperintahkan untuk mengembalikan pemberian tersebut setelah dihukumi telah diterima.
4.     Kata-kata, "Tariklah kembali," menunjukkan bahwa pemberian itu dianggap sah. Kalau seandainya tidak sah hibah itu, maka tidak sah menarik kembali. Beliau memerintahkan menarik kembali hanyalah karena  bapak berhak menarik kembali pemberian kepada anaknya, meskipun yang lebih utama adalah tidak demikian. Akan tetapi anjuran menyamaratakan sangat bisa dilakukan pada waktu itu sehingga Beliau memerintahkannya. Dalam Al Fath disebutkan, "Berhujjah seperti ini perlu ditinjau kembali. Yang tampak adalah bahwa makna sabda Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, "Tariklah kembali," adalah tidak boleh dijalankan pemberian tersebut, dan yang demikian tidaklah menunjukkan sudah sah hibah itu sebelumnya.
5.     Sabda Beliau, "Ambillah saksi terhadap ini selainku," merupan izin boleh mengambil saksi terhadap hal itu, Beliau enggan melakukan hal itu karena sebagai imam, seakan-akan Beliau berkata, "Saya tidak akan bersaksi karena imam tugasnya bukanlah bersaksi, ia tugasnya adalah menetapkan hukum." Hal ini diceritakan oleh Ath Thahaawiy dan diridhai oleh Ibnul Qashshaar. Namun pendapat ini juga dibantah, bahwa karena imam tugasnya bukan sebagai saksi tidak mesti ia harus enggan menjadi saksi dan menunaikannya ketika diminta. Bahkan izin mengambil saksi maksud Beliau adalah mencela berdasarkan lafaz-lafaz hadits setelahnya. Al Haafizh berkata, "Itulah yang ditegaskan jumhur di tempat ini." Ibnu Hibban berkata, "Sabda Beliau, "Ambillah saksi" memang shighat (bentuk) perintah, namun maksudnya adalah tidak boleh, hal ini seperti sabda Beliau kepada Aisyah, "Buatlah syarat walaa' dari mereka." Hal ini diperkuat juga dengan penamaan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai kezaliman terhadap perbuatan itu sebagaimana dalam riwayat yang disebutkan dalam bab itu.
6.     Berpegang dengan sabda Beliau, "Tidakkah kamu menyamaratakan antara mereka?" menunjukkan bahwa perintah tersebut dianjurkan dan larangannya hanyalah makruh. Al Haafizh berkata, "Pendapat ini bagus kalau seandainya tidak ada lafaz-lafaz lagi di samping lafaz ini." Terlebih dengan riwayat "Sawwi bainahum" (Samaratakanlah di antara mereka).
7. Yang mahfuzh (kuat) dalam hadits Nu'maan adalah lafaz "Qaaribuu baina awlaadikum" (Dekatkanlah antara anak-anak kamu) bukan "samaratakanlah." Namun pendapat ini dibantah juga, bahwa sama saja anda tetap tidak mewajibkan pendekatan sebagaimana tidak mewajibkan menyamaratakan.
8. Adanya penyerupaan antara penyamarataan pemberian dengan penyamarataaan berbakti dari pihak anak ada qarinah yang menunjukkan bahwa perintah tersebut menunjukkan sunat. Namun pendapat ini juga dibantah, bahwa disebutkannya secara mutlak kata-kata zalim terhadap tindakan tidak rata dan larangan melebihkan menunjukkan wajib, sehingga qarinah itu tidak bisa dipakai untuk memalingkan.
9. Sebagaimana yang telah lewat dari Abu Bakar tentang pemberianya kepada Aisyah dan kata-katanya kepada Aisyah, "Kalau kamu mau menggarapnya," demikian juga yang diriwayatkan oleh Thahawiy dari Umar bahwa ia memberikan kepada puteranya 'Ashim tidak kepada semua anaknya. Jika sekiranya melebihkan itu tidak boleh, tentu tidak dilakukan oleh dua orang khalifah. Dalam Al Fath disebutkan jawabannya, "Urwah telah menjawab tentang kisah Aisyah tersebut bahwa sauadaranya semua ridha, ia pun menjawab seperti itu terhadap kisah 'Ashim." Di samping itu, perbuatan mereka tidak menjadi hujjah terlebih jika bertentangan dengan hadits marfu'.
10. Sesungguhnya ijma' telah terjadi tentang bolehnya seseorang memberikan hartanya kepada selain anaknya. Jika seseorang boleh tidak memasukkan semua anak dalam pemberian hartanya, tentu boleh baginya memasukkan anak ke dalamnya dengan memilikinya sebagian mereka sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abdil Barr. Al Haafizh berkata, "Tidak samar sekali kelemahannya, karena ia merupakan qiyas ketika ada nash. Bahkan yang benar adalah bahwa menyamaratakan adalah wajib dan melebihkan adalah haram."
Namun para ulama yang mewajibkan sama rata berselisih dalam cara menyamaratakan. Muhammad bin Al Hasan, Ahmad, Ishaq dan sebagian ulama madzhab Syaafi'i dan Maliki berpendapat bahwa yang adil adalah seorang laki-laki diberi bagian dua orang wanita seperti dalam warisan. Mereka berhujjah bahwa, begitulah bagiannya yang diperoleh dari harta jika ia meninggal dari si pemberi hibah. Namun ulama yang lain berpendapat bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki maupun wanita, dan zhahir perintah itu adalah disamaratakan."
Bersambung…
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Fiqhul Muyassar Fii Dhau'il Kitab was Sunnah (beberapa ulama), Fiqhus Sunnah (Sayyid Sabiq), Al Mulakhkhash Al Fiqhiy (Shalih Al Fauzan), Al Maktabatusy Syamilah beberapa versi, dll.



[1] Yakni orang yang diberi hadiah memberikan gantinya dan minimal ukurannya sama dengan nilai hadiah yang diberikan.
[2] Madzhab Imam Ahmad adalah bahwa haram melebihkan sebagian anak ketika di sana tidak ada pendorongnya. Jika ada pendorongnya atau menghendaki dilebihkan, maka tidak dilarang. Dalam Al Mughni disebutkan, "Jika sebagian anak dikhususkan karena sesuatu yang menghendaki dikhususkan seperti karena ada kebutuhan, atau karena sakit yang berkepanjangan atau karena buta atau banyak tanggungannya atau sibuk menuntut ilmu atau hal lainnya yang utama atau dialihkan pemberian dari sebagian anaknya karena fasiknya si anak atau bid'ahnya atau ia akan menggunakannya untuk maksiat kepada Allah atau membantu di dalamnya, maka ada riwayat dari Imam Ahmad yang menunjukkan kebolehannya berdasarkan pendapatnya tentang pengkhususan sebagian anak dalam hal waqf, "Tidak mengapa jika ada keperluan, namun saya membenci jika karena hendak melebihkan, dan pemberian juga sama seperti ini (seperti waqf)."
 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger